Part 15

71 23 1
                                    

Empat tahun, mungkin hampir lima tahun Semesta tidak melihat Amora. Melupakan suaranya. Cara Amora tersenyum. Pertanyaan cerdasnya. Buku-buku bacaan sulit favoritnya. Langkah kakinya yang anggun. Lengkuk jemarinya saat memainkan piano. Semuanya.

Amora memang tidak pernah terlihat lagi di hadapan Semesta semenjak Semesta memutuskan untuk berhenti mengajar.  Tapi kabar tentang Amora tetap sulit untuk tidak masuk dalam telinganya, radarnya. Kabar Amora masih kadang datang berseliweran di depan Semesta. Tanpa ia mau. Tanpa bisa di cegah.

Di luar kuasa Semesta, ibu Semesta masih berteman dengan ibu Amora. Jadi banyak kurang, Semesta masih sering mendengar tentang kabar Amora dari ibunya. Amora begini. Amora begitu. Amora kuliah di luar negeri. Amora memenangkan kejuaraan ini itu. Tapi hanya itu. Sesuai dengan ekspektasi Semesta pada Amora. Hidup Amora yang sempurna, terstruktur, terarah.

Tidak perluh mata batin yang kuat untuk tau bahwa Amora pasti akan sukses di masa depan nanti. Mewarisi gurita bisnis orangtuanya. Menikah dengan seseorang yang sepadan untuknya.

Namun kembali lagi, selalu ada sesuatu di luar kendali. Semesta hafal dan tau perusahan apa saja yang di pegang oleh keluarga Amora. Tapi jelas bukan perusahaan tempat Semesta bekerja sekarang. Jadi keberadaan Amora di sini setelah sekian tahun, semakin kelihatan tidak masuk akal. Tidak nyata. Seperti mimpi.

Seharusnya Amora duduk menjabat di perusahan keluarganya. Ayah Amora punya bisnis yang membawahi beberapa perusahaan. Mulai dari retail, jual beli kendaraan listrik, restauran sampai yang terbesar, beberapa bengkel mobil eksklusif yang tersebar satu Indonesia.

Seharusnya, sesuai dengan bidang studinya, Amora menjadi konsultan perusahaan. Manejemen analis resiko bisnis, seorang pewaris dan lagi-lagi seharusnya bukannya disini. Menjadi sekretaris Oliver. Yang job desknya, lebih seperti general affair pribadi; yang sampai menyiapkan kopi, mengurus pembayaran apartemen bos-bos ekspatriat, ikut mengurus perpanjang visa dan lain sebagainya. 

Namun kembali lagi ke kenyataannya;

Seorang Amora benar-benar di sini, bekerja disini.

"Kenapa kamu memilih tempat ini untuk bekerja, mbak Amora?" Tanya Semesta, ia merasa geli sendiri, menambahkan embel-embel kata mbak di depan Amora kecil. Lebih geli lagi karena ia tau berapa tepatnya jumlah gaji Amora karena Semesta juga membantu tim keuangan mengurus server keuangan.

Gaji kecil untuk standart hidup Amora. Jumlah gaji yang setara dengan biaya bulanan yang di keluarkan keluarga Amora untuk ngurus anjing Samoyed di rumah.

"Apa aneh?"

Iya aneh.

"Nggak." Semesta menggeleng, menelan kembali kata-katanya.

"Apa seharusnya saya tidak disini?"

"Kamu yang lebih tau, seharusnya kamu ada disini atau di tempat lain yang lebih baik."

"Kalau menurut pak Semesta?"

Pak Semesta... Semesta menelan ludah. Diam-diam menghentak-hentakan ujung sepatunya di bawah meja rapat. Ia sudah benar-benar lupa tepatnya bagaimana suara Amora. Apa memang begini? Apa nada dan jenis suaranya memang terdengar se menggoda ini?

"Oke." Semesta berdeham, mengalihkan topik, "Kamu secara garis besar pasti sudah paham kan? Kalau begitu saya bisa kembali ke ruang IT. Masih ada staff lain yang harus saya briefing."

"Baik." Jawab Amora singkat, tanpa menuntut balasan untuk pertanyaannya sebelumnya dan entah kenapa jawaban pendek itu menggigit harga diri Semesta.

Hingga alih-alih segera pergi, tanpa sadar Semesta mengacak rambutnya. Membenarkan posisi kacamatanya di hadapan Amora sebelum kemudian bangkit dari kursi. Mengabaikan tatapan Amora yang masih memandangnya tanpa ampun sementara dalam hati setelah ini Semesta bertekad akan bertapa di ruang IT. Menyibukkan diri dengan apa saja. Semuanya kalau bisa.

Sampai ia lupa ingatan nanti.

GlimpseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang