Part 21

78 24 3
                                    

Semesta melipat lengannya di depan dada, diatas palang besi pintu belakang hotel yang letaknya dekat dengan kamarnya.

Memandang langit.

Langit sekarang penuh bintang. Hal yang jarang semesta lihat di kota yang penuh cahaya dan polusi. Hotel ini ada di pinggir daerah, kaki gunung. Kota kecil. Kota mati yang dimalam hari sama sekali tidak ada orang nongkrong sampai subuh. Di pinggir hotel pun penuh hutan karet. Udaranya dingin. Cahaya remang-remang, menggigit.

Tapi Semesta suka. Ia lebih suka otaknya mendingin oleh udara sekitar daripada meletup-letup di dalam kamar, tanpa tau harus berbuat apa. Terlalu banyak hal yang di pikirkan oleh Semesta hingga matanya tidak bisa terpejam sama sekali hingga jam setengah dua belas malam.

Semesta juga lebih suka terjaga, melihat dunia daripada harus berkelana menjelajah internet di handphone tanpa tau harus mencari apa. Toh ia tidak pernah takut gelap apalagi hantu. Dunia nyata dan dunia kerja nyatanya kadang lebih seram daripada hantu.

Semesta baru beranjak dari posisinya ketika ia melirik jam tangan dan jam sudah menunjukan pukul dua belas malam. Ia akhirnya memutuskan berjalan. Membuka pintu dorong kaca untuk masuk kembali dalam lorong hotel. Hotel ini benar-benar agak berbahaya. Khas hotel daerah bintang tiga yang pengamananya tidak ketat sama sekali.

Awalnya, Semesta hendak membuka what's up untuk menghubungi ibunya, mengabarkan ia sudah sampai karena sedari tadi ia benar-benar lupa. Tapi jemarinya berhenti di aplikasi slack,-work chats. Sedikit iseng, Semesta membuka berharap dapat kabar terbaru dari grup IT, yang  ia tinggal seharian pergi dinas. Namun yang ada ia malah melihat status Amora masih aktif disana.

Semesta berhenti bergerak. Mematung menatap handphone. Sejak dulu semesta tidak pernah tau nomor handphone Amora. Hubungan nya dengan Amora tidak pernah sampai bertukar pesan atau saling bertelepon. Dan kini, dalam dunia kerja mereka hanya terhubung lewat sistem jaringan dan slack.

Belum sempat otak Semesta memutuskan harus bagaimana. Amora lebih dululah yang mengirim pesan.

Kakak belum tidur?

Belum, (pak)

Iya maaf, pak Semesta kenapa belum tidur?

Tidak apa-apa. Semesta berhenti mengetik untuk berpikir. Kalau setelah ini, Semesta terus mengetik maka yang ada percakapan ini akan terus berlanjut. Apakah Semesta benar-benar menginginkan itu?

Tapi lagi-lagi, ketika Semesta sibuk menimbang, ribuan kali ratusan kali setiap melangkah, Amora duluan yang mendobrak temboknya. Disaat Semesta tidak pernah siap.

Saya juga. Sekarang saya sedang cari makan di depan gerbang hotel.

Pesan terakhir Amora membuat mata Semesta mendelik. Semesta mengumpat kasar. Dengan cepat Semesta lompat lari. Memasukan handphonenya kedalam kantung jaket. Menuruni tangga pintu belakang hotel. Seperti di kejar setan menuju ke depan gerbang hotel.

Dan benar, Amora ada disana. Berdiri sendirian celingak-celinguk di depan jalan utama yang nyaris tak ada kendaraan. Memakai baju sweeter pink pucat dan celana training.

"Kamu gila Amora?!" Teriak Semesta. Ia menarik lengan Amora, hingga Amora tersentak menoleh ke belakang menatapnya.

"Pak Semesta?"

"Ini sudah malam. Tengah malam! Kamu pikir ini di kota? Ini di daerah terpencil Amora! Nemu Indomaret aja susah! Kamu malam-malam begini mau cari makan dimana ?!"

Mata Amora terbelalak beku namun bibirnya bergerak, "Tapi kata resepsionis ada penjual mie Jawa di dekat sini."

"Terus kamu mau sendirian kesana? Kamu lupa kamu perempuan?"

"Iya. Perempuan yang bisa taekwondo."

"Mau taekwondo mu level dewa juga kalau di keroyok kamu pasti kalah."

Amora terdiam cukup lama. Menelan ludah sebelum akhirnya menunduk nurut, "Iya maaf kak, Ng, pak. Semesta."

"Sudah jangan panggil saya pak lagi kalau hanya berdua."

"Iya..."

"Sekarang kamu balik kamar."

"Tapi saya lapar, pak."

"Kak!"

"Siap. Saya lapar kak."

Semesta memandang Amora jengkel campur gemas. Amora benar seperti kata pak Rendra, kecil putih buntalan kapas. Diperparah Amora malam ini, ia memakai baju sweeter pink pucat yang membuatnya tambah kelihatan seperti gulali berjalan

"Kamu tunggu dikamar. Saya belikan. Nanti saya balik lagi. Pasti. Janji." Ujar Semesta. Ia menarik lengan tangan Amora untuk memastikannya masuk kedalam pintu depan resepsionis hotel, "Tunggu. Tolong janji untuk tunggu."

"Iya. Janji. Aku pasti tunggu. Tapi kakak juga janji untuk kembali."

GlimpseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang