Semesta menatap pintu kamar hotel Amora kemudian menatap mie Jawa yang ia pegang bergantian.
Sudah satu menit Semesta berdiri di depan pintu dan tidak tau harus bagaimana. Apa ia harus memencet bel, ngetuk pintu, meletakan makanan di depan pintu lalu melesat kabur? Atau ia harus mengetuk pintu lalu memberikan makanan pada Amora secara langsung?
Dari dua pilihan itu memang yang paling masuk akal adalah pilihan kedua. Semesta bukan anak SMP. Ia dewasa muda yang harusnya tidak bertingkah seperti remaja labil. Tapi disaat yang sama, ini kali pertama seumur hidup Semesta mengetuk pintu kamar perempuan, di hotel pula, di jam satu pagi. Apakah ini normal? Appropriate?
Tapi akhirnya, Semesta memutuskan untuk mengetuk pintu. Ia tidak mungkin terus berdiri selama setengah jam kedepan untuk berpikir. Nanti Amora keburu tidur atau mie pesanannya yang keburu tidak enak atau dirinya lah yang makin kelihatan konyol dalam cctv lorong hotel.
Amora membuka pintunya setelah Semesta mengetuk di ketukan pertama. Semesta melihat Amora sudah berganti baju, bukan lagi celana training dan sweeter pink gulali. Tapi piyama santin merah, semerah bunga Kamboja yang agak mirip dengan yang Semesta pernah lihat dulu.
"Ini makanan." Kata Semesta, matanya menghadap samping tapi tangannya menjulur kedepan.
"Ayo makan kak."
Huh?
"Apa?"
"Ayo makan." Ulang Amora.
"Tunggu, bukan berarti aku nggak lebih berbahaya dari orang yang ada di luar sana Amora. "
"Nggak mungkin." Amora menggeleng, menarik tangan Semesta yang masih terjulur membawa makanan. Amora benar-benar menarik Semesta masuk kedalam kamar dan seketika Amora menutup pintu.
Semesta membatu di tempat. Ia yakin seyakin-yakinnya wajah nya berubah merah. Memang kelihatannya cuma sekedar masuk kedalam kamar. Tapi ini berlebihan untuk semesta yang memegang erat adat ketimuran.
"Kamu pernah masukin laki-laki ke dalam kamar sebelumnya?"
Amora menggeleng. Meletakan mie Jawa yang Semesta beli ke atas meja kaca dengan santainya padahal Semesta mematung tegang.
"Oke. Ya. Selamat makan." Ucap Semesta, kaku seperti robot. Buru-buru balik badan.
"Tunggu sebentar." Seru Amora memecah ketegangan, "Kak Semesta takut sama aku?"
Langkah Semesta terhenti sekejab. Tangan Semesta yang sudah terangkat ke udara untuk menarik handle pintu jatuh segera ke samping tubuhnya. Suara Amora dan semua tindakannya adalah tetesan air yang terus menerus menghujam batu karang kesabaran Semesta. Dan setelah sekian lama, malam ini batu karang itu mulai rentak. Menunggu terbelah.
Semesta menoleh, menatap Amora dingin, "Kenapa kamu pikir aku takut dengan kamu, Mora?"
"Karena kelihatannya kakak begitu."
"Aku bukan takut denganmu" Semesta menggertakkan gigi, rahangnya menegang. Ada rasa marah. Lagi-lagi hentakan hormon, naluri dan insting yang berperang dengan akal sehat.
Semesta akui, ia memang takut, takut dengan dirinya sendiri.
"Aku bisa taekwondo." Balas Amora, mengabaikan kalimat Semesta dan entah kenapa ia kembali kelihatan seperti anak kecil yang berusaha kelihatan dewasa. Anak polos tanpa dosa. Yang ingin kelihatan seram di depan penculiknya.
"Kamu anak bayi."
"Iam not a baby."
"You are still a baby."
"Just in your eyes." Bantah Amora. Mendadak ia berjalan. Secepatnya mengecilkan jarak diantara Semesta dengannya. Nyaris melompat. Menarik baju polo Semesta hingga Semesta tersentak menunduk tanpa ia siap. Batu karang kesabaran Semesta seketika terbelah. Hancur berkeping-keping.
Mata Semesta terbelalak ketika ia menyadari dunianya berhenti. Bukan lagi sekedar ciuman kecil di pipi. Ciuman malu-malu di bawah CCTV rumah Amora, candaan singkat di dekat air mancur atau Amora yang menggigit bibir menggoda di depan mata Semesta.
Tapi ciuman sesungguhnya. Ciuman dua orang dewasa yang tak bisa di bilang malu-malu. Bibir Amora mengecup bibir Semesta. Keputusan yang salah di tempat yang salah. Semesta serta merta menggendong Amora. Menjatuhkannya di kasur dan bukannya melawan dengan kemampuan taekwondo yang ia gadang-gadang, Amora justru mengangkat tangannya. Menyambut memeluk Semesta. Menciumnya kembali berkali-kali dengan nafas terengah. Menjadi bensin dalam nyala api di tubuh Semesta.
"See? Iam not a baby anymore." Ujar Amora, dalam bisikan disela-sela ciuman Semesta.
"But you are still my baby. As always."
KAMU SEDANG MEMBACA
Glimpse
RomanceTrue love is always worth to wait. Warning mature content. This works have general and fundamental questions concerning topics like existence, reason, knowledge, value, mind, and language. Dedicated for people's who like sweet, mature, love story...