Malam perlahan beranjak menuju fajar, membawa serta kegelapan yang memudar dan mengizinkan cahaya lembut menyelimuti lembah. Zarathustra terbangun, merasakan hangatnya sinar matahari yang menyentuh wajahnya. Meski rasa sakit masih ada, ada sesuatu yang berbeda. Ada energi baru yang mengalir dalam dirinya, seolah-olah segenap kekuatan kuno yang terpendam dalam darahnya mulai bangkit.
Lucien, yang duduk di sampingnya, terlihat terjaga. Wajahnya menampakkan kelegaan saat melihat Zarathustra membuka mata. "Bagaimana perasaanmu?" tanyanya, penuh perhatian.
Zarathustra mengangkat tangan, merasakan aliran kehangatan dalam dirinya. "Lebih baik," jawabnya, dan ia merasakan semangat baru mengisi jiwanya. "Aku merasa... berbeda, seolah ada sesuatu yang terbangun di dalam diriku."
Tanpa menunggu lebih lama, Zarathustra bangkit dari tempat tidurnya, berdiri tegak meski sedikit terhuyung. Dia merasakan pulsasi energi yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya—sebuah kekuatan kuno yang mengalir melalui darahnya. Rasanya seperti api yang terkurung selama bertahun-tahun kini menemukan jalan keluar.
Lucien memperhatikan dengan penuh kekhawatiran, tetapi juga dengan rasa ingin tahu yang tak tertahankan. "Apa kau merasa bisa mengendalikan itu?"
Zarathustra mengangguk, seolah-olah mendengar panggilan kekuatan itu. "Aku ingin mencoba," ujarnya, suara penuh tekad. "Mungkin ini bisa membantu kita."
Mereka berdua melangkah keluar dari tenda, terpesona oleh keindahan alam yang memukau di sekitar mereka. Rerumputan hijau berkilauan dalam sinar matahari pagi, dan suara burung yang berkicau menambah semangat baru bagi mereka. Zarathustra mengambil napas dalam-dalam, merasakan energi yang berputar di dalamnya. Ia mengangkat kedua tangan, mencoba untuk merasakan lebih jauh.
Tiba-tiba, sebuah cahaya berkilau muncul di telapak tangannya, seolah menghubungkan dirinya dengan kekuatan kuno yang selama ini terpendam. Zarathustra terkejut melihat api berwarna ungu bercahaya, seolah mengalir dari jiwanya sendiri. "Lucien, lihat!" serunya, matanya bersinar penuh antusiasme.
Lucien mendekat, tidak bisa menahan rasa kagumnya. "Itu luar biasa!" Ia merasa bangga melihat Zarathustra menemukan kekuatan dalam dirinya, sebuah kekuatan yang lebih besar daripada yang pernah mereka bayangkan.
Zarathustra berusaha memusatkan pikirannya, ingin mengendalikan energi ini. Dia bisa merasakan aliran kekuatan yang kuat, siap untuk digunakan. Namun, di balik rasa antusiasme itu, dia juga merasakan gelombang ketidakpastian. "Aku tidak tahu seberapa besar ini, Lucien. Apa yang akan terjadi jika aku tidak bisa mengendalikannya?"
Lucien meraih tangannya dengan lembut. "Kita akan melalui ini bersama. Kau tidak sendiri. Kita akan menemukan cara untuk mengendalikan kekuatan ini. Bersama-sama."
Dengan dorongan semangat dari Lucien, Zarathustra mengarahkan energi ungu itu ke tanah di depannya. Saat dia melakukan itu, tanaman di sekitarnya mulai tumbuh dengan pesat, seperti terangsang oleh energi yang baru saja dikeluarkan. Rerumputan mengembang, bunga-bunga mekar, dan bahkan pepohonan di sekitar seolah mendapatkan kehidupan baru.
Zarathustra terkejut. "Lihat! Aku bisa menghidupkan mereka!" serunya dengan penuh kebahagiaan. Kekuatan dalam dirinya tidak hanya sebagai senjata, tetapi juga sebagai sumber kehidupan.
Lucien menatap penuh kagum, tetapi segera menyadari bahwa mereka harus menggunakan kekuatan ini dengan bijak. "Kau memiliki potensi luar biasa, Zarathustra. Tapi kita harus ingat, dengan kekuatan besar datang pula tanggung jawab besar."
"Benar," jawab Zarathustra, menyadari betapa beratnya beban ini. "Aku harus belajar mengendalikan semua ini. Kita harus bersiap menghadapi ancaman yang lebih besar."
Mereka melanjutkan latihan selama berjam-jam, dengan Zarathustra berusaha mengendalikan dan memfokuskan kekuatan barunya. Dia menguji berbagai bentuk sihir api, bayangan, dan bahkan pengaruh terhadap lingkungan di sekitarnya. Setiap kali dia berhasil mengendalikan energi itu, kebanggaan dan semangatnya semakin membara.
Namun, saat dia semakin mendalami kekuatannya, dia juga merasakan ada sisi gelap dari energi tersebut, seperti bayangan yang mengintai di balik cahaya. "Lucien," panggilnya saat berhenti sejenak. "Aku merasa ada sesuatu yang tidak sepenuhnya bersih di sini. Kekuatan ini terasa aku tidak bisa menjelaskan seperti bisa membawaku ke jalan yang gelap."
Lucien mengangguk, memahami apa yang dirasakan Zarathustra. "Kita harus waspada. Kita tidak bisa membiarkan kekuatan ini mengendalikan kita. Kita harus menggunakannya untuk kebaikan, untuk melindungi kerajaan dan orang-orang yang kita cintai."
"Ya," Zarathustra setuju, meski rasa cemas menggelayuti pikirannya. Dia tahu bahwa kekuatan ini, jika tidak dijaga, bisa menjadi bumerang. Namun, saat melihat Lucien di sampingnya, semangatnya kembali bangkit. "Aku akan berjuang untuk menggunakan kekuatan ini demi kebaikan. Bersama kita bisa mengalahkan kegelapan."
Dengan tekad yang bulat, Zarathustra dan Lucien melanjutkan latihan mereka, memahami bahwa dalam setiap percikan api, ada harapan. Dalam setiap langkah mereka, ada kekuatan cinta yang semakin menguatkan. Bersama, mereka akan menemukan jalan untuk menggunakan kekuatan di dalam darah Zarathustra demi melindungi dunia mereka dari ancaman yang akan datang.
KAMU SEDANG MEMBACA
DIANTARA API DAN BAYANGAN
FantasíaKerajaan Verellia dan Noctaria telah lama berseteru, terpisah oleh sejarah permusuhan yang kelam. Namun, semuanya berubah ketika Aetheria, Phoenix legendaris milik Princess Zarathustra dari Azhura, tiba-tiba menghilang. Hilangnya sang Phoenix tidak...