Chapter 34: Pengkhianatan yang Terungkap

2 3 0
                                    

Kerajaan Verellia masih berkilau dalam cahaya pagi yang hangat, tetapi di balik keindahan itu, awan gelap mulai menyelimuti hati Zarathustra dan Lucien. Setelah percakapan penting mereka tentang artefak kuno dan ancaman yang akan datang, mereka memutuskan untuk mengunjungi beberapa sekutu yang dapat membantu mereka dalam pencarian ini.

Dengan semangat baru, keduanya berkeliling kerajaan, mencari informasi dan mengumpulkan bahan yang diperlukan. Namun, saat mereka mendekati istana, Zarathustra merasa ada sesuatu yang tidak beres. Suasana di sekeliling mereka terasa tegang, seolah ada angin kencang yang menyampaikan pesan buruk.

Sesampainya di dalam istana, mereka disambut oleh Malorry, sahabat dan pengawal setia Zarathustra. Namun, ekspresi di wajah Malorry tidak secerah biasanya. "Zarathustra, Lucien! Ada sesuatu yang perlu kalian ketahui," ujarnya dengan nada serius.

"Ada apa, Malorry?" tanya Zarathustra, merasakan firasat buruk di dalam hatinya.

"Seorang penasihat kerajaan telah berkhianat. Aku baru saja mendengar rumor bahwa dia berusaha membuka jalan bagi kegelapan yang kita lawan," Malorry menjelaskan dengan cepat. "Dia bersekongkol dengan para penjaga, berencana untuk memperkuat kekuatan kegelapan dengan cara apapun."

Zarathustra terperanjat. "Siapa dia? Apa tujuannya?"

"Namanya adalah Lord Thaddeus. Dia dikenal sebagai penasihat paling berpengaruh di istana. Aku mendengar bahwa dia sedang melakukan ritual malam ini, di ruangan bawah tanah istana, untuk memanggil kekuatan kegelapan dan mengorbankan sesuatu yang sangat berharga," Malorry menjelaskan, sorot mata penuh kekhawatiran.

Lucien mencengkeram lengan Zarathustra, merasakan ketegangan di antara mereka. "Kita harus menghentikannya! Kita tidak bisa membiarkan dia melakukan ritual itu."

"Benar," kata Zarathustra, suara tegas penuh tekad. "Kita tidak punya banyak waktu. Mari kita cari tahu lebih banyak dan rencanakan langkah kita."

Ketiga sahabat itu bergegas menuju ruangan bawah tanah, berusaha untuk tidak menarik perhatian para penjaga istana. Setiap langkah terasa berat, dengan ketegangan menyelimuti suasana. Saat mereka mencapai pintu besar yang terbuat dari kayu tua, Malorry berbisik, "Aku mendengar dia memiliki beberapa pengikut setia. Kita harus siap untuk melawan jika perlu."

Zarathustra mengangguk, merasa ada api berkobar di dalam dirinya. Dengan satu gerakan, mereka membuka pintu dan masuk ke dalam ruangan yang gelap. Ruangan itu dipenuhi dengan bau jamur dan kelembapan, dan dinding-dindingnya bergetar seolah-olah menyimpan rahasia yang sudah lama terlupakan.

Di tengah ruangan, mereka melihat Lord Thaddeus berdiri di depan altar, dikelilingi oleh lilin-lilin yang menyala. Tatapannya terfokus pada sebuah buku besar yang terbuka, sementara dia berbicara dalam bahasa kuno, suara lembutnya bergema seperti mantra. Tanda-tanda sihir hitam berputar di sekelilingnya, dan Zarathustra merasakan kegelapan menyelimuti hati dan jiwanya.

"Dia sedang memanggil sesuatu," bisik Lucien dengan suara serak. "Kita harus menghentikannya sekarang!"

Tanpa berpikir panjang, Zarathustra maju ke depan, berusaha menyorotkan cahaya api dari tangannya untuk memotong ritual yang sedang dilakukan Thaddeus. Namun, ketika ia melangkah maju, tiba-tiba, dua pengikut setia Lord Thaddeus muncul dari bayang-bayang, menghadang langkahnya.

"Berani sekali kalian mengganggu ritual suci kami!" teriak salah satu pengikut, matanya bersinar dengan kegelapan.

Tanpa ragu, Lucien melangkah maju, bersiap untuk bertarung. "Kami tidak akan membiarkan kau menyelesaikan ritual ini, Thaddeus!" teriaknya, suara penuh keberanian.

Thaddeus, yang baru menyadari kehadiran mereka, mengangkat kepalanya. "Ah, Zarathustra dan Lucien. Kalian benar-benar datang untuk menghentikanku? Bodoh sekali! Kalian tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi di balik semua ini!"

DIANTARA API DAN BAYANGANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang