Aisyah duduk termenung di depan ruang operasi. Jarinya bergerak bersamaan dengan dzikir yang terus terucap, meski pikirannya terfokus pada dua orang di dalam ruangan itu.Kegelisahan menyelimuti hatinya. Bulir keringat yang mengucur deras menandakan penantian lama Aisyah dalam menunggu operasi selesai.
Kesunyian di sekitar menambah rasa khawatir dalam dirinya. Disaat seperti ini, tanpa sengaja Aisyah melupakan janjinya dengan Fadel untuk tidak memikirkan kondisi sang suami secara berlebihan.
Dimana, saat ini benaknya telah di penuhi hal-hal negatif mengenai operasi yang tengah suaminya itu lakukan. Apakah operasinya berhasil? Apakah suaminya itu baik-baik saja? Bagaimana jika operasinya tidak berhasil? Pertanyaan itu berkali-kali terputar dalam kepala Aisyah.
"Fadel berhak bahagia dan salah satu cara agar dia mendapat kebahagiaan itu, adalah dengan terbebas dari rasa sakit yang selama ini dia pendam."
Kali ini pikiran Aisyah menari-nari teringat sebuah kalimat dari seseorang sebelum operasi sang suami di lakukan. Orang itu dengan ikhlas memberikan sebagian hatinya kepada Fadel.
Awalnya, Aisyah merasa ragu dan takut menerima permintaan orang tersebut untuk melakukan transplantasi hati tanpa sepengetahuan Fadel, namun setelah di yakinkan oleh sang pendonor, Aisyah pun menyetujuinya tanpa syarat tertulis maupun tersirat.
Aisyah mengangkat pandangan, menatap pintu ruang operasi yang masih tertutup rapat sejak dua jam lalu. Tak henti-henti bibirnya mengucap dzikir. Tubuhnya terus bergerak gelisah, seolah menahan kesabarannya untuk tidak mengetuk pintu ruangan itu karena perasaan cemas akan kondisi sang suami dan si pendonor.
"Astaghfirullah..."
Aisyah meraup kasar wajahnya ketika pikiran negatif mengenai kondisi Fadel kembali terlintas dalam benak. Menarik napas, Aisyah memejamkan mata sesaat mencoba mengendalikan pikiran buruknya.
"Aisyah!"
Di tengah kegelisahannya, suara familiar seseorang mengalihkan atensi Aisyah. Dia menoleh dan melihat Ibu mertuanya dan Kakak iparnya mendekat dengan tergesa-gesa.
Aisyah reflek berdiri dan saat itu juga sebuah pelukkan dari Mama Sarah dia dapatkan. Keduanya berpelukkan dengan erat, saling menguatkan di situasi menegangkan itu.
"Sabar, ya. Jangan lupa untuk mendoakan kelancaran operasinya," ucap Mama Sarah setelah melepaskan pelukkannya.
Tak ada senyuman hangat dan tatapan teduh seperti biasanya, kali ini Aisyah menatap Mama Sarah dengan sorot khawatir dan ketakutan yang terlukis jelas di wajahnya. Dia menggenggam kuat tangan Mama Sarah, mencari ketenangan.
"Jangan khawatir, sayang. Kamu harus yakin Fadel akan sembuh."
"Aisyah takut, Ma."
Senyuman terukir di bibir Mama Sarah, lalu membawa Aisyah kembali duduk di kursi tunggu. Tidak ada sepatah kata pun yang keluar, Mama Sarah memilih diam karena dirinya pun merasakan apa yang sang menantu rasakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fadel & Aisyah (our destiny) - ON GOING
General FictionHarap bijak dalam membaca❤️🔥 ⚠️Follow dulu sebelum membaca⚠️ Nour Aisyah Adzkiya, wanita sholehah berusia 26 tahun yang berprofesi sebagai dosen ini terpaksa menerima perjodohan dari orangtua angkatnya untuk menikah dengan anak mereka yang 4 tahun...