Part 1- pertemuan pertama

300 50 8
                                    

Semesta menatap lurus, kearah anak perempuan kecil yang akan mulai ia ajar hari ini. Selaras dengan kemegahan rumahnya, anak kecil di hadapannya juga berparas mewah. Mungil, putih, cantik berambut panjang.

Anak itu duduk mengayun-ayunkan kaki di atas kursi belajar,-yang Semesta tau, bukan sembarang kursi belajar. Itu sejenis kursi seharga lima juta yang biasa di Pajang di bagian depan toko perabotan kantor yang mewah.

"Halo." Sapa Semesta. Tersenyum. Menyodorkan tangan. Menahan diri untuk tidak menepuk-nepuk puncak kepala anak itu karena dorongan rasa gemas seperti melihat boneka beruang lucu," Mora.."

"Amora." Ulang anak itu, mengedit panggilan namanya tanpa balas tersenyum. Nada suaranya masih kekanak-kanakan. Suaranya kecil tapi tegas. Setegas wajahnya. Rona wajah dewasa dalam bingkai anak bayi kecil. 

Semesta menahan senyumnya yang melebar. Menebak-nebak apakah ini yang di sebut anak kecil berusaha kelihatan lebih dewasa dari usianya atau memang ia berhadapan dengan anak kecil yang agak berbeda. Anak yang nggak boleh di anggap remeh.

Karena Semesta sudah tau dari lama bahwa Amora,-keluarganya bisa jadi masuk dalam golongan satu persen orang Indonesia yang lahir dalam keluarga kaya tujuh turunan. Rumah megah dan jejeran mobil mewah di garasi rumahnya berteriak lantang seberapa banyak uang dan privilage yang ia punya.

Seperti kata ibu Semesta sebelumnya, 
kata beliau mengajar Amora itu sulit-sulit mudah. Mudah karena Mora luar biasa pintar untuk anak usia sebelas tahun tapi juga bisa jadi sulit karena hal yang sama, terlalu pintar. Seperti pisau dengan dua mata. Maju salah, mundur lebih salah.

Tapi, tawaran uang dari ibu Amora lebih menarik dari kesulitan yang dibayangkan  Semesta. Gaji nya setara UMR kota kecil, lebih besar dari guru honorer profesional. Padahal job desk nya hanya setara pekerjaan sambilan dan dilakukan oleh anak SMU berusia tujuh belas tahun tanpa pengalaman. Terkesan main-main dan kelihatannya ibu Amora memang main-main.

Semesta mengenal ibu Amora beserta keluarganya dari ibunya. Beliau berdua berteman dari zaman sekolah. Dari kecil Semesta sudah sering melihat ibunya dan ibu Amora saling mengunjungi rumah satu sama lain walau akhir-akhir ini frekuensi mulai berkurang.

Semesta sendiripun familiar dengan Amora. Semesta pernah beberapa kali melihat Amora saat bayi. Lalu beberapa kali disaat ia masih TK dan SD namun hanya sekedar senyum sapa tanpa percakapan.

Dari ibu Amora dan ibunya, Semesta tau, Mora cerdas. Ia tidak butuh les dan ibunya entah karena alasan apa memilih Semesta menjadi guru les. Menawarkan begitu saja, di suatu malam dan Semesta langsung mengiyakan tanpa pikir panjang.

Maka beginilah sekarang, semesta duduk di depan Amora. Anak kecil berusia sebelas tahun yang tanpa malu-malu canggung duduk menghadap Semesta. Saling berkontak mata dengan wajah serius, tidak seperti anak kecil umumnya.

"Kamu sedang baca apa Amora?" Tanya Semesta ramah berusaha membuka pembicaraan sambil meletakan tas sekolahnya di bawah kursinya.

"Wuthering heights, -Emily Bronte."

"Hm..." Semesta mengangguk menatap sampul buku yang di angkat Amora kehadapannya supaya terlihat lebih jelas, memang Amora anak kecil yang agak...tidak normal, bacaannya pun agak tidak normal untuk usianya,  "First edition, English version?"

"Iya." Amora mengangguk. Tiba-tiba meletakan buku itu di samping terjauh meja, kemudian mengeluarkan beberapa buku matematika dari dalam tas nya ke atas meja dengan muka lebih serius dari sebelumnya, "Hari ini belajar Matematika ya?"

"Besok kamu ulangan matematika?"

"Nggak." Amora mendongak, matanya yang bulat besar di hiasi bulu mata panjang itu menatap Semesta, "Kenapa harus ada ulangan dulu untuk belajar?"

Karena normal nya anak seumuranmu begitu? Pikir Semesta dalam hati namun ia tahan untuk terkatakan, "Apa kamu selalu belajar sendiri setiap hari walaupun nggak ada ulangan?"

"Nggak juga." Jawab Amora singkat, nada suaranya lagi-lagi tidak terdengar seperti anak-anak, "Aku lebih suka baca buku."

"Buku yang seperti tadi?"

"Kadang." Amora tiba-tiba menoleh ke arah belakang, ke deretan rak buku mewah di dekatnya, reflek Semesta ikut memperhatikan apa yang di tunjuk Mora dan sedikit berharap melihat deretan komik atau novel pra remaja. Sayangnya yang di lihat Semesta justru judul buku-buku teori kepribadian, behavioristic, gesture, seni membangun relasi, filosofi dan mindset, jenis buku yang seharusnya belum di baca anak kecil, "Tapi aku lebih suka baca yang itu."

Semesta mengerjap, "Itu, bukan bukunya ayahmu, Mora?"

"Ayahku nggak suka baca buku."

"Kamu sendiri nggak pernah baca komik?"

"Aku baca semua genre." Amora menoleh kedepan lagi, matanya lagi-lagi tanpa ampun menubruk mata Semesta. Mengukuhkan dirinya dalam lima menit sebagai anak kecil paling ajaib yang pernah di temui semesta, "Kak Semesta mungkin nganggap aku aneh. Tapi orang yang cuma baca satu jenis buku menurutku nggak bisa di bilang kutu buku. Buku kan jendela dunia. Tapi kalau hanya membuka satu jenis buku yang sama. Jadi sesempit apa dunia yang ia punya?"

GlimpseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang