Chapter 7: Terungkapnya Kebenaran

11 8 0
                                    

Zarathustra bangkit dengan sisa-sisa kekuatan yang ia miliki. Suara yang bergema dari kegelapan itu membuat jantungnya berdebar kencang. Ia menoleh ke arah Lucien, yang matanya juga dipenuhi kecemasan.

"Apa itu?" tanya Zarathustra, mencoba untuk menenangkan suaranya.

Lucien terdiam sejenak, lalu menjawab dengan suara pelan. "Itu... adalah suara Malakar."

"Malakar?" Zarathustra mengerutkan kening, belum pernah mendengar nama itu sebelumnya.

"Dia bukan sekadar Jenderal Kegelapan," jelas Lucien, suaranya semakin tegang. "Malakar adalah penguasa dari kekuatan gelap yang menguasai Noctaria. Dia adalah yang memimpin semua makhluk bayangan."

Wajah Zarathustra memucat. Jika Jenderal Kegelapan tadi sudah begitu kuat, apa yang bisa mereka lakukan melawan makhluk yang lebih besar lagi? Ia memandang ke medan perang yang telah hancur, di mana pasukan Verellia masih bertarung mati-matian melawan sisa-sisa makhluk bayangan. Harapan mereka mulai sirna, dan kedatangan Malakar akan menjadi akhir bagi semuanya.

Lucien mendekat, meletakkan tangan di bahu Zarathustra. "Aku tahu ini sulit diterima, tapi kita tidak bisa melawannya dengan kekuatan fisik saja."

"Lalu apa yang bisa kita lakukan?" tanya Zarathustra dengan cemas. "Makhluk itu lebih kuat dari apa pun yang pernah kita hadapi."

Lucien menghela napas dalam-dalam, matanya penuh tekad. "Ada satu cara. Satu kekuatan yang bisa menandingi kegelapan Malakar."

Zarathustra menatapnya dengan penuh harapan. "Apa itu?"

Lucien tampak ragu sejenak sebelum akhirnya mengungkapkan rahasia yang ia sembunyikan selama ini. "Di dalam tanah Noctaria, ada sumber kekuatan yang terlupakan oleh bangsaku api kuno yang pernah menyelamatkan dunia dari kegelapan. Namun, untuk membangkitkannya, kita membutuhkan sesuatu yang lebih dari sekadar kekuatan fisik. Kekuatan itu membutuhkan pengorbanan, dan... penyatuan dua kerajaan yang selama ini terpecah."

Zarathustra mengernyit, bingung. "Apa maksudmu?"

"Api kuno itu hanya bisa dibangkitkan oleh darah dua kerajaan, Verellia dan Noctaria. Ini bukan soal pertarungan kekuatan, tapi soal penyatuan. Kita harus bekerja sama, Zarathustra. Bukan hanya kau dan aku, tetapi seluruh bangsa kita."

Zarathustra terdiam, mencerna perkataan Lucien. Selama ini, mereka diajarkan bahwa Noctaria adalah musuh abadi Verellia. Namun sekarang, untuk menyelamatkan kedua kerajaan, mereka harus bersatu. Sebuah ide yang tampak mustahil, namun juga merupakan satu-satunya harapan yang mereka miliki.

"Bagaimana kita bisa menyatukan dua kerajaan yang telah berseteru selama bertahun-tahun?" tanya Zarathustra dengan lirih.

Lucien menatap dalam-dalam ke matanya. "Itu harus dimulai dari kita, Zarathustra. Jika kita bisa menunjukkan bahwa ada jalan lain bahwa kita bisa bekerja bersama maka rakyat kita mungkin akan mengikuti."

Zarathustra menunduk, merasa berat. "Dan bagaimana jika mereka tidak mau? Bagaimana jika mereka menolak untuk percaya?"

Lucien tersenyum tipis, suaranya lembut namun penuh keyakinan. "Mereka akan percaya, jika kita percaya. Kita harus menunjukkan kepada mereka bahwa di antara api dan bayangan, ada cahaya yang bisa kita ciptakan bersama."

Zarathustra menghela napas, lalu mengangguk dengan tegas. "Baiklah. Mari kita lakukan ini."

Di tengah medan perang yang terbakar, dengan bayangan kegelapan Malakar yang semakin mendekat, Zarathustra dan Lucien berdiri berdampingan. Meskipun masa depan masih penuh ketidakpastian, mereka tahu bahwa di tangan mereka, ada harapan terakhir bagi Verellia dan Noctaria. Sebuah penyatuan yang bisa mengubah nasib dua kerajaan, dan mungkin... takdir mereka berdua.

DIANTARA API DAN BAYANGANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang