Part 26

91 22 2
                                    

"Selama ini kamu pulang kantor dengan siapa?"

"Di jemput sopir." Jawab Amora saat mobil SUV Semesta melewati gerbang keluar gedung kantor untuk mengantar Amora pulang, "Aneh kah?" Tanya Amora cepat-cepat setelah melihat perubahan raut wajah Semesta.

"Nggak. Kadang ada beberapa anak magang yang seperti kamu juga. Di jemput sopir atau pulang pergi bawa mobil Pajero."

"Berarti aku nggak aneh-aneh amat ya?"

Semesta menahan senyum, menarik jemari Amora. Mengecupnya lalu menggenggamnya di atas pangkuannya disaat yang sama Semesta menyetir mobil dengan satu tangan.

"Setelah kamu tau perasaanku yang sebenarnya, apa kamu bakal segera resign, Mora?"

Amora menggeleng, "Aku sudah tekan kontrak kerja selama satu tahun."

"Tapi untukmu hukuman uang penalti resign nya nggak seberapa kan?"

"Nggak." Jawab Amora jujur, "Tapi kalau aku resign dari kantor sekarang, aku bakal sulit untuk ketemu kakak.."

"Jangan kerja di perusahaan ini dengan alasan yang kamu pakai sekarang, Amora. Dengan gelar mu kamu bisa dapat perusahaan dan jenjang karir yang lebih bagus."

"Aku sudah punya segalanya. Apalagi yang kukejar?"

Semesta mengerutkan kening. Kalimat Amora kedengaran nyeleneh tapi secara esensi memang benar, "Dari kecil kamu ngikutin segala macam les, sekolah di tempat prestisius. Segitu banyak prestasi. Dengan semua kemampuanmu itu apa kamu nggak mau berbagi dengan orang lain?"

"Pasti kubagi. Dengan anakku nanti."

Seketika tawa Semesta pecah. Ia tertawa terbahak-bahak. Sejak kapan pula ia bisa menang melawan adu debat logika dengan Amora?

"Oke." Ujar Semesta di tengah tawanya. Ia benar-benar ketawa geli, "Ayah ibumu sendiri gimana? Apa mereka nggak apa-apa kamu kerja di perusahaan yang notabene bukan di perusahaan keluarga?"

"Nggak apa-apa. Ibuku nggak masalah kok."

"Ayahmu?"

Amora terdiam. Wajahnya mendadak menunduk. Diam yang berbahaya. Diam yang Semesta tau bahwa semuanya tidak benar-benar baik-baik saja. Tawa Semesta terhenti, di gantikan perasaan tidak nyaman mengaduk-aduk perut.

"Ayahku sebenarnya nggak apa-apa."

"Sebenarnya?" Ulang Semesta.

Secepatnya Semesta mencoba mengingat-ingat bagaimana informasi dan sikap ayah Amora yang ia tahu sejauh ini. Tapi anehnya nyaris tidak ada dalam sudut laci manapun di ingatannya. Amora jarang membicarakan ayahnya. Ibu Semesta juga jarang dan Ayah Amora hampir tidak pernah muncul di hadapan Semesta secara langsung sejak dulu. Ia seseorang yang Semesta kenal hanya lewat lukisan megah yang di pajang di ruang grand piano Amora.

"Aku pernah bilang kan ke kak Semesta? Ayahku baik tapi keras. Tegas tapi otoriter. Beliau selalu ngasih aku semua yang aku mau tapi bukan apa yang aku butuh."

"Ayah nggak masalah aku mencoba pertama kerja di perusahaan apa aja selama pada akhirnya aku kembali lagi melanjutkan perusahaan ayah. Ayah juga nggak masalah aku mau kuliah dimana aja selama jurusannya bisnis manajemen. Ayah juga bilang, aku boleh punya pacar tapi aku cuma boleh menikah dengan orang yang status sosial nya sama denganku, orang pilihan ayah."

"Lalu?" Tanya Semesta. Tanpa sadar mencengkram stir mobilnya sekuat tenaga.

"Ada salah satu orang kepercayaan, penasihat ayah sejak dulu di perusahaan. Umurnya sekarang hampir empat puluh. Ayah bilang ayah mau menjodohkan ku dengan beliau." Ujar Amora pelan, halus sangat hati-hati sementara jemarinya menggenggam semakin erat jemari Semesta,"Kak Semesta pernah bertemu dengan beliau. Mungkin lima enam tahun yang lalu. So that's why kak Semesta will never be Humbert for me. Pak Liam, he's the real one. Even he neither kid-napped nor raped me but he robbed me of my childhood."

"Was that the reason why, that day you suddenly proposed to me?"

"Yes."

Berusaha tetap tenang, Semesta mencoba untuk melanjutkan kalimatnya dengan lembut, "Tapi di hari yang sama kamu juga bilang kamu tidak di jodohkan dengan siapa-siapa."

"That was my first stupid lie, kakak.."

GlimpseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang