Part 2

143 40 2
                                    

"Gimana rasanya ngajar Amora?" Tanya ibu Semesta saat Semesta baru saja pulang hampir menjelang malam.

Ibu semesta sekilas mirip dengan semesta, berkacamata, berambut pendek namun bertubuh lebih pendek dua puluh Senti dari semesta. Beliau juga dosen seperti ibu Amora. Namun lebih fleksibel dan santai.

Semesta melepas kancing kemeja seragam sekolahnya. Menatap langit-langit rumahnya. Diam, lelah, tanpa jawaban.

Ibu Semesta duduk disofa disampingnya, menahan senyum dan ketawa, "Amora pinter banget kan? Mungkin kamu aja kalah pinter dengan anak kelas lima SD. Tapi secara sosial kamu pasti kamu jauh lebih pintar Semesta. Kasihan Mora. Orangtuanya sibuk. Nggak punya saudara. Dari kecil di asuh pembantu. Walaupun rumah nya kayak istana tapi Mora mungkin nggak tau rasanya punya keluarga."

"Kenapa nggak ibunya sendiri yang ngajar ya? Ibu Mora dosen kan?" Tanya Semesta setelah sekian lama ia berdiam diri.

"Ngajar anak kecil dan dewasa itu beda, Semesta. Ngajar anak orang lain dan anak sendiri juga beda. Kamu bisa jadi lebih sabar ngajar anak orang lain daripada anak sendiri. "

"Tapi Mora nurut dan nggak nakal sama sekali." Bantah Semesta. Tepatnya Mora nggak butuh untuk di ajar. Ia bisa sendiri. Ia punya rasa tanggung jawab, fokus dan kecerdasaan di atas rata-rata anak usianya.

"Ya karena yang di butuhkan Mora sebenarnya keluarga. Ibunya Mora pasti tau, Mora mungkin lebih butuh sosok saudara. Kakak. Supaya ia nggak kayak robot begitu. Iya kan? Ibu pernah ketemu Mora. Dia nggak kayak anak kecil."

Semesta mendengus, "Ibunya tau anaknya, Mora kesepian, tapi malah ngasih tanggung jawab ke orang lain. Pura-pura nggak tau, lepas tanggung jawab. Mencari solusi yang sebenarnya bukan solusi juga."

Ibu Semesta menepuk-nepuk pundak anaknya dengan wajah damai, tersenyum pengertian dan kalem, "Kita nggak pernah tahu masalah apa yang lagi di hadapi oleh ibu Mora. Oleh Mora, oleh keluarganya. Uang nggak bisa beli kebahagian, nak. Nanti mungkin kamu akan tau sendiri alasan tepatnya, kenapa ibunya lebih memilih kamu untuk jadi guru les Mora daripada ia ajar sendiri atau cari guru les yang lain yang lebih profesional. Tapi untuk sekarang kalau kamu mau menyerah nggak apa-apa. Ibu nggak akan ngelarang. Toh nggak ada akibatnya untukmu juga. Tapi kalau kamu mau terus ngajar Mora, kamu dapat relasi, honor di atas rata-rata, kamu juga dapat pengalaman. Jadi menurut ibu, semua kembali ke pilihanmu, kan kamu sendiri bilang sebenarnya mengajar Mora sama sekali nggak susah kan?"

Ya. Secara esensi tidak sulit. Tapi juga tidak bisa di bilang gampang. Maka Semesta mengangguk layu. Ini memang pilihan nya dari awal. Ia mengiyakan-dengan sadar.  Artinya bertanggung jawab untuk menyisihkan waktu tiga kali seminggu selesai jam pulang sekolah dimana teman-temannya lebih sibuk main keluyuran daripada mulai kerja sambilan.

Akhirnya seminggu, dua Minggu berlalu. Mengajar itu sebenarnya nggak susah. Pelajaran anak kelas lima SD itu gampang. Tapi untuk mencari bahan materi pembelajaran butuh ketelatenan dan disiplin. Semesta punya tugas sekolahnya sendiri dan ia sekarang punya tugas tambahan baru yang harus ia biasakan.

Sayangnya, Amora bukan jenis anak yang bisa di beri soal remeh temeh. Anak yang di beri satu dua soal lalu ngerjainnya menghabiskan waktu setengah jam. Mora sejenis anak yang bisa menghabiskan seperempat buku latihan soal dalam satu waktu les. Mengajar Mora seperti bekerjaran dengan waktu, dengan kereta api.

Semesta kadang terseok-seok. Keringatan dingin. Gemas sendiri. Jengkel dengan dirinya sendiri karena tidak bisa mengimbangi Mora namun di saat yang sama merasa tertantang.

Namun pengalaman berkejaran itu tidak semenggelitik pertanyaan-pertanyaan random yang di ajukan Mora di satu lain waktu.

Seperti yang pernah di tanyakan Mora dengan wajah polos tanpa dosa. Ia menanyakan tentang,- apakah kebenaran itu mutlak bukan relatif?

Semesta ingat saat itu ia hanya bisa mengerjapkan mata. Bengong. Berusaha mencerna kalimat Amora. Ia sampai lupa ada kata 'mutlak' dan 'realif' dalam kamus. Alih-alih seakan kata itu tidak  pernah ia dengar seumur hidup. Apalagi keluar dari mulut seorang bocah.

Tapi belum sebanding saat Mora secara random bertanya apa itu Gyaru? Apa itu stoickisme? Apa itu istilah demure?

Kadang Semesta mau tidak mau ikut bertanya-tanya, sebenarnya Amora hanya iseng bertanya? Benar-benar ingin tau dan memang tidak tau jawabannya. Atau hanya ingin mengetes tingkat pengetahuan Semesta?
Makanya setiap pertanyaan yang di ajukan Mora akan di pikir Semesta dengan sangat hati-hati, di pilah setiap kata dan di eksekusi dengan sebaik mungkin.

Semesta tidak bisa membayangkan ia menjadi badut di mata anak usia sebelas tahun. Tapi juga kadang, jawaban yang di tuntut Mora membuat Semesta tertawa pasrah juga, contohnya Mora pernah bertanya dengan wajah serius dan dengan kesadaran penuh.

Cinta itu apa?

Iya. Cinta itu apa? Semesta sendiri tak bisa mendefinisikan cinta tanpa merinding  dan lebih tepatnya, ia sendiri tidak pernah benar-benar paham cinta itu apa.

Tapi memang ada, orang yang bisa mendeskripsikan kata cinta, dengan sejelas-jelasnya sampai definisnya bisa benar-benar di terima semua orang?

GlimpseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang