Part 27

84 22 1
                                    

Semesta menoleh ke kanan kiri. ia tidak bisa menemukan Amora di ruang perpustakaan rumahnya. Yang ada, ketika Semesta melongok ke balik salah satu rak kayu jati, matanya bertatapan dengan seseorang yang berkemeja, bercelana kain abu-abu rapih di potong pas dengan bentuk tubuh,- custom made tailor. Beda jauh dengan Semesta yang memakai kemeja celana jeans seadanya khas anak kuliah umumnya.

Tadinya, Semesta mengira orang di hadapannya adalah ayah Amora. Tapi begitu di perhatikan kembali, wajahnya berbeda dengan wajah di lukisan yang sering di lihat Semesta. Ia terlihat muda tapi masih jauh lebih tua dari Semesta. Tipikal wajah dosen muda favorit mahasiswi tapi berpenampilan mewah.

"Kamu Semesta guru les mata pelajaran Amora kan?" Laki-laki itu menyapa lebih dulu.

Semesta mengangguk sopan. Menghampiri dan menjabat tangan Laki-laki tersebut, "Ya."

"Kamu tau buku favorit Amora yang mana?" Tanyanya tanpa basa-basi apalagi mengenalkan diri.

Semesta mengangkat alis, menunjuk sekeliling ruang perpustakaan, "Semuanya."

"Oh." Laki-laki itu tersenyum kecil, "Pasti ada lah satu dari sekian banyak."

"Book Art of stoicism." Jawab Semesta pada akhirnya. Sesuai dengan hal yang memang sering di bahas Amora akhir-akhir ini.

"Itu novel?"

"Buku filsafat."

"Anak kecil mana yang baca filsafat?" Laki-laki itu tertawa ngejek, "Jangan ngarang yang aneh-aneh lah."

................

"Good job Semesta. That's why I give this responsibility to you. Data aset mu nggak pernah meleset. nice." Puji Aafa, CTO.

Semesta tersenyum kecil. Pujian dari CTO lebih prestige daripada pujian dari supervisor IT. Karena artinya kinerja Semesta mulai naik ke telinga para petinggi perusahaan.

"How about data Saas? Kamu sudah mulai menghitung beban biaya nya?"

"Sudah saya selesaikan tadi malam."

"Huh? Cepat sekali. Kamu begadang? Boleh saya lihat?"

"Saya akan kirim lewat email segera setelah ini, sir."

"Wah. Jarang-jarang saya nemu pegawai segila kerja kamu."

Lagi-lagi Semesta hanya bisa tersenyum kecil. Walau untuk yang terakhir, Semesta sendiri tidak yakin ungkapan gila kerja itu sebuah pujian atau sindiran.

Semesta sering mendengar kalimat itu terucap darimana-mana terutama akhir-akhir ini. Bahkan disaat ia sedang makan pizza di ruang santai gedung sekarang, sambil membantu salah satu laptop tim opr yang gagal booting.

"Pak, mbok ya makan dulu. Jangan kerja melulu. Sekarang sudah lewat jam pulang kantor. Pizza nya keburu habis di serbu yang lain." Kata Deni, staff general affair sambil ikut duduk bersama Semesta dalam satu tingkar meja santai yang sama.

"Nggak apa-apa, cuma sebentar. Saya sedang ngejar target tiket."

"Tiket pencapaian dari problem shooting itu apa segitu berpengaruhnya ke gaji pak?"

"Nggak, tapi di pertimbangkan saat kenaikan pangkat."

"Kenapa ingin segera naik pangkat?" Tiba-tiba seseorang nyeletuk di belakang Semesta.

Semesta menoleh, Amora tersenyum manis. Berdiri memakai rok hitam span selutut dan kemeja biru langit. Satu tangannya memegang pizza yang di bungkus tisu.

"Supaya saya bisa segera menikah." Jawab Semesta. Matanya kembali menatap laptop. Bertopang dagu. Berusaha acuh. Sementara Amora meletakan potongan pizza ke atas meja di depan Semesta.

"Calon istri pak Semesta pasti seneng banget kalau dengar bapak bilang begini." Ujar Amora.

"Iya. Dia sayang sekali dengan saya." Jawab Semesta. Masih tanpa menoleh. Tanpa tersenyum walau kupu-kupu dalam tubuhnya mulai menggelitik.

"Kalau mbak Amora sendiri gimana? Mbak juga sudah ada calon?" Tanya Deni sambil nyengir, memotong perhatian Amora.

Diam-diam Semesta melirik. Mendengus.  Semesta tau Deni sudah lama jomblo dan punya bibit-bibit tertarik pada Amora. Tapi siapa juga yang tidak tertarik pada Amora?

Amora tersenyum geli, mengibas kecil rambut panjang yang ia ikat rapih ekor kuda sebelum menjawab, "Sudah. Dan calon saya juga berkacamata. Seperti pak Semesta."

GlimpseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang