Bab 51 - Aira Rahmawati Part 51

348 4 0
                                    

Radit pun menghentikan gerakan pinggulnya, memberi kesempatan bagi Hanifa untuk meraih handphonenya yang terletak tidak jauh dari mereka. Saat melihat layar, Hanifa melihat nama anaknya. Dengan sedikit ragu, dia menjawab telepon itu, "Halo, Yulianti?" suaranya berusaha terdengar tenang meskipun nafsu masih membara dalam dirinya.

Dari ujung telepon, suara Yulianti terdengar penasaran, "Ibu, kenapa lama sekali pulangnya? Aku sudah menunggu!"

Hanifa mencoba menjawab sambil menahan desahan yang ingin keluar, "Oh, sayang... Ibu sedang... sedikit... terjebak macet. Ibu akan segera pulang, ya," jawabnya, suaranya bergetar di tengah ketegangan yang terus berlanjut.

Sementara itu, Radit, dengan senyuman nakal, kembali menggoyangkan pinggulnya secara perlahan, menggoda Hanifa untuk kembali terjebak dalam gelombang kenikmatan meski dia tahu bahwa anaknya sedang menunggu di ujung telepon.

Hanifa berjuang keras untuk tetap memfokuskan bicaranya dengan Yulianti, berusaha agar anaknya tidak curiga dengan nada suaranya yang sedikit terengah. Dia merasakan getaran yang tak terhindarkan dari setiap dorongan Radit, dan meskipun dia mencoba untuk terdengar tenang, tubuhnya mulai berkhianat. "Yulianti, Ibu benar-benar terjebak dalam kemacetan...," ucapnya dengan suara bergetar, berusaha menjaga konsentrasi. Namun, goyangan Radit semakin cepat, membuat Hanifa semakin kesulitan untuk menahan desahannya. Setiap dorongan yang semakin dalam dan cepat mengguncang seluruh tubuhnya, menciptakan gelombang kenikmatan yang sulit untuk dibendung. Dia menggigit bibirnya, berusaha menahan suara, tetapi keinginan untuk mengeluarkan suara desahan semakin kuat. "Jadi, Ibu akan segera pulang...," ucapnya, berusaha menyempurnakan kalimatnya dengan suara yang stabil.

Ketika Yulianti bertanya lagi, "Ibu baik-baik saja, kan? Suara Ibu terdengar aneh," Hanifa seketika merasa panik. Dia tahu dia tidak bisa membiarkan anaknya curiga. Dengan segenap usaha, dia menarik napas dalam-dalam dan mencoba mengontrol diri, meski di saat yang sama tubuhnya dilanda gelombang kenikmatan yang terus menghujam dari Radit. "Ibu baik-baik saja, sayang. Tidak perlu khawatir, ya? Ibu akan segera pulang," katanya sambil memaksakan senyum yang terdengar di suaranya. Begitu telepon ditutup, Hanifa menyerah sepenuhnya pada sensasi yang melumpuhkan, sementara pikirannya bergulat dengan rasa bersalah yang mengendap di hatinya.

Di dalam kamar, Yulianti tampak duduk di tepi ranjang dengan wajah cemas. Telepon dari ibunya yang mendadak ditutup dengan nada suara yang terdengar aneh membuatnya khawatir. Dia menghela napas pendek dan berkata pelan, "Semoga Ibu baik-baik saja di sana," matanya menatap kosong ke arah jendela. Di bawah tempat tidur, Karina, yang sedang membaca majalah fashion, terlihat memerah wajahnya. Meskipun tak berkata sepatah kata pun, Karina tahu persis apa yang sedang terjadi di luar sana. Dia paham apa yang dilakukan ibunya Yulianti bersama kekasihnya, Radit, dan perasaan campur aduk membuatnya diam terpaku.

Sementara itu, desahan Hanifa semakin tak terkendali. Tubuhnya menggeliat di bawah tekanan gelombang kenikmatan yang terus meningkat, sementara Radit semakin mempercepat gerakannya. Hingga akhirnya, dengan erangan yang penuh gairah, Hanifa mencapai puncak klimaksnya. "Aku... keluar!!!!" teriaknya, tubuhnya gemetar hebat saat merasakan semburan sperma Radit mengisi tubuhnya. Nafasnya tersengal-sengal, dan dia merasakan campuran kenikmatan dan kelelahan menyapu seluruh tubuhnya.

Radit, dengan senyum nakal masih di wajahnya, melonggarkan pelukannya dan perlahan melepaskan kemaluannya dari Hanifa. Pandangannya tertuju pada pemandangan yang sangat menggoda di hadapannya—sperma yang mengalir keluar dari kemaluan Hanifa, memberikan sentuhan akhir pada adegan panas yang baru saja terjadi. Mata Radit bersinar dengan kepuasan, namun dia pun merasakan kelelahan.

"Hanifa... aku lelah," kata Radit dengan suara yang nyaris serak, tubuhnya terasa berat. Dia merosot ke samping, terbaring di sebelahnya. "Kita istirahat, ya? Aku tidak bisa lagi."

Hanifa, yang masih terengah-engah, mengangguk lemah. "Aku juga... terlalu lelah," jawabnya dengan senyum tipis, matanya terpejam sejenak, merasakan tubuhnya yang lunglai dan letih setelah ledakan gairah yang baru saja dialaminya. "Tapi... itu tadi luar biasa," tambahnya sambil tertawa kecil.

Hanifa tertidur dengan nyenyak, tubuhnya terbaring lemas di sisi Radit, yang masih terjaga. Dia memandang Hanifa sebentar, lalu tanpa ragu mengambil handphone milik Hanifa yang tergeletak di dekat kepala Hanifa. Dengan hati-hati, dia mulai membuka galeri foto Hanifa, melihat satu per satu foto yang ada di dalamnya. Di layar, muncul foto-foto pribadi Hanifa bersama mendiang suaminya—wajah yang tersenyum bahagia dalam momen-momen yang penuh kenangan.

Radit menyeringai kecil, ada rasa tak nyaman melihat kehadiran pria yang sudah tiada itu masih melekat dalam kehidupan Hanifa. Tanpa pikir panjang, dia mulai menghapus foto-foto yang menunjukkan suami Hanifa, menghapus mereka satu per satu, hingga hanya tersisa foto-foto Hanifa dan anaknya, Yulianti. "Anaknya bernama Yulianti ya?" gumam Radit pelan, suaranya terdengar dingin, hampir seperti berbicara dengan dirinya sendiri. "Aku pernah melihatnya sekali, waktu aku berkunjung ke rumah ini. Hanifa menyuruhku lewat belakang, takut kalau hubungan kami ketahuan oleh Yulianti."

Radit menatap layar handphone itu lagi, memperbesar foto Yulianti yang tersisa di galeri. Dia mengamati wajah gadis itu dengan tatapan yang penuh perhitungan, lalu tersenyum tipis, dingin. "Dia cantik juga," katanya, setengah berbicara pada dirinya sendiri. "Aku tidak tertarik dengan perempuan yang lebih muda dariku... tapi sesekali mungkin aku ingin bertemu dengannya."

Radit menoleh ke samping, melihat Hanifa yang masih tertidur lelap, wajahnya tampak tenang dan tak terganggu oleh apa yang sedang terjadi di sekitar mereka. Sebuah senyuman licik muncul di wajah Radit saat dia kembali melihat foto Yulianti di handphone itu, sebelum akhirnya dia mengunci layar dan meletakkan handphone itu kembali di tempatnya.

Beberapa jam kemudian, Hanifa terbangun dari tidurnya dengan perasaan bingung. Ia melirik ke samping dan terkejut melihat Radit sudah tidak ada di dalam pondok bersamanya. Rasa panik mulai menyusup, namun sejenak kemudian ia melihat handphone-nya. Jam di layar menunjukkan pukul 4 pagi—masih gelap di luar. Hanifa mencoba menenangkan dirinya, duduk dan menyandarkan punggungnya pada dinding pondok, mencoba mengingat kejadian terakhir sebelum ia tertidur.

Tak lama kemudian, pintu pondok terbuka dengan perlahan, dan Radit muncul dengan tangan membawa dua gelas minuman hangat. Ia tersenyum santai saat melihat Hanifa yang baru bangun. "Kamu sudah bangun, ya?" tanyanya, meletakkan minuman di meja kecil di dekat tempat tidur.

Hanifa menghela napas lega, meski masih merasa agak bingung. "Ke mana saja tadi? Aku pikir kamu sudah pergi," ucapnya sambil memandang Radit dengan sedikit khawatir.

Radit tersenyum dan duduk di sebelahnya, menyerahkan satu gelas minuman. "Aku cuma keluar sebentar, cari minuman hangat. Sepertinya kamu tidur sangat nyenyak tadi," jawabnya dengan nada santai, matanya menatap Hanifa dengan tatapan puas. "Kencan kali ini benar-benar memuaskan." tambahnya sambil tersenyum, matanya berkilat-kilat penuh makna.

Hanifa tersenyum malu, mengusap rambutnya yang agak berantakan. "Ya... aku juga sangat menikmatinya," ucapnya dengan suara lembut, sambil meraih gelas minumannya.

Namun, tiba-tiba Radit menatap Hanifa dengan lebih serius. "Hanifa, ada satu hal yang ingin aku tanyakan," ujarnya, menyesap minumannya sebelum melanjutkan. "Suatu saat nanti... aku ingin bertemu dengan Yulianti. Mungkin kamu bisa memperkenalkan kami?"

Hanifa terkejut mendengar permintaan itu, ia berhenti meneguk minumannya dan menatap Radit dengan ekspresi yang bingung. "Yulianti? Kenapa kamu ingin bertemu dengan dia?" tanyanya dengan alis terangkat.

Radit menyandarkan punggungnya ke dinding, menatap Hanifa dengan senyum kecil. "Dia anakmu, Hanifa. Dan aku sudah cukup lama dekat denganmu. Cepat atau lambat, Yulianti pasti akan tahu tentang kita. Aku hanya berpikir mungkin lebih baik kalau aku bertemu dengannya dulu, biar hubungan kita ini tidak terlalu menjadi rahasia besar," jelasnya dengan nada tenang, meskipun ada kilasan licik di matanya.

Hanifa terdiam sejenak, pikirannya berputar-putar. Radit benar, hubungan mereka tak mungkin bisa disembunyikan selamanya. Namun, perasaan was-was muncul di hatinya ketika membayangkan Radit bertemu dengan Yulianti. "Aku... aku harus berpikir dulu soal itu, Radit," jawabnya pelan, mencoba menghindari keputusan cepat. Radit mengangguk, tak mendesak. "Tentu saja, aku mengerti. Tapi... aku harap kamu mempertimbangkannya, ya," ucapnya lembut, kembali tersenyum sambil menatap Hanifa.

Her Secrets: LustTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang