Part 23

98 25 9
                                    

Desahan nafas memburu. Suara jantung yang berdetak. Semesta bisa merasakan itu semua. Ia juga bisa melihat Amora, menikmati ciumannya. Menarik Semesta semakin mendekat. Merengkuhnya. Seperti candu. Candu yang menghilangkan rasa malu dan akal sehat. Racun yang ada di setiap diri laki-laki ketika melihat wanita yang paling ia suka di dunia.

"Kakak." Panggil Amora, ketika jemari Semesta sudah menyentuh kancing piyama Amora.

Semesta, berhenti, tatapannya nanar. Sementara Amora dengan bibir merah bengkaknya tersenyum merona menatap Semesta sebelum bertanya, "Setelah ini kita mau apa?"

Jantung Semesta berhenti. Tiba-tiba dimata Semesta, Amora dewasa kembali menjadi Amora kecil berkucir dua yang sibuk makan permen susu saat belajar.

Kalimat Amora bukan pertanyaan cerdas apalagi filosofis. Cuma pertanyaan polos yang Semesta sangat yakin, berdasarkan cerita dari ibunya dan apa yang Semesta tau sejauh ini; Amora seumur hidupnya benar-benar-sama sekali, belum pernah punya hubungan serius dengan laki-laki.

Dengan cepat Semesta menjaga jarak. Membantu Amora duduk di pinggir kasur lalu menyelubungi Amora dengan selimut.

"Kenapa berhenti?"

Kepala Semesta menggeleng putus asa. Diwaktu yang sama, dalam hati ia berusaha melafalkan dasa dharma Pramuka, pembukaan UUD, dan Pancasila tapi masalahnya, Semesta tau-tau benar-benar lupa.

"Nanti. Suatu saat nanti."

"Ayo. Ayo di lanjut." Paksa Amora.

Semesta menggenggam erat pergelangan tangan Amora yang menarik kemejanya mendekat,  "Amora. Kita belum menikah."

"Then I will marry you."

"Menikah nggak semudah itu Amora."

"Tapi janji. Kakak jangan menghilang lagi setelah ini? Soalnya karena alasan ini kan kakak dulu berhenti mendadak mengajar aku?"

"Iya."

"Then you are also love me."

"I do. Always do." Jawab Semesta tanpa ragu. Ia tak perluh berpikir lama sebelum menjawab. Karena ia dan Amora sesungguhnya sama-sama sudah tau hal itu sejak lama.

"I know it!" Amora bersorak. Wajahnya luar biasa bahagia, "Aku tau! Selalu tau. Kakak sebenarnya sayang aku. Tapi kakak dulu selalu nganggap aku terlalu muda. Masih kecil. Anak-anak."

Rona bahagia Amora membuat Semesta terpana, "Iya." Jawab Semesta. Lagi-lagi ia tak merasa perluh harus menyangkal ini.

"You are not Humbert, kak. And I'am not Lolita. Never."

"Perhaps you think age gap relationships and power imbalances are not restricted to story, Amora. But the depiction of these relationships is potentially dangerous, as they downplay the severity."

"Tapi sekarang umurku 21. Terus apa salahnya?"

"Umurku 27."

"That's the point, what's the problem? Why do you always make it sound complicated after all this time? Aku sudah nunggu kakak bertahun-tahun."

"Jadi just let it flow yang kamu maksud ini?" Semesta balik bertanya, memotong dengan nada sedikit kasar, "Apa kamu sengaja masuk ke perusahaan ini untuk bertemu aku Mora?"

Amora tersentak sedikit, sebelum perlahan mengakui, "I don't really care about this company. I just care about you."

"But you have to care. I work in here. Jangan lupa."

"Kalau kita menikah. Kakak bisa kerja di perusahaan ayahku."

Semesta menggeleng tegas, "Jangan jadi idiot karena perasaan Amora. Being in love doesn't mean give everything, unconditional tolerance or looking outward together always in the same direction."

"Being in love... But what is love? Jadi, apa sekarang kakak sudah bisa jawab, pertanyaan yang selalu aku tanya ke kak Semesta dulu?"

"About love?" Semesta menghela nafas, menatap Amora. Perlahan melepas genggaman tangannya di pergelangan tangan Amora untuk menepuk puncak kepala Amora lembut. Dalam esensinya masih sama, Semesta masih tidak yakin bisa menjelaskan dengan baik dan benar tapi ada satu hal yang Semesta yakini sejak dulu dan ia tau tidak pernah berubah, "Love is you."

"Me?"

"Yes,-namamu Amora."

GlimpseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang