Keesokan paginya, Evan duduk di tepi tempat tidur, merenung tentang kejadian semalam. Pelukan dan tangis yang pecah di pundak Ellena terus berputar di kepalanya. Evan bingung sendiri, tak tahu bagaimana harus menghadapi Ellena nanti. Semua terasa begitu rumit, dan ia merasa belum siap untuk berhadapan dengan gadis itu.
Tiba-tiba, suara bel rumah berbunyi. Evan mengerang pelan, merasa enggan untuk membuka pintu. Pikirannya langsung terbayang, bahwa Ellena yang datang. Ia tak merasa siap untuk percakapan apapun. Tapi bel itu terus berbunyi, berulang kali, tak memberinya pilihan selain berdiri dan melangkah keluar.
Dengan berat hati, ia membuka pintu, dan betapa leganya ketika yang berdiri di depan pintu ternyata Daniel, bukan Ellena. Nafas Evan terasa lebih ringan. "Eh Niel, udah pulang aja lo"
"Iya, males gue lama-lama sama keluarga, ditanyain kapan nikah mulu, capek gue" curhat Daniel, lalu langsung menjatuhkan dirinya diatas sofa ruang tamu. "Tumben si Ellena batang hidungnya gak kelihatan"
Mendengar perkataan Daniel, Evan mengeluarkan gerak-gerik yang aneh, terlihat gugup. "Gak tau" sahutnya, lalu masuk kembali kedalam kamarnya.
Didalam kamarnya, Evan meruntuki dirinya sendiri. Kenapa ia harus takut menghadapinya? Dan, kenapa perasaan canggung sangat mengganggunya saat ini.
Evan keluar dari dalam kamarnya, menghampiri Daniel di ruang tamu. Ia begitu terkejut melihat Ellena, sudah duduk disofa bersama Daniel.
"Hai Kak Evano" sapa Ellena, terlihat kaku.
"Oh"
Evan ikut duduk bersama mereka, badannya rasanya menegang sekarang.
Daniel melihati Evan dan Ellena yang tampak aneh, seperti ada kecanggungan diantara mereka. "Kalian kenapa sih?"
"Kenapa Kak? Padahal kayaknya gak papa deh, iya kan Kak Evano?"
"I.. iya"
Daniel pun memutuskan untuk masuk kedalam kamar. Saat baru melangkah, Evan menahan tangannya. "Mau kemana Niel?"
"Kamar"
"Kenapa gak disini aja" saran Evan, membuat Daniel semakin heran.
"Gue capek" Daniel pun masuk kedalam kamarnya, meninggalkan Evan dan Ellena yang kini berada dalam suasana canggung.
Hening sejenak, hingga akhirnya Ellena, mencoba memecah kebekuan, meminta izin untuk menyalakan tv. "Aku boleh nyalain tvnya Kak?" tanyanya pelan.
Evan mengangguk tanpa banyak bicara. Suara TV mulai mengisi keheningan ruangan, namun meski tampak menonton, jelas pikiran keduanya tidak sepenuhnya terfokus pada apa yang ada di layar. Evan masih memikirkan kejadian semalam, pelukan, tangisan, dan semua emosi yang tumpah.
Di sisi lain, Ellena tampak tenang, namun tatapannya mengisyaratkan bahwa ada banyak hal yang ingin ia katakan, namun ia memilih menahan diri.
Mereka duduk bersebelahan, namun rasa canggung itu terasa begitu nyata, seakan ada sesuatu yang belum terselesaikan di antara mereka.
Tiba-tiba Ellena tertawa, "Fizi cengeng banget ya Kak" katanya, meledek.
Evan menelan ludah mendengar perkataan Ellena, walaupun ledekan Ellena ditujuan untuk kartun yang ia tonton, tapi kenapa ia merasa tersindir.
"Tapi, gak semua cowok nangis karena cengeng kok, kan cowok juga manusia" cetus Ellena, membuat mereka kini benar-benar tenggelam dalam kecanggungan yang dalam.
"Ellena" panggil Evan, pelan. "Kamu bisa kan, jangan bahas itu lagi?"
"Iya, tenang aja, bisa kok Kak"
KAMU SEDANG MEMBACA
MEET FIRST LOVE
Teen Fiction"Kak" "Saya suka sama Kakak" "Nama saya Ellena, jangan lupain saya ya! ELLENA" Apa jika kalian bertemu cinta pertama kalian, setelah menunggu bertahun-tahun, juga akan melakukan hal yang sama seperti Ellena? Yuk langsung aja baca ceritanya👆🏻👇🏻 ...