Part 16

72 25 1
                                    

Ada perbedaan mencolok dalam perusahaan Semesta. Orang-orang staf pemasaran selalu menyetel musik keras-keras dalam workspacenya. Ekstrovet parah. Hobi bekerja sambil nyanyi dan mereka yang paling happy go lucky. Penempatan ruangan mereka di lantai Dua. Karena paling berisik. Disamping ruang mereka ada tim design, orang-orang yang kreatif, ambisius tapi kadang sama berisiknya dengan tim pemasaran.

Untuk lantai tiga, tim IT dan keuangan di jadikan satu lantai. Sejenis orang-orang yang sama. Yang kalau sudah duduk bekerja tidak akan bangun-bangun lagi dari kursi sampai benar-benar selesai. Ruangannya selalu paling sunyi, paling dingin. Paling tercium bau minyak angin saking seringnya sakit kepala dan biasanya hanya ada kedengaran suara keyboard di ketik atau batuk satu dua kali.

Lantai empat, ruang HRD, Semesta paling malas masuk kesana. Karena satu dan lain hal dan ruang Meeting. Biasanya tim operasional dan lapangan menggunakan tempat ini sebagai basecamp saat harus kumpul.

Lantai lima, tempat manager-manager berkumpul dengan sekretarisnya. Semesta jarang kesana kecuali ada masalah atau kebutuhan IT. Dan nggak ada juga alasan untuk Semesta sering-sering kesana.

Justru semesta lebih sering berada di lantai satu, tempat pantry, ruang santai staff di belakang resepsionis atau ke gudang utama di belakang gedung. Salah satu warehouse terbesar juga. Mengecek CCTV. Gudang itu penuh bahan pangan, berton-ton kentang, cabe, jagung kering,  bawang merah dan komunitas lain yang menunggu di pasok ke dalam pabrik atau di ekspor ke luar negeri setelah quality control check.

Selama beberapa hari kemudian, untuk mengakui ini dengan lapang dada sebenarnya agak konyol bagi Semesta, sepanjang waktu ada sebagian isi hati Semesta yang berteriak berharap ia bertemu dengan Amora baik sengaja maupun tidak sengaja walau sebagian lagi isi hatinya berteriak tidak,-jangan sampai.

Sialnya, untuk tidak sengaja bertemu dengan Amora,-sebenarnya dengan siapa saja, dalam gedung kantor itu tidak semudah itu juga. Semesta yakin seratus persen; memang betul Amora ada disini, dalam gedung yang sama, tapi untuk tidak sengaja bertemu pun ternyata sesusah itu.

Love is about timing. Suara Amora seakan berbisik di hati Semesta disaat Semesta lengah siang ini. Semesta tersentak, suara itu memburu-buru Semesta untuk mencari bahan pekerjaan lain untuk mengalihkan pikiran,-segala nya itu timing. Bergantung dengan waktu. Mau kita hanya berjarak satu meter, satu jengkal, kalau keadaan tidak mendukung, kita tetap tidak akan pernah bertemu..

Lebih bagus begitu. Teriak semesta dalam hati membalas suara mendayu manja Amora, suara gila ciptaannya sendiri. Sementara matanya mendelik menatap Laptop.

Temui aku... Ayo temui aku. Cari aku kak Semesta.

Astaga. Kali ini Semesta memencet tombol keyboard dengan cukup keras sampai terdengar bunyi brak dalam ruang IT yang biasa sunyi.

Para staf IT lain langsung menoleh. Mengangkat alis menatap Semesta. Mau tidak mau Semesta nyengir, merasa tolol lalu buru-buru bangkit berdiri. Mengacak-ngacak rambut. Berjalan ke lift. Hendak turun ke arah pantry untuk menyeduh kopi. Kabur secara halus.

Semesta sudah berdiri di depan lift. Mengetuk-ngetuk sepatu pantofelnya ke lantai. Dengan tidak sabar memencet tombol turun. Sampai akhirnya pintu lift benar-benar terbuka perlahan.

Wajah pak Oliver yang sangat Semesta kenal muncul. Wajah campuran jerman india tapi lebih condong ke asia India. Beliau hanya lebih tua lima tahun dari Semesta. Tunggi, berkulit coklat, berambut ikal. Belum menikah, namun sudah punya pengalaman kerja dalam perusahaan serupa di Afrika. Ia beberapa kali pindah negara dari negara asal Singapura sampai akhirnya terdampar, di tempatkan di Indonesia oleh kantor pusat di Inggris sana.

"Hei! glad to see you. Saya memang ingin ketemu kamu." Ujarnya dengan bahasa Inggris aneh tapi lebih aneh lagi bahasa Indonesia nya. Campuran logat Melayu dan India.

"Yes? Need help?" Semesta mengerjapkan matanya. Kaget karena langsung di todong permintaan di saat yang sama pintu lift terbuka.

"Nah but first, come in. Let's go." Oliver menggerak-gerakkan tangannya menyuruh Semesta segera masuk lift.

Semesta terpaksa bergerak. Walau udara dalam paru-paru nya seakan di tarik masuk dalam ruang hampa. Habis tak bersisa. Ia merasa sendirian. Mati kutu. Tidak bisa apa-apa. Di buat seperti itu oleh seseorang yang berdiri di belakang Oliver hanya dengan lewat satu tatapan mata, Amora.

GlimpseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang