Chapter 5: Pertempuran di Gerbang Verellia

9 8 0
                                    

Langit malam di atas Verellia tampak lebih kelam dari biasanya. Suara genderang perang dan derap kaki prajurit menggema di seluruh penjuru istana. Di depan gerbang utama, prajurit Verellia berbaris dengan tombak dan perisai, siap menghadapi musuh yang semakin mendekat. Cahaya dari api obor di sepanjang dinding istana hanya menerangi sedikit kegelapan, seolah menambah suasana mencekam yang menyelimuti.

Zarathustra berdiri di garis depan bersama Azhura, Phoenix agungnya, yang sayapnya berkobar-kobar dengan api magis yang memancar. Di sebelahnya, Lucien berusaha tetap tenang meski tubuhnya masih belum sepenuhnya pulih dari pertarungan sebelumnya. Sorot matanya tajam, fokus pada bayangan yang bergerak cepat di kejauhan.

"Aku merasakan kehadiran mereka," gumam Zarathustra pelan. Azhura, di sisinya, juga tampak gelisah, seolah-olah makhluk-makhluk kegelapan itu memancarkan aura yang membuat semua makhluk hidup merasa tak nyaman.

Lucien melangkah maju, menatap bayangan yang mulai muncul dari kegelapan malam. "Mereka sudah dekat. Kita harus siap."

Tak lama kemudian, makhluk bayangan mulai menampakkan diri, bergerak dengan kecepatan yang tak biasa. Tubuh mereka terlihat seperti kabut hitam yang menggumpal, sementara mata mereka bersinar merah darah, memancarkan kebencian dan kehancuran. Dengan raungan yang memekakkan telinga, makhluk-makhluk itu menyerbu gerbang Verellia tanpa ragu.

"Serang!" teriak Zarathustra, memimpin pasukan Verellia dengan suara lantang.

Pertempuran meletus seketika. Para prajurit Verellia berusaha menahan serangan makhluk bayangan dengan tombak dan pedang mereka, namun setiap kali senjata mereka mengenai makhluk itu, tubuh bayangan tersebut hanya memudar, menghilang lalu muncul kembali dari kegelapan.

Zarathustra melesat ke tengah medan, pedang dan belati di tangan. Ia menebas dan menyerang dengan penuh ketangkasan, namun ia segera menyadari bahwa serangan fisik tidak cukup untuk mengalahkan mereka. Makhluk-makhluk bayangan itu tidak seperti musuh biasa, mereka hanya bisa dihancurkan dengan sihir yang kuat.

Sementara itu, Lucien berdiri di belakang garis pertahanan, merapal mantra dengan kekuatan yang tersisa. Lingkaran sihir berwarna biru muncul di udara, dan dengan cepat memancarkan cahaya ke arah makhluk-makhluk bayangan, memaksa mereka mundur sejenak. Namun, jumlah mereka terlalu banyak.

"Kita butuh Azhura!" seru Lucien.

Zarathustra tahu dia benar. Sihir Phoenix adalah satu-satunya kekuatan yang bisa mengimbangi kegelapan ini. Ia melompat ke arah Azhura, mengulurkan tangannya. "Azhura! Waktunya membakar kegelapan!"

Phoenix itu berteriak keras, suaranya menggema ke seluruh penjuru medan. Dengan sayapnya yang terbakar, Azhura mengepak tinggi di udara sebelum melepaskan semburan api magis yang besar ke arah makhluk-makhluk bayangan. Api itu tidak seperti api biasa ia murni, penuh dengan kekuatan sihir Zarathustra dan Phoenix, menghancurkan setiap makhluk yang tersentuh olehnya.

Makhluk bayangan yang terkena api Azhura berteriak kesakitan, tubuh mereka mulai terurai menjadi abu. Namun meskipun banyak yang hancur, lebih banyak lagi yang terus bermunculan dari kegelapan.

"Kita tidak bisa bertahan lama seperti ini," gumam Zarathustra dengan nafas berat. Ia bisa merasakan energinya terkuras setiap kali menggunakan kekuatan Phoenix. "Mereka terlalu banyak."

Lucien, yang kini berdiri di sisinya, menatap medan dengan serius. "Mereka akan terus datang sampai sumber kekuatan mereka dihancurkan."

Zarathustra menatapnya tajam. "Apa maksudmu? Sumber kekuatan apa?"

Lucien menarik napas panjang. "Ada sesuatu yang mengendalikan mereka. Makhluk-makhluk ini tidak bergerak dengan sendirinya. Kekuatan gelap di balik mereka itulah yang kita harus temukan dan hancurkan."

Zarathustra tampak terkejut, tapi segera mengerti. "Jadi kita tidak bisa hanya bertarung di sini. Kita harus mencari dalangnya."

Lucien mengangguk. "Benar. Dan aku rasa aku tahu di mana sumber kekuatan itu berada—di dalam Noctaria, jauh di bawah tanah. Tempat di mana kegelapan paling pekat berada."

Zarathustra terdiam sejenak, menatap medan perang yang penuh dengan api dan bayangan. Di satu sisi, ia tidak bisa meninggalkan Verellia, kerajaan yang ia cintai, terutama saat dalam bahaya. Namun di sisi lain, jika Lucien benar, maka hanya dengan menghancurkan sumber kegelapan ini mereka bisa menghentikan serangan ini sepenuhnya.

"Aku akan pergi bersamamu," Zarathustra akhirnya berkata, suaranya penuh tekad.

"Kau yakin?" Lucien bertanya, menatapnya dalam-dalam. "Perjalanan ini akan berbahaya. Jika kita gagal, kita mungkin tidak akan kembali."

Zarathustra tidak ragu sedikitpun. "Aku tidak akan membiarkan kegelapan menghancurkan rakyatku, atau rakyatmu. Jika ada cara untuk menghentikan ini, aku akan mengambil risiko."

Lucien tersenyum tipis, kagum pada keberanian Zarathustra. "Baiklah. Kita akan pergi saat malam ini berakhir."

Namun sebelum mereka bisa merencanakan lebih lanjut, sebuah bayangan besar muncul dari kegelapan. Dari jauh, makhluk itu tampak berbeda dari yang lain lebih besar, lebih kuat, dan penuh dengan aura kegelapan yang menyesakkan. Matanya merah membara, dan ia melangkah maju dengan kekuatan yang menghancurkan setiap benda yang dilaluinya.

Zarathustra terbelalak. "Apa itu?"

Lucien tampak tegang. "Itu bukan makhluk biasa. Itu adalah salah satu Jenderal Kegelapan."

Jenderal Kegelapan mengangkat tangannya yang besar, memanggil lebih banyak makhluk bayangan yang berhamburan ke medan perang. Cahaya dari api Azhura tampak meredup di hadapan kekuatan makhluk itu.

"Kita harus menghentikannya, atau semua ini akan berakhir sekarang," seru Lucien, tangannya sudah bersiap merapal mantra lagi.

Zarathustra mengangguk, dan dengan keberanian yang membara, ia berlari ke arah Jenderal Kegelapan, siap menghadapi musuh terbesarnya. Api Azhura mengikuti, berkobar-kobar di belakangnya, seolah menambah kekuatan pada setiap langkahnya.

Dalam hatinya, ia tahu bahwa pertempuran ini akan menentukan nasib Verellia dan Noctaria. Dan meskipun api dan bayangan berlawanan, mereka akan menemukan keseimbangan di antara keduanya atau musnah bersama.

DIANTARA API DAN BAYANGANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang