Bab 58 - Aira Rahmawati Part 58

149 4 0
                                    

Radit dengan lembut mengeluarkan dildo kedua dari anus Hanifa, memperhatikan setiap reaksi di wajahnya. Dia bisa merasakan sisa-sisa kenikmatan yang masih mengalir dalam diri Hanifa, dan sebelum memberikan kesempatan untuk beristirahat atau mengatur napas, Radit segera mengambil langkah selanjutnya. Dengan penuh percaya diri, dia mengarahkan kemaluannya ke arah anus Hanifa, yang tampaknya sudah siap dan terbuka untuk menerima.

Ketika kemaluan Radit bersentuhan dengan anus Hanifa, dia merasa bahwa tubuh Hanifa menyambutnya dengan baik. Rasa antisipasi dan keintiman mengalir di antara mereka, menciptakan momen yang semakin intens. "Oh! Anusmu menyambutku dengan baik!" ucap Radit, suaranya penuh gairah.

Ketika kemaluan Radit sudah berhasil masuk, Hanifa menjerit kenikmatan sembari menikmati setiap goyangan pinggul Radit. Hanifa menyadari kalau anusnya sudah tidak sama seperti yang dulu, anusnya sudah menjadi seperti kemaluan hanifa lainnya untuk mendapatkan kepuasan dalam seksualnya.

Radit terus menyesuaikan ritme dan kedalaman dorongannya, berusaha untuk menemukan pola yang paling memuaskan bagi Hanifa. Dia memperhatikan setiap reaksi dari Hanifa, dari desahan hingga gerakan tubuhnya yang menunjukkan bagaimana dia menikmati pengalaman tersebut. "Kamu sangat luar biasa, Hanifa," puji Radit, semakin terangsang oleh kebahagiaan dan kepuasan yang terpancar dari wajah Hanifa. 

Radit mulai memberikan sedikit variasi pada gerakan, mencoba memadukan kecepatan dan kedalaman untuk mencapai hasil yang lebih memuaskan. Hanifa merasakan setiap perubahan, dan setiap dorongan yang lebih dalam membuatnya semakin terbuai dalam kenikmatan. "Aku sudah tidak bisa menahan lagi, Radit!" teriak Hanifa, tanda bahwa dia semakin mendekati klimaks.

Goyangan Radit semakin cepat hingga akhirnya dia tidak sanggup menahannya lagi. Radit berkata "Hanifa... anusmu sangat enak sekali. Aku sudah tidak tahan lagi!" Radit terus mempercepat goyangannya hingga Hanifa akhirnya mencapai orgasme.

"Radit! Radit! Radit!!" teriak Hanifa sembari merasakan sperma Radit membanjiri anus Hanifa. Hanifa sudah tidak sanggup lagi, dia benar-benar sudah sangat kelelahan. Hanifa merasakan sedikit perih di anusnya, namun dia tidak mempermasalahkan itu selama anusnya bisa memuaskan kekasihnya itu.

Setelah itu, Radit kembali menikmati anus Hanifa, sesekali dia berganti ke kemaluan Hanifa. Mereka terus melakukannya hingga magrib. Hanifa terbaring di kasur Radit dengan banyak sperma tersebar di tubuhnya.

Radit yang merasa kelelahan duduk di sampingnya sembari membakar rokoknya, melihat Hanifa yang memandang dirinya dengan senyum kepuasan. "Radit, kamu sudah membuat tubuhku tidak bisa hidup tanpa kemaluanmu. Kamu harus bertanggung jawab ya..." ucap Hanifa sembari berusaha untuk tetap sadar. Namun pada akhirnya Hanifa pun tertidur pulas, meninggalkan Radit tersenyum puas dengan hasil akhir usahanya.

Radit perlahan bangkit dari kasur, membiarkan Hanifa tertidur pulas di sampingnya. Ia melangkah dengan tenang menuju meja kecil, tempat laptopnya masih tergeletak. Begitu layar laptop menyala, sebuah foto Hanifa muncul, memancarkan aura menggoda. Hanifa mengenakan lingerie baby doll yang tipis dan transparan, tanpa bra, memperlihatkan lekuk tubuhnya dengan jelas. Belahan payudaranya yang besar tampak jelas, terbingkai sempurna oleh kain tipis yang menggantung longgar. Kulitnya yang halus dan mulus semakin menambah kesan sensual, menciptakan pemandangan yang memikat perhatian Radit dalam sekejap.

Radit menekan tombol keyboard, dan layar laptop segera berganti ke gambar-gambar lain Hanifa yang semakin menggoda. Dalam foto berikutnya, Hanifa mengenakan lingerie berbeda—sebuah set renda hitam yang nyaris transparan, memperlihatkan tubuhnya yang sempurna. Bra yang dikenakannya kecil dan tipis, hampir tak mampu menutupi keindahan payudaranya, sementara celana dalamnya juga rendah dan memperlihatkan lekuk pinggulnya dengan jelas. Kecantikan alaminya terpancar, dan kulitnya terlihat begitu mulus dan berkilau.

Ia terus menekan tombol, dan foto-foto berikutnya menampilkan Hanifa dalam pose yang lebih berani. Kali ini, ia hanya mengenakan bra putih polos dan celana dalam renda merah, berdiri di depan cermin dengan tangan yang menggantung santai di pinggul. Di gambar lain, ia benar-benar telanjang, berpose anggun di atas ranjang dengan tubuhnya yang terbuka, memperlihatkan keindahan fisiknya tanpa ada yang disembunyikan. Setiap inci dari tubuhnya tampak terawat sempurna, memancarkan daya tarik yang tak bisa diabaikan.

"Hanifa benar-benar wanita yang seksi dan menggoda," gumam Radit dengan suara rendah, matanya tetap fokus pada layar. "Tubuhnya masih terlihat bagus, meskipun dia adalah janda dengan anak satu." Ada kekaguman yang tertinggal di nada suaranya, seolah tak percaya betapa menawan wanita yang tertidur di sampingnya itu.

Radit keluar dari layar full-screen yang menampilkan foto Hanifa. Di depannya kini terpampang galeri penuh puluhan foto Hanifa dalam berbagai pose menggoda, mengenakan beragam pakaian yang semakin menonjolkan sensualitasnya. Ada foto-foto di mana Hanifa mengenakan lingerie mewah dengan renda halus, gaun tidur tipis, hingga pakaian minim yang membangkitkan imajinasi. Setiap pose memancarkan kepercayaan diri yang kuat, memperlihatkan betapa nyamannya Hanifa dengan tubuhnya yang indah dan penuh pesona.

Radit kemudian menutup folder berisi foto-foto tersebut dan kembali ke tampilan awal. Di layar laptop, hanya ada dua folder besar: satu berlabel "Photo" dan satu lagi "Video." Kali ini, Radit memutuskan untuk membuka folder "Video." Begitu folder terbuka, layar menampilkan deretan video pribadi—beberapa di antaranya jelas menunjukkan momen intim antara dirinya dan Hanifa. Judul-judul video itu menunjukkan berbagai tempat dan situasi di mana mereka merekam hubungan mereka.

Dengan satu klik, Radit memutar salah satu video. Di dalamnya, Hanifa terlihat sedang bercinta dengannya, di berbagai tempat mulai dari kamar hotel mewah hingga rumah Hanifa. Adegan-adegan itu dipenuhi gairah, dengan Hanifa yang selalu tampil menggoda, tubuhnya bergerak luwes dalam setiap adegan, menunjukkan betapa mendalam hubungan fisik mereka. Radit menatap layar dengan ekspresi intens, mengingat setiap momen yang kini terulang di hadapannya.

Suara lembut dan napas berat dari video memenuhi ruangan yang sepi, sementara Radit terdiam, mengamati setiap gerakan dan ekspresi di layar. Semua foto dan video yang terdaftar di laptop itu sudah mendapatkan persetujuan dari Hanifa. Meskipun awalnya dia merasa malu, pada akhirnya Hanifa setuju untuk semua permintaan Radit tanpa ragu. Mereka sudah melalui banyak diskusi, dan Radit berhasil meyakinkan Hanifa bahwa ini adalah cara untuk merayakan keindahan tubuh dan hubungan mereka. Kini, Hanifa tampil percaya diri di setiap gambar dan video, menampilkan sisi sensual yang membuat Radit semakin terpesona.

Radit menoleh ke belakang, menyadari ada satu momen yang terlewat. Dia merasa sedikit kecewa karena tidak merekam proses anal seks pertama Hanifa, pengalaman yang begitu intim dan berkesan. "Ya sudahlah, aku bisa merekamnya kapan pun aku mau," pikirnya, berusaha menepis kekecewaan itu.

Dia kemudian kembali fokus pada layar, memikirkan semua wanita yang telah menjadi bagian dari hidupnya. Radit sudah mengumpulkan banyak video dan foto dari berbagai wanita, semuanya jauh di atas usianya—baik yang janda maupun yang masih memiliki suami. Setiap interaksi itu membawanya kepada pengalaman baru dan memperkaya koleksi pribadinya.

Dengan keterampilan dan pesonanya, Radit berhasil memperoleh banyak uang dari sugar mommy pilihannya, termasuk Hanifa. Semua wanita itu sudah tergila-gila padanya, terpesona oleh karisma dan keberaniannya.

Hanifa terbangun saat jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Dengan mata yang masih berat dan rasa kantuk yang membayangi, ia melihat Radit sudah membelikan makanan yang tersaji rapi di meja kecil di samping ranjang. Aroma makanan yang menggugah selera membuat perutnya keroncongan. Dia bangkit dari kasur, merasa risih karena kulitnya yang lengket akibat keringat.

"Radit, aku mau mandi dulu ya. Mau bergabung?" tanyanya, berharap bisa berbagi momen intim sebelum makan malam.

Radit tersenyum sambil menggelengkan kepala. "Tidak, kamu mandi saja. Aku sudah mandi sebelum membeli makan malam kita," jawabnya dengan nada santai.

Hanifa terlihat sedikit kecewa dengan jawaban itu, tapi dia mengangguk pelan. "Ya sudah. Aku mandi dulu," ucapnya sebelum melangkah menuju kamar mandi.

Setelah beberapa menit, Hanifa keluar dari kamar mandi, segar dan bersih. Dia mengenakan gamis yang dia kenakan sebelumnya, rambutnya terurai karena hijabnya masih belum dikenakan. Saat melihat Radit sudah duduk di meja, dia merasa sedikit lebih percaya diri.

"Maaf membuatmu menunggu," katanya dengan senyum.

"Tidak masalah," jawab Radit. "Yang penting kamu nyaman."


Her Secrets: LustTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang