Part 6

99 30 2
                                    

Orang kadang lupa, bahwa satu dua kalimat yang bahkan di nyatakan tanpa perasaan, sekedarnya, asal iseng, setengah tidak peduli benar-benar bisa mengubah dunia seseorang.

Kalimat itu terbawa. Teringat. Menjadi pecahan ingatan yang tidak akan pernah terlupa. Sesuatu yang di abaikan pembicaranya namun membekas dihati yang mendengarnya.

Mau itu hal baik atau buruk. Maka ada istilah, belajar bicara hanya sebentar tapi belajar untuk menjaga kata-kata itu seumur hidup.

Sekarang semakin hari berlalu, Semesta bersyukur, ia selalu menjaga kalimatnya, jawabannya. Menjaga Amora dari pikirannya, pertanyaannya sendiri dan dari beban yang biasanya ia simpan sendiri. Karena semakin bertambah umur, Amora pun berubah. Ia lebih kritis. Namun cara bicaranya lebih santai. Lebih praktis. Lebih mudah di pengaruhi.

Amora mulai lebih terbuka membicarakan sehari-hari nya tanpa di minta. Bercerita tentang ayahnya yang keras dan kolot dan ibunya yang baik tapi menjaga jarak. Juga sekolahnya yang biasa saja. Cenderung bikin bosan katanya. Ia sekarang bersekolah di SMU swasta internasional elit yang biaya satu tahun sekolahnya bisa untuk membiayai satu keluarga menengah makan tiga kali sehari selama tiga tahun.

Sekolah Amora mempersiapkan setiap lulusan nya untuk langsung mengambil kuliah di luar negeri. Jalan hidup yang mudah di tebak untuk Amora dengan segala privilage nya. Semesta sendiri juga sudah bersiap-siap, sumber uang saku utamanya selama bertahun-tahun sebentar lagi pasti akan hilang. Pergi melanjutkan hidup. Begitu juga dengan Semesta yang sebentar lagi akan lulus kuliah. Bekerja di dunia nyata. Ia tidak bisa selamanya menggantungkan hidup menjadi guru les privat sementara jurusan dan minat pekerja yang ia mau ada di bidang IT.

Tapi anehnya disaat yang sama, sejalan dengan waktu, pikiran ajaib Amora tidak lagi kedengaran konyol. Pertanyaan aneh Amora semakin terdengar masuk akal. Wajah kekanak-kanakannya mulai luntur dan mengajar les yang tadi nya terasa seperti kewajiban menjadi sesuatu yang Semesta tunggu.

Ia terbiasa untuk datang ke rumah Amora. Terbiasa melihat Amora dalam berbagai keadaan. Duduk santai menonton tv. Merajut sendirian di ruang keluarga. Berdiri diam sambil memandang air mancur. Membaca buku. Memasak sendirian di dapur, menyajikan masakan yang ia buat sendiri ke seluruh pekerja rumahnya.

Terlalu banyak yang ia ingat dari anak yang ia lihat pertumbuhannya. anak yang bertambah dewasa, mulai menjadi remaja hingga sungguh-sungguh menjadi remaja.

Semesta perlahan juga mulai menyadari, mau tidak mau, bahwa bentuk tubuh Amora berubah. Tinggi Amora sudah sampai di bahu Semesta. Tubuh proporsional khas seseorang yang terbiasa hidup mewah terawat. Putih bersih jauh dari sinar matahari. Amora sendiri sepertinya sudah mulai paham make up,  jadi ia lebih sering muncul saat jam belajar, memakai bedak dan lip gloss tipis menghias wajah yang dasarnya memang sudah cantik.

Tapi yang paling mencolok, dan membuat Semesta semakin sadar bahwa anak kecil yang ia kenal benar-benar sudah bukan anak kecil lagi ketika Semesta datang suatu malam. Amora sedang duduk di meja makan. Di dekatnya ada ibunya yang seperti normalnya menawari Semesta untuk ikut makan bersama. Amora baru selesai memasak, bistik daging dan salad.

Semesta melihat kening Amora sedikit berkeringat, dan ia mengikat rambutnya sanggul berantakan keatas. Amora tidak melakukan apa-apa. Ia hanya duduk diam tanpa makan di depan Semesta, entah kenapa menggigit bibir sambil memandang ke luar jendela besar rumahnya yang langsung menghadap ke Padang rumput rumahnya, tebing dan view kota.

Detik itu jantung Semesta berdebar. Satu dua tiga detakan. Semakin cepat. Melaju kacau. Dalam detakan yang tak berirama. Wajah Amora kelihatan cantik. Lebih cantik dari biasanya. Jauh dari kata anak kecil. Ia sudah dewasa. Walau tidak dewasa sepenuhnya.

Dan detik itu pula, Semesta melakukan hal paling gila' yang pernah ia lakukan seumur hidup. Diam-diam, sehati-hati mungkin, mengabadikan wajah Amora di handphone nya. Tepat di samping ibu Amora yang masih sibuk makan, tepat di depan Amora yang masih terdiam tak menyentuh makanannya terus memandangi Padang rumput rumahnya.

GlimpseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang