Part 8

114 30 8
                                    

"If you think so..." Mulut Amora terbuka tapi kemudian menutupnya lagi. Menghentikan kalimat apapun yang tadinya ingin ia katakan. Ia membuang wajah lalu menyingkirkan buku Lolita dari pangkuannya, "Then may I learn about scientific study of language? Not just about grammar. I mean systematic investigation of the properties of particular languages as well as the characteristics of language in general?"

Semesta mengerutkan kening. Menelan ludah. Ia selalu,- hampir setiap saat berusaha untuk tidak kelihatan bego di depan Amora, tapi sialnya, Amora sering merangkai kata, pertanyaan yang membuat otak Semesta jungkir balik. Hampir meledak.

"Linguistik maksudnya?"

"Iya."

"Nggak ada anak SMU normal yang mau belajar linguistik sekalipun di paksa." Ledek Semesta.

"But I want." Jawab Amora tak berkurang seriusnya.

Semesta mulai tertawa pelan, kecil. Menertawakan dirinya sendiri yang seperti di dorong makhluk kecil ke pinggir jurang dan tak berdaya. Karena Amora, Semesta membaca buku lebih banyak. Lebih sering membaca jurnal ilmiah.  Mendengarkan berita. Cermat melihat artikel. Belajar untuk menjadi lebih baik. Berpengetahuan lebih luas. Amora memunculkan sisi lebih baik pada dirinya, namun disaat yang sama, Semesta sering merasa terjebak dan tidak tau harus bagaimana.

"Aku nggak begitu tau tentang Linguistik." Semesta mau tidak mau mengakui dengan berat. Harga dirinya selalu terluka setiap ia dengan gentleman mengakui bahwa tidak semua cabang ilmu ia kuasai dan dirinya bukan manusia super yang bisa segalanya, "Ilmu yang kupelajari di kuliah sekarang bukan bahasa Mora, tapi llmu komputer."

"Ooh.." Amora mengangguk, wajahnya sebenarnya datar, tapi... Ada sesuatu di sudut bibirnya, cahaya matanya, yang membuat harga diri Semesta semakin meronta.

Semesta mendengus kalah, "Oke. What kind of specific branches of linguistics you want to learn? Study of morphology, syntax, phonetics, or semantics?"

"All of that. Adding psycholinguistics?"

"Memang jurusan apa yang kamu ambil nanti?"

"Manajemen." Amora menjawab singkat, "Seperti yang ayah mau."

"Seperti yang kamu mau?"

"Never."

Jawaban Amora membuat mata Semesta melebar. Sementara Amora sendiri hanya menggigit bibirnya. Perlahan pipinya mulai merona. Semakin merona sampai akhirnya merah, lucu seperti tomat. 

"Cita-cita mu apa Amora?" Tanya Semesta, tergelitik rasa penasaran yang akan menyiksanya dirinya sendiri nanti.

Amora terdiam cukup lama. Mengganti posisi duduk, duduk normal di sofa lalu mulai mengayun-ayunkan kakinya pelan. Amora kecil sepertinya punya kebiasaan itu sejak lama.

"Menikah. Punya anak. Punya keluargaku sendiri." Jawab Amora pelan. Sunyi senyap selama beberapa detik sampai Amora melanjutkan lagi berkata, "Apa punya cita-cita untuk menikah itu aneh?"

Berusaha segera untuk sadar dari keterkejutan, Semesta menggeleng dengan cepat, "Nggak." Jawab Semesta, matanya menatap ke arah jendela besar di samping ruang keluarga Amora. Ke padang rumput. Kearah manapun asal bukan memandang wajah Amora.

"Kalau gitu aku mau menikah setelah lulus SMU."

"Tunggu." Potong Semesta kembali kaget. Lebih kaget dari sebelumnya, "Kamu punya pacar?"

"Nggak."

"Ayahmu jodohin kamu?" Tanya Semesta, suaranya ikut berubah pelan, ia tau ibu Amora ada di rumah dan ada sepeleton pekerja rumah Amora ditambah CCTV di sekeliling sudut rumah.

"Nggak." Jawab Amora lagi-lagi ia kedengaran seperti anak kecil berusaha tampak dewasa.

Tanpa sadar Semesta menghela nafas. Dengan background keluarga seperti Amora sebenarnya Semesta tidak akan kaget kalau Amora sampai menjawab iya, benar dijodohkan, "Jangan menikah terlalu muda. Jangan sampai kamu salah pilih."

"Katanya love is about timing. Itu benar nggak kak?" Potong Amora tidak nyambung. Lagi-lagi pertanyaan yang membuat Semesta tercengang.

Semesta dengan ragu mengangkat bahu. Amora boleh menanyakan tentang rumus dan Semesta akan belajar semalam suntuk. Amora juga boleh bertanya tentang apa saja dan Semesta akan berusaha mati-matian mencari tau tapi kalau soal cinta-cintaan Semesta angkat tangan. Selain cringe, cinta bagi Semesta tidak masuk daftar ilmu urgent yang mau dan bisa ia pelajari.

"Kemarin, aku habis dari toko buku. Lalu waktu mobil ku keluar dari parkiran. Aku ngeliat kakek tua jualan kincir angin dengan sepeda jelek. Seandainya aku memilih lebih lama di toko buku atau aku memilih untuk nggak mendongak ngeliat keluar dari jendela mobil. Aku nggak akan ketemu dan melihat kakek penjual kincir angin."

"Kamu suka kincir angin? Apa kincir anginnya bagus?"

"Aku nggak pernah lihat mainan kincir angin sebelumnya. Kincir angin buatan sendiri dari plastik. Warna warni."

"Kamu pasti beli semua kincir angin yang di jual kakek itu." Tebak Semesta kecut.

"Iya." Amora mengangguk, matanya hanya diam menerawang, "jadi bener kan? Everything is about timing."

"Iya. Mungkin."

"Kak semesta sendiri mau menikah setelah lulus kuliah? Kakak punya pacar?"

"Kenapa jadi bahas seperti ini?" Potong Semesta, "Kamu minta untuk belajar psycholingustik, bukan ini."

"Ini sama kok. Psychology of language is the study of the interrelation between linguistic factors and psychological aspects, jadi sama aja. Kakak paham kan main focus dari psycholinguistics? The search for knowledge and understanding of how humans acquire, generate, and receive language? As a blending of psychology and linguistics, psycholinguistics unique recognizes that language is both a physical and cognitive endeavor."

"But not using this kind of topic."

"Berarti sekarang kakak punya pacar." Ujar Amora. Tiba-tiba ia mulai memainkan pensil mekaniknya. Menekan ujungnya bolak balik hingga menghasilkan suara pelan yang repetitif.

"No, im not. But why do you want to know?"

"Because if I have to marry tomorrow, then I want to marry you."

GlimpseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang