Radit mengangkat tangannya, mencoba menenangkan Yulianti. "Tenang, Yulianti... aku tidak berniat jahat," ucapnya dengan nada yang terdengar terlalu tenang. Namun, tatapan matanya justru semakin membuat Yulianti gelisah. Ada intensitas dingin dalam cara ia menatapnya, seolah ada sesuatu yang lebih dari sekadar niat baik.
"Keluar sekarang, atau aku teriak!" ancam Yulianti, suaranya bergetar karena marah sekaligus takut. Tubuhnya masih gemetar, dan ia memeluk dirinya erat, mencoba melindungi tubuhnya yang telanjang dari pandangan Radit.
Namun, Radit tak bergeming. "Kamu tak perlu takut, Yulianti," katanya lembut, namun penuh ketegasan. "Aku hanya ingin berbicara denganmu, itu saja."
Yulianti mulai merasakan kepanikan yang kian menjadi-jadi. Ia mundur sedikit, berusaha menjaga jarak sambil tangannya meraba-raba mencari sesuatu untuk menutupi tubuhnya. Ia menemukan sehelai kain yang tergeletak di dekat meja rias, segera mengambilnya dan melilitkannya di tubuhnya. Tatapan matanya tak pernah lepas dari Radit, mencoba membaca niatnya.
Radit berdiri dengan sikap tenang dan tubuh tegap, seolah sedang menikmati setiap reaksi ketakutan yang muncul dari Yulianti. Langkah-langkahnya pelan, namun penuh kepastian, mendekati Yulianti yang tampak semakin waspada. Suara napas Yulianti terdengar semakin cepat, dan tubuhnya menegang saat ia mundur beberapa langkah, punggungnya hampir menyentuh pintu kamar mandi.
"Jangan mendekat!" serunya, suaranya serak oleh rasa takut dan marah yang bercampur aduk.
Namun, Radit hanya tersenyum tipis, langkahnya tidak melambat. "Ayolah, Yulianti," ucapnya dengan nada rendah yang menenangkan namun terkesan sinis. "Kamu sudah cukup dewasa untuk melihat... hal semacam ini, bukan?"
Kata-kata itu membuat Yulianti bergidik, hatinya semakin dipenuhi rasa takut. Ia melangkah mundur, menekan tubuhnya ke pintu kamar mandi, merasa semakin terpojok tanpa jalan keluar. Sementara itu, Radit terus mendekat, tatapannya dingin namun intens, seolah menikmati reaksi Yulianti yang kebingungan mencari cara untuk menghindar.
"Jangan sentuh aku," gumam Yulianti, mencoba tegar meskipun gemetar. Radit hanya tersenyum kecil, dan semakin mendekat, jarak di antara mereka kini hanya beberapa langkah.
Radit kini berdiri sangat dekat dengan Yulianti, menciptakan suasana yang menegangkan dan penuh ketidakpastian. Tatapan tajam Yulianti seolah berusaha menantang keberanian Radit, tetapi justru memicu sisi gelap dalam diri pria itu. Semakin dalam Yulianti menatap, semakin berhasrat Radit untuk menggoda dan mengeksplorasi ketidaknyamanan yang terlihat di wajahnya. Ia merasakan getaran dalam dirinya, seolah ada daya tarik tak terduga yang mengikat mereka berdua dalam momen berbahaya ini.
Dengan gerakan yang penuh percaya diri dan sedikit senyum sinis, Radit mulai mengulurkan tangannya. Ia bergerak perlahan, seolah-olah ingin memastikan bahwa Yulianti benar-benar merasa terancam. Ketika jarak antara tangan Radit dan tubuh Yulianti semakin dekat, ketegangan di udara terasa semakin mencekam. Yulianti bisa merasakan detak jantungnya yang berpacu, berpikir bahwa ia harus segera bertindak sebelum semuanya terlambat.
Begitu tangan Radit hendak meremas payudara Yulianti yang hanya tertutup sebagian oleh kain seadanya, seberkas naluri bertahan hidup muncul dalam dirinya. Dengan refleks yang penuh semangat, Yulianti segera menampar kedua tangan Radit, mencoba menghentikan tindakannya yang sudah melampaui batas. Dorongan marah dan ketakutan menggerakkan tubuhnya untuk menjauh, mendorong Radit dengan bahunya, sambil berusaha menguatkan diri.
"Aku akan melaporkan ini kepada ibu!" pikir Yulianti dengan penuh tekad. Rasa takutnya berbaur dengan kemarahan, mendorongnya untuk segera keluar dari situasi yang berbahaya ini. Tanpa berpikir panjang, ia berlari menuju pintu keluar, berharap bisa melarikan diri dari cengkeraman Radit yang semakin menakutkan. Langkahnya cepat, penuh harapan bahwa ia bisa menghindari apa yang mungkin akan terjadi selanjutnya.
Namun, saat Yulianti hampir mencapai pintu, sesuatu terjadi yang membuat jantungnya berhenti sejenak. Tangan kanannya tiba-tiba ditarik dengan kuat oleh Radit, mengakibatkan rasa sakit yang menjalar di pergelangan tangannya. Teriakan kesakitan keluar dari mulutnya, menggema di ruangan yang sepi. Radit menggunakan kekuatannya untuk menahan Yulianti, membuatnya merasa terjebak dan semakin putus asa.
Yulianti merasakan sakit yang menjalar dari pergelangan tangannya, terjerat dalam cengkraman Radit yang kuat. "Sakit!!! Lepaskan tanganku!!" teriaknya, suaranya penuh dengan keputusasaan dan ketakutan. Matanya yang berlinang mengungkapkan ketidakberdayaannya, mencerminkan rasa sakit yang tidak hanya fisik tetapi juga emosional. Dalam situasi ini, wajahnya memucat, seolah kehilangan warna, menunjukkan betapa tertekannya dia oleh tindakan Radit. Setiap teriakan yang keluar dari mulutnya adalah refleksi dari rasa terjebak dan putus asa, seolah-olah harapannya untuk melarikan diri semakin sirna.
Saat Radit akhirnya melepaskan cengkramannya, Yulianti tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Dia bergerak cepat, berusaha menjauh darinya, tetapi paniknya membuatnya kehilangan fokus. Dalam keadaannya yang tidak mengenakan kain, Yulianti berlari ke arah yang salah, semakin menjauh dari pintu kamar yang seharusnya menjadi jalan keluar. Rasa takutnya mengendalikan akal sehatnya, membuatnya terjebak dalam lingkaran ketakutan yang semakin dalam. Keberanian yang seharusnya muncul justru terkubur di bawah timbunan rasa panik.
Radit, yang tampak tenang dan penuh kendali, mengunci pintu kamar dengan gerakan yang santai. Tindakan ini membuat jantung Yulianti berdebar kencang, seolah-olah waktu terhenti sejenak. Dia tahu bahwa sekarang tidak ada jalan keluar; pintu yang seharusnya memberikan harapan kini hanya menjadi penghalang. Radit berbalik, memandang Yulianti yang kini berdiri di tengah ruangan dengan wajah tertegun. Tatapan matanya yang tajam menunjukkan bahwa dia menikmati situasi tersebut, sementara Yulianti merasa terperangkap dalam cengkeraman ketidakpastian.
Dalam cahaya redup kamar, Yulianti menyadari betapa rentannya dia saat ini. Dia memegang pergelangan tangannya yang sedikit menghitam akibat cengkraman Radit, dan rasa sakit itu seolah menjadi pengingat akan kekuatan yang dimiliki lelaki di depannya.
Yulianti merasakan jantungnya berdegup kencang saat melihat Radit mendekat. Dalam keadaan putus asa, dia berteriak, "Tidak, jangan mendekat!!" Suaranya penuh dengan ketakutan, mencerminkan naluri bertahannya yang terbangun di tengah ancaman yang nyata. Dengan cepat, dia memindahkan pandangannya ke sekelilingnya, mencari sesuatu yang bisa dijadikan senjata. Tangan kirinya meraba-raba permukaan meja rias di sampingnya, mencari benda apapun yang bisa membantunya melindungi diri dari Radit.
Saat jari-jarinya menyentuh sesuatu yang dingin dan berat, Yulianti mengambilnya tanpa ragu. Dengan semangat yang tersisa, dia melemparkan benda itu ke arah Radit. Namun, Radit tidak bergeming sedikit pun. Dia hanya tersenyum, wajahnya terlihat tenang dan santai, seolah-olah menikmati permainan ini. Senyumannya yang dingin semakin membuat Yulianti merasa tertekan, seolah setiap lemparan yang dia lakukan hanya menambah rasa takut yang mengendap di dalam hatinya.
Merasa semakin terdesak, Yulianti mulai mundur, langkahnya cepat dan penuh kepanikan. Setiap kali dia melempar benda lain yang ia temukan—sebuah tas, sebuah buku, bahkan sepatu—Radit tetap tenang, tidak menunjukkan reaksi yang berarti. Hal ini membuat Yulianti semakin panik, dan ketegangan dalam dirinya semakin meningkat. Dia merasa terjebak dalam permainan yang tidak adil, di mana Radit memiliki kendali penuh atas situasi.
Ketika dia mencapai tepi kasur, kakinya tersandung, dan dia terjatuh ke belakang. Jatuhnya Yulianti terasa lambat seolah waktu berhenti, memberikan momen refleksi yang singkat. Dalam sekejap, dia menyadari betapa rentannya dirinya saat ini. Keinginannya untuk segera bangkit semakin besar, tetapi rasa sakit di pergelangan tangan akibat cengkraman Radit membuatnya sulit bergerak. Tubuhnya terasa berat, seolah semua usaha untuk melarikan diri hanya sia-sia.
Dengan cepat, Yulianti berusaha untuk bangkit, mengabaikan rasa sakit yang menjalar di tubuhnya. Dia merasa terjepit antara keinginan untuk melarikan diri dan kenyataan pahit bahwa Radit sudah semakin dekat. Dalam pikirannya, dia berusaha merumuskan rencana, mungkin ada cara untuk melarikan diri, tetapi saat dia menatap Radit, senyumnya yang sinis dan matanya yang penuh intensitas membuatnya merasa semakin putus asa.

KAMU SEDANG MEMBACA
Her Secrets: Lust
Romantizm⚠️Warning: Khusus Dewasa ⚠️ Jangan sungkan memberikan komentar dan bantu naik dengan vote, oke? Sinopsis setiap wanita memiliki satu atau banyak rahasia dalam hidupnya, terlepas dari sisi baik maupun positifnya. Ikuti cerita mereka disini.