Bab 50 - Aira Rahmawati Part 50

283 3 0
                                    

Hanifa merespons dengan memperdalam hisapannya, menciptakan tekanan yang lebih pada batang Radit, seolah-olah dia ingin menarik puncak kenikmatan itu secepat mungkin. "Biarkan semuanya mengalir, Radit. Nikmati saja," ujarnya dengan lembut namun penuh penggoda, membuat Radit merasa lebih tidak terduga dan terjerumus lebih dalam ke dalam momen ini.

Semua rasa dan sensasi itu memuncak menjadi satu titik, dan Radit merasakan dunia di sekelilingnya mulai bergetar. Dengan satu dorongan terakhir, dia melepaskan segala ketegangan yang ada di dalam dirinya, menyatu dengan gelombang kenikmatan yang diciptakan oleh Hanifa.

Suara desahan Radit memenuhi ruangan saat dia akhirnya mencapai puncaknya, dan Hanifa dengan sigap menampung segala rasa itu, membiarkannya mengalir ke dalam mulutnya, senyum puas terpancar di wajahnya.

"Hmm...." lirih Hanifa, membiarkan semua sperma Radit memasuki mulutnya sekali lagi. Ekspresi puas menghiasi wajahnya saat dia merasakan rasa hangat dan kental itu memenuhi mulutnya. "Ah... ini dia... Hanifa blower. Hisapannya luar biasa! Masih banyak lagi! Terima semuanya!" ucap Radit dengan semangat, menekan kepala Hanifa hingga semua kemaluannya masuk sepenuhnya ke dalam mulutnya, sama seperti sebelumnya. Dalam momen itu, semua keinginan dan kerinduan terakumulasi menjadi satu, membuat Radit merasa seolah-olah berada di puncak kebahagiaan.

Setelah semuanya sudah keluar, Hanifa mengangkat kepalanya, membiarkan Radit melihat senyumnya yang penuh kepuasan. "Aku sudah menelan semuanya," ujarnya dengan napas berat, wajahnya sedikit memerah karena kepuasan. Dia menatap Radit dengan matanya yang berbinar. "Sperma kamu lebih banyak dan kental dari yang sebelumnya," lanjutnya sambil tersenyum nakal, mengingatkan Radit akan betapa nikmatnya momen yang baru saja mereka alami. Setiap kata yang keluar dari mulut Hanifa semakin memperkuat kedekatan antara mereka, menciptakan ikatan yang tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga emosional.

Setelah sedikit tenang dan menormalkan napasnya, Hanifa tersenyum tipis dan berkata dengan suara lembut, "Baiklah... berikut—" Namun, sebelum dia bisa melanjutkan ucapannya, Radit dengan tiba-tiba mendorong tubuhnya hingga membuat Hanifa terbaring di bawahnya. Gerakan itu cepat dan penuh gairah. Radit kini berada di atasnya, menatap dengan tatapan penuh nafsu dan determinasi. Hanifa merangkul tubuh Radit dengan kedua lengannya, menekannya lebih dekat sambil membuka selangkangannya lebar-lebar, memberikan sinyal kesiapan sepenuhnya.

"Aku siap. Buat kemaluanku menjadi punyamu seorang," bisik Hanifa dengan napas berat dan suara menggoda. Tatapan matanya yang penuh keinginan semakin memperkuat kata-katanya.

Radit, tanpa ragu sedikit pun, mengarahkan penisnya yang masih tegang ke kemaluan Hanifa. Dengan satu dorongan kuat namun penuh perhitungan, dia memasukkannya ke dalam tubuh Hanifa, membuat wanita itu mendesah keras. Sensasi yang mengalir di tubuh keduanya sangat intens, membuat Hanifa menggigit bibir bawahnya sembari menatap Radit dengan penuh gairah.

Radit pun mulai menggoyangkan pinggulnya, menggerakkan tubuhnya maju mundur dengan kecepatan yang teratur. Setiap gerakan menciptakan gelombang kenikmatan yang memancar ke seluruh tubuh Hanifa, membuat desahan pelan keluar dari bibirnya seiring irama yang dimainkan oleh Radit.

Radit semakin memperdalam gerakannya, menambah kecepatan pinggulnya dengan penuh semangat. Setiap dorongan terasa lebih kuat dan dalam, membuat Hanifa tidak bisa lagi menahan desahannya yang semakin keras. Tangannya mencengkeram bahu Radit dengan erat, merasakan setiap gerakan yang memacu kenikmatan luar biasa dalam tubuhnya.

"Ahh... Radit... lebih dalam..." desah Hanifa di antara napasnya yang tersengal-sengal, tubuhnya bergerak mengikuti irama dorongan Radit. Tatapan mata mereka bertemu sesekali, dan dalam tatapan itu, ada gairah yang membara, seolah-olah keduanya benar-benar tenggelam dalam momen yang tak terelakkan ini.

Radit terus menggoyangkan pinggulnya dengan ritme yang semakin cepat, membuat tubuh mereka berdua bergelombang dalam kenikmatan yang semakin intens. "Kamu sangat nikmat, Hanifa..." gumam Radit dengan suara serak, semakin terdorong oleh desahan Hanifa dan perasaan yang tak bisa lagi dia tahan.

Setiap dorongan semakin membuat Hanifa berada di ambang batas kenikmatan. Tubuhnya merespons dengan intens, punggungnya melengkung, dan kedua kakinya semakin melingkari tubuh Radit dengan erat. "Ahh... Radit... aku hampir...," ucap Hanifa dengan suara tertahan, merasakan sensasi klimaks semakin mendekat.

Suara desahan Hanifa dan Radit menggema di seluruh penjuru pondok, memenuhi udara dengan nada-nada yang penuh gairah. Setiap dorongan yang dilakukan Radit disertai dengan desahan berat dari Hanifa, membuat suasana semakin panas dan intens. Mereka berdua benar-benar tenggelam dalam hasrat, seakan-akan malam itu milik mereka sepenuhnya, tanpa gangguan dari dunia luar.

Namun, di luar pondok kecil tempat mereka berada, suasana serupa juga terjadi. Banyak pondok lain yang tersebar di sekitarnya, ditutupi dengan terpal untuk memberikan sedikit privasi bagi para pasangan. Malam itu bukan malam yang tenang. Suara desahan dan erangan lembut terdengar dari setiap pondok, menambah intensitas atmosfer malam itu. Para pasangan yang sedang dimabuk cinta dan hasrat seksual, seakan-akan terhubung melalui gelombang kenikmatan yang sama.

Malam itu adalah malam penuh gairah, di mana batas-batas antara cinta dan nafsu kabur, dan setiap pasangan menyerah pada hasrat mereka tanpa ragu. Pondok-pondok tersebut, yang biasanya sunyi, kini hidup dengan suara-suara yang menggambarkan kenikmatan dan kebersamaan yang begitu mendalam. Malam itu menjadi simbol bagi setiap pasangan yang berada di sana, sebuah malam di mana gairah dan cinta bersatu, membuat setiap detik terasa begitu berharga.

Radit semakin mempercepat gerakan pinggulnya, setiap dorongan yang ia lakukan semakin dalam dan kuat. Hanifa, yang sudah hampir mencapai puncak kenikmatan, tidak bisa menahan diri lagi. Jeritannya menggema di dalam pondok, terdengar jelas seiring dengan irama cepat yang dimainkan oleh Radit.

"Ahh... Radit... lebih cepat...!" teriak Hanifa, suaranya penuh gairah. Tubuhnya melengkung, dan kedua tangannya meremas punggung Radit dengan kuat, kukunya mencakar kulitnya tanpa sadar. Setiap dorongan yang dilakukan Radit membuat tubuh Hanifa bergetar, dan sensasi yang ia rasakan begitu intens hingga membuatnya kehilangan kendali sepenuhnya.

Radit merasakan bagaimana cengkeraman dan cakaran Hanifa di punggungnya seiring dengan gerakan tubuh mereka yang semakin cepat dan kasar. Napasnya semakin berat, keringat mengucur deras dari tubuhnya, tetapi ia tidak berhenti. Dia terus menggoyangkan pinggulnya, memberikan kenikmatan yang tak tertandingi kepada Hanifa. Setiap dorongannya seolah menyampaikan betapa dalam hasrat yang dia miliki untuknya.

Suara napas dan jeritan Hanifa semakin keras, tubuhnya bergerak seirama dengan Radit, dan setiap kali pinggulnya menggoyang, getaran kenikmatan menyebar ke seluruh tubuh Hanifa, membuatnya mendekati puncak klimaks yang tak bisa dia tahan lagi.

Radit mempercepat goyangan pinggulnya, setiap dorongan semakin kuat dan cepat. Napasnya semakin berat, hingga akhirnya dengan satu gerakan terakhir, ia menekan pinggulnya ke arah Hanifa dengan kuat, melepaskan seluruh hasratnya yang telah memuncak. Suara erangan mereka berdua menggema bersamaan, tersinkron dengan sempurna, menandakan klimaks yang mereka rasakan secara bersamaan.

Tubuh Hanifa bergetar saat dia merasakan sperma hangat dan kental Radit mengisi bagian terdalam dari tubuhnya. Sensasi itu begitu kuat, memicu desahan panjang dari bibirnya yang penuh gairah. Dia merasakan bagaimana setiap tetes sperma menyebar dalam dirinya, menciptakan gelombang kenikmatan yang tak tertahankan.

"Ahh... Radit!" Hanifa menjerit dalam kenikmatan yang begitu intens. "Kemaluanku... ahh... begitu girang... mendapatkan asupan sperma yang paling kusukai!" ucapnya dengan napas yang terengah-engah, tubuhnya masih bergetar akibat sensasi luar biasa yang baru saja dia rasakan. Mata Hanifa terpejam, sementara senyumnya penuh kepuasan. Desahannya yang berat menandakan betapa nikmatnya momen tersebut baginya, seolah seluruh tubuhnya menerima dengan sukacita pemberian Radit.

Radit dan Hanifa terlihat sangat lelah setelah mencapai puncak kenikmatan mereka, namun Radit masih melanjutkan goyangannya meski Hanifa belum sepenuhnya pulih dari klimaksnya. Hanifa tidak menyangka bahwa Radit masih bisa melanjutkan aktivitas mereka, dan meskipun tubuhnya kelelahan, sensasi yang ditimbulkan oleh setiap dorongan Radit membuatnya mendesah panjang, menikmati goyangan yang tetap penuh gairah.

Namun, suasana intim itu terputus seketika ketika suara deringan handphone Hanifa berbunyi. Dengan napas yang masih tersengal-sengal, Hanifa memohon kepada Radit untuk berhenti sejenak, "Tunggu, Radit...! Aku harus lihat siapa yang menelepon," katanya, berusaha mengalihkan perhatian dari sensasi yang menggelora.

Her Secrets: LustTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang