Bab 23 - Aira Rahmawati Part 23

448 10 0
                                    

Aira meletakkan ponselnya dengan wajah pucat. Dadanya bergemuruh dengan rasa takut dan kecemasan. Tidak siap menghadapi kemungkinan bahwa para mahasiswa atau bahkan orang dari luar kampus bisa mendatanginya, menuntut sesuatu yang tidak pernah dia bayangkan. Rahasia yang selama ini ia simpan erat mulai terancam terbuka, dan perasaan rentan semakin memburunya.

"Seperti biasa ya, Ibu Aira selalu populer di mata semua perempuan," ucap Mira, tersenyum ringan sambil menatap Aira dengan ekspresi yang sulit ditebak. Namun, Aira tidak merespons apa pun. Pikirannya terlalu penuh dengan kekhawatiran tentang apa yang akan terjadi selanjutnya.

Sepulang mengajar, langkah Aira terasa berat, kepalanya dipenuhi berbagai skenario buruk yang bisa terjadi. Sesampainya di kampus, matanya menangkap pemandangan yang sedikit ganjil—dua anak perempuan berseragam SMA berdiri di dekat pintu masuk gedung. Mereka tampak kebingungan, seolah-olah sedang mencari seseorang.

"Hmm, kenapa ada anak SMA di kampus ini? Apa mereka adik salah satu mahasiswa?" pikir Aira, alisnya mengernyit heran.

Salah satu anak perempuan itu mengenakan hijab hitam yang terikat rapi di kepalanya, wajahnya tampak serius dan sedikit cemas. Hijab tersebut menutupi sebagian besar tubuhnya, membuat penampilannya terlihat sopan dan tertutup. Sedangkan temannya, yang berdiri di sampingnya, tidak mengenakan hijab. Rambut panjangnya yang ikal terurai lepas, berkilau di bawah sinar matahari sore. Wajahnya yang ceria kontras dengan sikap temannya yang lebih pendiam.

Mereka berdua tampak menoleh ke kanan dan kiri, seakan mencari seseorang atau sesuatu. Aira merasakan hatinya berdebar sedikit lebih cepat. Aira memutuskan untuk menghampiri kedua anak perempuan yang tampak kebingungan di depan kampus. Dia menarik napas dalam-dalam, mencoba meredakan kegelisahan yang masih melingkupinya.

"Ada apa ya? Kalian seda—" Aira belum sempat menyelesaikan kalimatnya ketika tiba-tiba anak perempuan yang mengenakan hijab hitam itu menyela dengan suara lembut namun tegas.

"Apakah Ibu bernama Rara?" tanyanya.

Jantung Aira langsung berdetak kencang. Kata "Rara" terasa seperti petir yang menyambar di sore hari. Nama panggung yang dia pakai di dunia maya, yang seharusnya terpisah dari identitas nyatanya, tiba-tiba diucapkan oleh seorang gadis SMA. Aira menatap kedua anak itu dengan rasa panik yang mulai merambat ke seluruh tubuhnya. Bagaimana bisa anak itu tahu?

Sebelum Aira sempat merespons, anak perempuan yang tidak mengenakan hijab dan memiliki rambut ikal panjang menyikut temannya, lalu berbicara dengan nada lebih riang. "Namanya bukan Rara, kan? Namanya di dunia nyata adalah Aira."

Aira tersenyum kecut, mencoba menyembunyikan keterkejutannya meskipun jelas bahwa dia tak bisa menutupi kecanggungan. Dia merasakan keringat dingin mulai mengalir di tengkuknya.

"Apakah kalian berdua berasal dari...?" kata Aira dengan suara pelan, mencoba menebak tujuan mereka. Namun, sebelum dia bisa menyelesaikan pertanyaannya, kedua anak perempuan itu mengangguk serentak.

Mereka kemudian dengan cepat menunjukkan ponsel mereka kepada Aira. Di layar ponsel tersebut, terbuka sebuah grup chat yang membuat perut Aira mual—"Rara Fans Club." Grup yang selama ini menjadi sumber ketidaknyamanan dan perasaannya terpapar tanpa perlindungan.

Aira merasa seperti dunia berputar. Tatapannya melekat pada layar ponsel mereka, melihat namanya, foto-foto, dan komentar-komentar dari para anggota grup. 

Aira menghela napas pendek, mencoba menenangkan detak jantungnya yang masih tidak menentu. Dia menatap kedua gadis itu dengan tatapan tajam, lalu berkata dengan nada datar, "Jadi? Ada apa keperluan kalian kemari?"

Kedua gadis itu tersenyum kecil, tampak tak terpengaruh oleh sikap dingin Aira. Tanpa banyak basa-basi, mereka mengeluarkan sejumlah uang dari dalam tas mereka dan menunjukkannya kepada Aira. Dengan nada penuh keyakinan, keduanya berkata serempak, "Berikan layananmu kepada kami!"

Her Secrets: LustTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang