part 9

160 32 3
                                    

Semesta mendongak, ke langit-langit sangat tinggi di hiasi lampu kristal yang menjulang panjang. Bernuansa klasik Eropa. Disisi barat ruangan diisi jendela bay,- menjorok keluar seperti jendela rumah yang muncul dalam kisah peri dan kurcaci. Disisi Utara, ada lukisan sangat besar. Lukisan keluarga Amora yang terpajang megah.

Secara keseluruhan, ruangan ini didominasi warna putih, mulai dari cat, lantai marmer dan grand pianonya. Orang normalnya akan terkesima. Ini bukan tempat yang sembarang orang bisa melihat. Tempat yang sulit dibayangkan bisa di injak oleh manusia dengan strata sosial biasa.

Tapi sebenarnya Semesta tidak begitu terpana melihat ruangan ini. Ruangan ini sudah ada dalam ekspektasinya. Tidak mengagetkan kalau ada dalam rumah Amora yang bagai istana. Yang justru mengagetkan Semesta adalah karena ia melihat Amora menunggunya untuk belajar ditempat ini. Bukan di ruang perpustakaan favoritnya atau di sofa ruang keluarganya.

Tapi disini.

Amora mendongak ketika mendengar langkah kaki Semesta. Ia memakai baju santin mewah putih gading. Rambut panjangnya ia biarkan tergerai. Duduk di kursi piano diterangi gemerlap lampu kristal. Menoleh menatap Semesta tanpa tersenyum dan begitu Semesta berjalan semakin mendekat, Amora kembali memainkan pianonya lagi.

Dengan sopan, Semesta duduk menunggu Amora selesai bermain piano di salah satu kursi kayu mewah di pojok ruangan. Menatap jemari Amora yang menari di atas tuts piano, tanpa bantuan note musik.

Sekitar lima belas menit kemudian, baru Amora selesai memainkan pianonya. Ia langsung menoleh kesamping, kembali menatap Semesta, wajahnya masih datar. Amora masih anak kecil empat belas tahun yang jarang berekspresi.

"Chasse Neige,-liszt." Jawab Amora singkat setelah Semesta bertanya pieces apa yang ia mainkan.

"Kamu hebat Mora." Puji Semesta dan bibirnya tersenyum tulus.

Wajah Amora mengernyit. Ia membalikkan wajah lagi, memainkan pieces piano yang lebih santai.

"Ini lullaby?" Tanya Semesta.

Tanpa menoleh Amora menjawab, "Bisa jadi."

"Bayi kecil Amora..." Ledek Semesta.

"Iam not a baby."

"But in my eyes, you are still my little baby."

..............

Dunia kadang lucu. Baru satu jam yang lalu, Semesta tersadar betapa cantiknya Amora lalu satu jam kemudian, orang yang Semesta anggap paling cantik sedunia bilang ingin menikah dengannya.

Selama ini, seumur hidupnya, Semesta selalu belajar jungkir balik. Berusaha mendapatkan nilai rapot sempurna selama sekolah. Mendapatkan beasiswa. Masuk universitas negeri dengan jalur prestasi. Mati-matian berusaha mendapatkan IPK tertinggi lalu lulus secepatnya dengan predikat.

Sepanjang usianya, Semesta pakai untuk mengejar target. Ia ambisius, pekerja keras, tendensius. Ia sudah punya plan panjang untuk karir. Rencana hidup. Keuangan. Hampir semuanya. Kecuali, menikah.

Keinginan Semesta untuk menikah terkubur dalam. Tidak pernah muncul di permukaan. Targetnya adalah karir. Bukan percintaan yang buang-buang waktu, kesempatan dan tenaga.

Keluarga, -ayahnya selalu bilang, laki-laki tidak masalah tidak menikah atau menikah tua. Malah, tidak ada kata terlambat menikah. Perempuan mudah di pilih selama jenjang karir dan keuangan aman.

Lucunya, dari sekian ilmu yang ia cari susah payah tidak ada satupun yang mempersiapkan diri Semesta untuk kejadian seperti ini.

Kalimat Amora membuat jantung Semesta seperti balon helium yang meledak. Jatuh ke bumi dalam bentuk puing-puing berserakan. Berantakan. Tidak utuh. Membingungkan. Membuat Semesta terseok-seok berusaha secepatnya mengumpulkan kembali kesadarannya.

Disaat kritis ini, Amora malah justru mencondongkan tubuhnya pada Semesta.  Melepas ikat rambut berantakannya. Membiarkan rambut panjangnya jatuh lepas ke punggung. Mata Amora memandang mata Semesta lekat. Mata bulat besar di hias bulu mata panjang. Cantik. Amora memang luar biasa cantik. Semesta sebenarnya menyadari itu sejak lama tapi mati-matian mengabaikannya, tapi kali ini Amora berbeda, cantik yang berbeda, cantik orang dewasa.

Seakan belum cukup, Amora menambahkan dengan menggigit bibir merona merahnya. Seakan ia sudah tau, efek dari tindakannya dan memang sengaja menggoda kesabaran Semesta.

"I want to marry you." Bisik Amora.

Pikiran rasional Semesta memberontak. Namun naluri Semesta berkata lain. Diluar kendalinya, jemari Semesta terangkat. Untuk pertama kali nya menyentuh pipi Amora yang selembut kapas. Pipi yang selama ini hanya bisa ia pandang dari jarak sopan.

Amora sesaat tersentak kaget oleh sentuhan Semesta.  Namun kemudian terdiam, memejamkan mata dan tersenyum.

Senyum lucu Amora yang pertama. Yang tidak akan pernah dilupakan oleh Semesta sampai ia mati.

"May I?" Tanya Amora dan lagi-lagi Semesta menyesal, kenapa ia baru benar-benar menyadari dan mengakui bahwa suara Amora pun secantik wajahnya, lembut manis seindah pieces piano yang selalu ia mainkan.

"But not now." Bisik Semesta. Kali ini ia benar-benar sudah melupakan segalanya, situasi, tempat, kondisi bahkan statusnya. Otak rasionalnya terhimpit kalah. Alam bawah sadarnya yang bergerak maju, membuat Semesta mencondongkan tubuh, menarik wajah Amora mendekat dan mencium pipi Amora sepenuh hati,  "Iam so sorry"

GlimpseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang