Satu, dua tahun berlalu. Amora kecil perlahan tumbuh dewasa. Ia dulu anak yang selalu muncul memakai baju daster sederhana tapi jelas mahal yang panjangnya di bawah lutut. Sekarang ia, berumur hampir empat belas tahun. Lebih suka memakai celana training dan jumper tebal saat menemui Semesta. Rambut panjang nya yang biasanya tergerai juga ia ikat tinggi, ekor kuda.
Semesta sendiripun bertumbuh, ia bukan lagi anak laki-laki yang harus datang ke rumah Amora dalam keadaan masih memakai baju seragam sekolah. Keringatan kepanasan sepanjang jalan menaiki motor. Ia sekarang, sudah duduk di bangku kuliah. Kategori dewasa muda. Secepat itu waktu berlalu.
Jam terbang nya kini sudah tinggi. Ia tidak lagi diam bengong setiap Amora kecil melontarkan pertanyaan aneh tingkat dewa, -pertanyaan yang butuh intelejensi tinggi untuk bisa menjawabnya atau pertanyaan menjebak yang membuat Semesta harus pikir seratus kali untuk menjawabnya.
Sampai sekarang Semesta masih dalam jadwal yang sama, tiga kali seminggu datang ke rumah Amora. Senin, Rabu Sabtu. Tapi kini lebih sering setelah petang. Saat Amora sudah selesai mengikuti deretan les-lesnya yang lain yang Semesta kira akan berkurang seiring pertambahan umurnya, tapi nyatanya malah bertambah.
Yang Semesta tau, Amora ikut kelas renang, piano, biola, taekwondo, menyanyi, bahasa Perancis, hanya sebagian itu, karena cuma itu yang di ceritakan oleh Mora. Mungkin ada les-les lain, yang Amora tidak ceritakan karena memang jadwalnya selalu banyak. Penuh.
Setaunya juga, Amora hanya punya waktu kosong di hari Minggu yang biasanya ia pakai untuk merajut. Aneh kan? Apa yang tidak aneh dari Amora. Hobinya selain membaca buku adalah merajut. Hobi kuno , abad pertengahan.
"Kamu nggak main sama temenmu besok Minggu?" Tanya Semesta iseng suatu hari, setelah jadwal les nya dengan Amora berakhir Sabtu malam ini.
Amora menggeleng, memandang langit-langit kayu rumahnya. Ke arah CCTV yang berjajar di hampir setiap sudut ruangan dengan tatapan kosong, "Nggak."
Kening Semesta berkerut, ia agak khawatir pada Amora. Dengan sikapnya yang disiplin, teliti, kaku, introvert, terlalu pintar begitu Amora bisa jadi sasaran empuk pembullyan di sekolah, "Apa kamu nggak suka jalan-jalan dengan teman-teman mu?"
"Nggak. Aku suka kok. Tapi temenku nggak banyak." Jawab Amora santai. Kalem, "Dan temen-temen ku kebanyakan nggak suka jalan-jalan."
"Jadi, seumur hidup kamu nggak pernah pergi malam Minggu? Keluar ke kafe? Atau..." Suara Semesta mulai tersendat. Ia jarang mendobrak tembok privasinya antara dirinya dan Amora, "Main kerumah teman?"
Kecanggungan mulai menguar. Menyelubungi ruang. Tapi mungkin hanya bagi Semesta karena Amora tetap kelihatan diam santai.
"Nggak pernah. Gimana rasanya? Apa aku salah karena nggak pernah ngerasain hal kayak gitu?"
Pertanyaan menjebak.
"Nggak salah. Kamu masih SMP, Amora. Jalan hidupmu masih panjang."
"Oke." Amora mengangguk. Dasarnya ia memang bukan anak yang sulit, " Kalau gitu boleh aku minta sesuatu ke kak Semesta?"
"Ya?"
"Kalau kak Semesta nggak sibuk. Boleh besok Minggu, aku minta les ?"
"Hari Minggu kamu masih mau belajar?" Semesta geleng-geleng takjub dan jemarinya menggaruk rambutnya yang sebenarnya tidak gatal.
"Isi waktu dengan hal yang bermanfaat. Karena waktu nggak akan pernah terulang." Jawab Amora.
Tanpa sadar Semesta menahan tawa. Ia berharap apa dari jawaban Amora yang nggak akan pernah sesuai dengan umurnya?
"Ya. Boleh." Semesta akhirnya mengangguk, les tambahan berarti uang tambahan juga. Artinya suntikan dana untuk uang kuliah dan Laptop baru penunjang kuliahnya.
"Tapi boleh nanti les nya jangan di ruang perpustakaan? Tapi di luar." Minta Amora. Ia menunjuk jendela besar yang menghiasi samping tangga rumahnya yang besar, "Di taman dekat air mancur rumahku. Di bawah pohon kamboja merah."

KAMU SEDANG MEMBACA
Glimpse
RomansaTrue love is always worth to wait. Warning mature content. This works have general and fundamental questions concerning topics like existence, reason, knowledge, value, mind, and language. Dedicated for people's who like sweet, mature, love story...