Part 3

128 36 1
                                    

Hari ini agak berbeda dari biasanya. Mbak Ika, salah satu dari sekian banyak pekerja rumah di rumah Amora mengantar Semesta bukan ke ruang belajar, namun ke dapur.

Ternyata Amora sedang ada di dapur saat semesta datang. Ia sedang memasak di dapur rumahnya yang luar biasa. Seperti melihat isi majalah interior yang terpampang nyata. Di depan Amora, duduk ibunya. Memakai baju santai, yang jarang sekali Semesta lihat. Karena yang Semesta tau beliau memang jarang ada di rumah dan lebih seringnya beliau kadang muncul selalu dengan pakaian jas kerja sopan rapih.

Ibu Amora mendongak saat Semesta berjalan semakin mendekat. Tersenyum. Meletakan buku yang daritadi beliau baca di atas meja makannya, "Halo, Semesta." Sapa beliau ramah.

Semesta balas tersenyum. Ia tidak pernah biasa dengan jenis suara ibu Amora. Suara anggun, berwibawa. Yang hanya dari suara saja kedengaran kalau beliau,- walau cuma duduk cantik di rumah saja tetap tidak akan habis uangnya. 

"Maaf ya Semesta, jam les nya Amora bisa mundur sedikit ya? Amora sedang ibu minta untuk masakin ibu makan siang."

Nggak kebalik? Kenapa anak yang memasak untuk ibunya? Itulah suara hati Semesta walaupun di luarnya Semesta hanya balas mengangguk, tersenyum sopan dan bertanya, "Nggak apa-apa. Amora pintar masak ya tante?"

"Iya. Kadang Amora masak untuk ibu."

"Dua tiga bulan sekali." Potong Amora. Ia berdiri di atas kursi kecil di depan meja kounter. Sedang menimbang garam. Tanpa mendongak. Tanpa terlihat tertarik pada kedatangan Semesta.

"Kenapa garam di timbang?" Tanya Semesta. Satu alisnya naik, Amora dan keluarganya tidak pernah tidak aneh dalam sehari-hari nya di mata Semesta.

"Supaya pas. Semua harus di timbang." Jawab Amora masih acuh tak acuh sementara tangannya masih sibuk melakukan hal ini itu lagi.

Ibu Amora sontak tertawa, "Semua bahan masakan yang di pakai Amora selalu di timbang hati-hati, Semesta. Sesuai takaran."

"Ooohh.." Semesta ngangguk-ngangguk, langsung teringat dirinya sendiri dan ibunya yang kalau sedang masak suka menjumput garam, bumbu apa saja sesuka hati. Kalau kurang asin pun nggak masalah. Kalau keasinan pun nggak masalah asal bisa dimakan.

"Ibumu pasti nggak begitu kan Semesta?"

Semesta tersentak. Ibu Amora kini meliriknya sambil nyengir kemudian menepuk-nepuk kursi meja makan kosong di sampingnya, seakan membaca pikiran Semesta tanpa usaha dan sepertinya beliau juga tidak benar-benar butuh jawabannya,  "Ayo sini duduk. Disebelah Tante. Jangan malu-malu. Ayo makan bersama... Amora walaupun masih sekolah dasar dia jago bikin steak ikan."

Semesta menelan ludah canggung. Mau tidak mau mengiyakan. Semesta tidak punya pilihan selain berjalan untuk duduk di samping ibu Amora. Di atas kursi jati mahal di depan meja marmer panjang besar mewah.

Semesta melihat, di atas meja makan sudah tersaji kue biskuit coklat dalam mangkuk kristal yang biasanya hanya muncul di rumah Semesta saat hari sepesial. Setahun sekali. Di sisi lainnya ada setumpuk buah anggur berbagai warna, berbagai macam buah berry yang Semesta belum pernah coba dan buah-buahan eksotis lain. Bagai langit dan bumi. Awan dan tanah. Berbanding jauh dari meja makan keluarga Semesta. Dapur keluarga menengah keatas tapi masih juga kalah dari dapur orang kaya yang sesungguhnya. Dunia yang Semesta pikir tidak nyata tapi kini terpampang menyala.

"Oh iya. Ini honor mu bulan ini." Ibu Amora tiba-tiba mengeluarkan sesuatu dari dalam kantungnya. Sesuatu yang Semesta yakin sudah beliau siapkan sedari sebelumnya. Mengalihkan pikiran Semesta dari fakta-fakta kesenjangan kelas sosial yang biasanya Semesta tidak pedulikan.

Semesta langsung berusaha dalam mode wajah sopan. Menekan wajah senang tapi menonjolkan wajah seakan tidak butuh-butuh amat dengan uang itu. Wajah yang menurut norma di definisikan sebagai menjaga harga diri dan harkat martabat terutama karena Semesta menyadari Amora mendadak menatapnya terang-terangan dari balik counter dapur, "Makasih Tante."

"Tante yang makasih sama kamu. Seenggaknya sekarang kalau ada kamu, Amora bisa tau rasanya punya saudara...."

GlimpseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang