Aira menghela napas pendek, tangan gemetar saat dia menerima uang yang disodorkan Mira. Perasaan terpaksa dan tak berdaya menyelimuti hatinya. Sudah berkali-kali dia melayani Mira sejak rahasianya terungkap oleh Yulianti di live channel terakhir. Tak peduli seberapa keras dia ingin menolak, kenyataan bahwa namanya sudah diketahui membuat Aira tidak punya pilihan lain. Dengan pandangan yang kosong, dia mengambil uang itu, merasa ada bagian dari dirinya yang terkikis sedikit demi sedikit.
Mira tersenyum puas, tatapannya penuh kendali saat dia melangkah mendekati Aira. Dia mengangkat tangan lembutnya, menyentuh pipi kanan Aira dengan belaian yang perlahan dan penuh makna. Jari-jarinya yang halus menelusuri pipi Aira, membuatnya menahan napas sejenak. "Kamu masih sama lembutnya, Aira," bisik Mira, suaranya sensual dan menggoda. Tanpa menunggu jawaban, Mira menarik Aira lebih dekat, dan bibirnya menyentuh bibir Aira dengan ciuman yang lembut, namun semakin dalam seiring waktu berlalu.
Aira memejamkan matanya, tubuhnya perlahan melemas di bawah kendali Mira. Sentuhan Mira di bibirnya terasa manis dan mendalam, membuatnya tenggelam dalam rasa yang bercampur antara kenikmatan dan penyesalan. Desahan pelan mulai keluar dari mulut Aira ketika tangan Mira mulai menjalar ke dadanya, meremas payudara Aira dengan lembut tapi penuh tekanan. Ciuman itu semakin panas, dan tubuh Aira mulai merespons secara otomatis, merasakan panas yang menjalar di sekujur tubuhnya. Desahan demi desahan semakin terdengar di tengah ciuman yang semakin dalam.
Di tempat lain, Yulianti baru saja tiba di rumahnya. Dengan senyuman di wajahnya, dia membuka pintu dan berkata, "Assalamualaikum." Suaranya riang, penuh harapan setelah bertemu Aira di kampus tadi. Dari dalam rumah terdengar sahutan lembut, "Waalaikumsalam," suara itu milik ibunya. Yulianti melangkah masuk melihat seorang wanita berdiri dengan senyuman hangat, dia adalah ibunya Yulianti yang bernama Hanifa.
Yulianti melangkah ke dalam rumah dengan senyum riang di wajahnya, namun tatapannya segera tertuju pada ibunya, Hanifa, yang sedang berdiri di ruang tamu. Hanifa, meskipun usianya telah menginjak 39 tahun beberapa hari yang lalu, tetap memancarkan pesona dan sensualitas yang memikat. Tubuhnya yang masih kencang dan menggoda terlihat jelas dalam pakaian yang dikenakannya hari itu.
Hanifa memakai chemise berwarna sky blue yang didesain tanpa bra, memperlihatkan lekuk tubuhnya dengan sempurna. Potongan dada yang rendah pada chemise itu menonjolkan belahan dadanya dengan sensual, membuat siapa saja yang melihatnya sulit untuk mengalihkan pandangan. Warna sky blue yang lembut menambah kesan feminin dan menenangkan, sementara bahan satin yang mengkilap membuat setiap gerakan Hanifa tampak elegan dan menggoda. Chemise tersebut dipadukan dengan celana dalam yang merupakan bagian dari set, menambah kesan seksi pada penampilannya yang sudah memukau.
Dengan pakaian yang begitu menggoda, Hanifa tampak begitu percaya diri, memancarkan aura wanita dewasa yang tahu betul bagaimana merawat dirinya. Setiap langkah dan gerakannya begitu anggun, seakan-akan menyiratkan bahwa dia sangat nyaman dengan dirinya sendiri, dan tahu betul pengaruh yang dia timbulkan pada orang-orang di sekitarnya.
"Baru pulang, sayang?" tanya Hanifa lembut sambil menghampiri putrinya, Yulianti. Tatapannya penuh perhatian, meski ada secercah kekhawatiran yang tersembunyi di balik senyumannya.
"Umm... Ibu... malam ini mau makan..." Yulianti tiba-tiba menghentikan kalimatnya, matanya tertuju pada seorang pemuda tampan yang duduk di sofa di belakang Hanifa. Lelaki itu, yang tampaknya berusia sekitar 21 tahun, tersenyum ramah kepada Yulianti. Wajahnya tenang, dengan sorot mata yang menenangkan. Namun, senyum itu hanya disambut dengan tatapan dingin dari Yulianti yang langsung berpaling tanpa membalas sapaan tersebut.
"Ah, Ibu... malam ini Ibu saja yang masak. Soalnya aku... lagi gak enak badan," kata Yulianti buru-buru, jelas menghindari kontak lebih lanjut dengan pemuda itu. Tanpa menunggu jawaban dari ibunya, Yulianti bergegas menuju kamarnya, meninggalkan suasana yang canggung di ruang tamu.
Hanifa hanya menggelengkan kepala pelan, terlihat sedikit kecewa dengan sikap putrinya. Ia kembali duduk di samping pemuda yang 18 tahun lebih muda darinya, dan menatapnya dengan senyum penuh permintaan maaf. "Maaf ya, Radit. Anakku masih selalu bersikap seperti itu kepadamu. Padahal dulu dia tidak bersikap sedingin ini," ucap Hanifa dengan nada sedih.
Radit, meskipun masih muda, menampilkan ketenangan yang bijak di wajahnya. Dia tersenyum lembut, kemudian mengelus rambut Hanifa dengan penuh kasih. "Sudahlah, ini wajar. Usia kami hanya berbeda setahun. Ada tembok yang menghalangi, tapi suatu saat tembok itu akan runtuh. Aku yakin itu," ucapnya penuh keyakinan, nada suaranya tegas namun menenangkan.
Hanifa tersenyum lega mendengar kata-kata itu. Tanpa berkata apa-apa, ia menyandarkan kepalanya di bahu kanan Radit, merasakan kenyamanan yang sulit dijelaskan.
Radit menatap Hanifa dengan senyum hangat, lalu perlahan-lahan tangannya mulai bergerak, mengelus pahanya dengan lembut. Sentuhan itu membuat Hanifa tersentak sedikit, meski dia tak bisa menahan rona merah yang perlahan menjalar di wajahnya. Ada perasaan yang bercampur aduk dalam dirinya—antara rasa malu dan hasrat yang perlahan muncul. Dia menunduk sedikit, menghindari tatapan Radit, namun tubuhnya merespons sentuhan itu dengan cara yang tak bisa ia kendalikan.
Tangan Radit semakin berani menjelajah, turun lebih jauh hingga mengelus permukaan celana dalam Hanifa. Secara refleks, Hanifa sedikit melebarkan selangkangannya, memberikan akses lebih mudah bagi kekasihnya. Ada sesuatu yang mendesir di dalam dirinya, rasa nyaman bercampur gairah, meski hati kecilnya sempat tersentak oleh kesadaran. Namun, di saat yang sama, Hanifa tak bisa menolak rangsangan yang terus menguasai tubuhnya.
Pelan-pelan, noda basah mulai terlihat di permukaan celana dalam Hanifa. Sentuhan lembut namun menggoda dari Radit mengirimkan gelombang sensasi yang tak tertahankan, merambat ke seluruh tubuhnya. Hanifa memejamkan matanya, mencoba mengendalikan desahan yang mulai ingin lolos dari bibirnya. Namun, setiap gerakan tangan Radit semakin membuatnya tenggelam dalam kenikmatan yang sulit untuk ditolak.
Di antara keheningan sore menjelang malam, Hanifa mulai kehilangan kontrol atas tubuhnya. Desahan pelan mulai terdengar, meski dia berusaha keras untuk menahannya. Sentuhan Radit semakin intens, dan Hanifa hanya bisa pasrah menikmati sensasi itu, terhanyut dalam permainan hasrat yang mengguncang perasaannya. Di sudut matanya, dia menyadari bahwa hubungan mereka telah melangkah lebih jauh dari yang ia bayangkan.
Hanifa akhirnya tak mampu menahan desahannya lebih lama. Suara erangan nikmat yang keluar dari bibirnya memenuhi ruang tamu, seolah tak peduli pada apa pun di sekitarnya. Bahkan, bayangan bahwa Yulianti mungkin bisa mendengar suara itu tak cukup kuat untuk menghentikan hasrat yang sudah membara di dalam dirinya. Tubuhnya bergetar menikmati sentuhan Radit, hingga akhirnya dia menahan tangan Radit yang terus menjelajah lebih jauh.
Hanifa mendekatkan bibirnya ke telinga Radit dan berbisik, suaranya terdengar rendah dan penuh godaan, "Ayo kita lanjutin di kamarku. Soalnya..." Kata-katanya terhenti sejenak ketika matanya menangkap sebuah pemandangan yang membuat jantungnya berdetak lebih kencang. Di hadapannya, benjolan di selangkangan Radit semakin jelas terlihat, tanda bahwa gairah Radit pun sudah memuncak. Dengan penuh godaan, Hanifa menusuk benjolan itu perlahan dengan jari telunjuknya, lalu melanjutkan bisikannya, "Punyamu juga sudah tidak sabar, kan?"
Radit tertawa kecil mendengar ucapan Hanifa. Senyum nakal tersungging di wajahnya, sementara dia menatap Hanifa dengan tatapan yang penuh hasrat. "Kamu memang sangat seksi ketika mengatakan itu, Hanifa," jawabnya dengan suara rendah yang menggoda. Kemudian, tanpa perlu banyak kata lagi, dia meraih tangan Hanifa dan mengangguk, "Ayo, kita ke kamarmu."
Tanpa menunggu lama, Hanifa dan Radit pun bangkit dari sofa, saling berpandangan sejenak dengan senyum penuh arti sebelum berjalan menuju kamar Hanifa. Di setiap langkah, ada ketegangan yang menggantung di udara, seolah-olah keduanya tahu bahwa mereka akan segera tenggelam dalam hasrat yang tak terbendung.

KAMU SEDANG MEMBACA
Her Secrets: Lust
Romance⚠️Warning: Khusus Dewasa ⚠️ Jangan sungkan memberikan komentar dan bantu naik dengan vote, oke? Sinopsis setiap wanita memiliki satu atau banyak rahasia dalam hidupnya, terlepas dari sisi baik maupun positifnya. Ikuti cerita mereka disini.