Part 5

139 38 3
                                    

Esok harinya, Semesta datang sesuai janji. Di pagi hari. Jam delapan. Akhir-akhir ini ia sudah biasa untuk langsung masuk ke rumah Amora begitu di bukakan gerbang, tanpa harus di kawal oleh penjaga rumahnya untuk di antar sampai ke Amora.

Semesta sudah cukup akrab dengan seluruh penjaga rumah Amora. Mulai dari tukang kebun, sopir, perawat anjing, semuanya. Ia juga hafal dengan denah rumah Amora, jadi pagi ini ia dengan yakin berjalan ke arah taman samping. Melewati garasi mobil. Di dekat air mancur diantara belasan pohon kamboja merah yang aura nya menakutkan di malam hari namun spektakuler di pagi hari.

Amora sudah duduk di salah satu kursi kayu panjang di bawah pohon. Masih memakai baju tidur. Piyama merah. Semerah bunga Kamboja. Kakinya ia ayun-ayunkan seperti sedang bermain ayunan tapi matanya tertuju lurus ke air mancur rumahnya.

"Amora." Panggil semesta, bibirnya tersenyum ngeledek, "Kamu belum mandi? Baru bangun? Gimana mau belajar kalau belum mandi?"

"Aku nggak baru bangun."

"Masa?"

"Iya. Sebenarnya aku belum tidur kak Semesta."

"Kamu nggak tidur daritadi malam?!" Seru Semesta kaget. Perlahan duduk di samping Amora yang memang kelihatan agak kuyu, "Kamu sakit?"

"Aku nggak sakit."

"Tapi kamu bakal sakit kalau nggak tidur."

"Aku masih bisa begadang. Skill itu bakal hilang nanti kalau usiaku sudah tiga puluh."

Semesta mendengus, lagi-lagi jawaban ajaib, "Tau darimana kamu soal kayak gitu?"

"Skill main game. Skill begadang, minum kopi tanpa sakit perut, makan apa aja tanpa takut kena kolestrol, lari-lari sepanjang hari. Ikut kegiatan les apa saja tanpa capek, itu cuma bisa di lakuin sebelum umurku tiga puluh."

"Nggak juga. Kalau kamu jaga kesehatan dari sekarang."

"Iya. Cuma aku menyesal baru sadar sekarang. Kematian itu dekat. Masa lalu itu jauh. Tubuh itu ada batasannya mau sesehat apapun itu."

Mata Semesta melebar. Ia seperti orang idiot yang hanya bisa melongo sekarang. Kalimat Amora menegaskan bahwa ia memang anak kecil yang overdosis membaca buku teori psikologi, "Jangan mikir sampai sejauh itu, Amora."

"Tapi ibuku bilang beliau dulu bisa nonton tiga film dalam satu hari. Tapi sekarang beliau cuma bisa nonton lima belas menit sebelum ketiduran. Beliau bosen nonton film romantis. Katanya nggak nyata. Nggak akan mungkin terjadi. Apa iya begitu? Kalau sudah dewasa rasa bahagia itu berkurang?"

Semesta berdeham tegas, menahan supaya ia tidak ternganga terang-terangan lagi, "Begini, mungkin ibumu terlalu banyak terekspos reel video singkat yang bikin ibumu kebanjiran hormon endokrin. Itu berpengaruh juga. Makanya lebih mudah bosan. Lebih mudah ngantuk. Lebih mudah marah."

"Ibuku jarang nonton Instagram dan beliau jarang marah kok." Potong Amora, "beliau lebih suka main mobile legend atau freefire."

"Oh..." To much information, Semesta mengangguk sambil nahan ketawa, "Ibumu dosen kan? Aku nggak nyangka, hobi ibumu..."

"Ibu lebih suka push rank daripada main denganku." Amora malah menambahkan dengan wajah datar padahal di saat yang sama Semesta setengah mati makin gemetaran menahan ketawa.

"Kalau gitu kamu bisa Mabar dengan ibumu kan?" Saran Semesta. Ia mengelap air mata menahan ketawanya dengan gerakan singkat agar tak terlalu ketara.

"Aku nggak suka main game. Aku nggak sosial media. Aku sudah berusaha suka. Tapi kok nggak bisa. apa aku aneh ya?"

"Kamu nggak aneh, Mora. Semua orang kan punya preferensi yang berbeda-beda. Kalaupun kamu memang nggak bisa game tapi kamu bisa main piano, biola dan lain-lain itu kan?"

"Iya, tapi apa hidupku berarti ? Apa semua ilmu yang aku punya ada artinya sepuluh tahun lagi? Dua puluh tahun lagi? Di mata suamiku nanti? Untuk anakku nanti?"

Semesta menghela nafas, getaran tawanya menghilang secepat munculnya, "Coba kamu bersikap lebih seperti anak usiamu, Amora."

"Apa aku nggak kelihatan kayak anak empat belas tahun?"

"Kelihatan..." Semesta tanpa sadar menoleh menatap Amora, di bawah pohon kamboja merah.  wajah Amora masih wajah kekanak-kanakan. Cantik, manis, gulali berjalan tapi ia tetap anak-anak. Kadang Semesta juga masih melihatnya belajar sambil makan permen susu, Amora masih punya sisi anak-anak nya walaupun ia jadi dewasa lebih cepat dari umurnya, "Kemampuanmu nggak akan pernah jadi sia-sia dan di bawa sampai mati. Apalagi kalau kamu mau membaginya nanti, ke orang lain."

Amora kecil membalas tatapan Semesta, "Jadi aku ada artinya hidup di dunia?"

Semesta tertawa, "Nggak mungkin kamu ada di dunia tanpa ada artinya."

GlimpseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang