10. HARI YANG BERAT

3 3 0
                                    

Ellena memasuki gerbang sekolah dengan langkah penuh semangat. Hari ini suasana hatinya benar-benar bagus, mungkin karena percakapannya dengan Evan kemarin di taman.

Sesekali ia tersenyum sendiri, membayangkan kenangan manis itu. Namun, begitu ia memasuki kelas, sebelum sempat duduk, salah satu teman sekelasnya menghampirinya.

"El, lo disuruh ke ruang guru, nemuin Bu Arin" kata temannya.

Mendengar itu, senyum di wajah Ellena perlahan memudar. Ada sesuatu yang aneh, dan tiba-tiba perasaan tidak enak muncul di hatinya. Meski tak tahu alasan pastinya, firasat buruk mulai menyelimuti pikirannya.

Dengan sedikit gugup, Ellena mengangguk dan meletakkan tasnya di kursi. "Oke, makasih Nes" jawabnya pelan.

Sambil melangkah keluar kelas, ia mencoba menenangkan dirinya, berharap apa pun yang terjadi tidak seburuk yang ia pikirkan.

Ellena mengetuk pintu ruang guru sebelum memasukinya, ia perlahan membuka pintu lalu berjalan menghampiri wali kelasnya yang mejanya, terletak paling pojok.

"Pagi Bu" sapa Ellena, mencoba mengusir rasa cemasnya.

"Iya, kamu duduk dulu aja"

Ellena menarik kursi yang ada disamping Bu Arin, saat ia duduk entah kenapa perasaaan semakin tidak enak.

"Kamu tahu kenapa saya panggil kesini?" tanya Bu Arin, Ellena menggeleng tak tahu.

"Jadi gini, Ibu kan juga udah ngasih tahu kamu berkali-kali kalau orang tua atau wali kamu harus datang kan, tapi sampai sekarang masih belum ada perwakilan dari keluarga kamu yang datang" Bu Arin menatap Ellena seraya menghela nafasnya. "Ibu sudah telpon Mama kamu berkali-kali tapi masin belum ada jawaban, kalau kamu mau jujur bilang sama Ibu, sebenarnya ada apa? Apa kamu punya masalah?"

Ellena terdiam, kepalanya menuduk, entah apa yang harus ia katakan. "Enggak Bu, nanti saya coba bilang ke Mama saya aja" jawabnya seolah meyakinkan Bu Arin.

Setelah pertemuan dengan wali kelasnya, langkah Ellena terasa berat. Kepalanya penuh dengan pikiran yang bercampur aduk, membuatnya merasa lemas. Kata-kata yang baru saja ia dengar dari wali kelas terasa menjadi beban dipikirannya. Tanpa banyak bicara, ia berjalan keluar dari ruang guru dan menuju toilet, berharap bisa menenangkan diri.

Setibanya di dalam toilet, Ellena menghela napas panjang. Tangannya gemetar saat ia merogoh ponsel dari dalam sakunya. Dengan perasaan yang tak menentu, ia membuka kontak dan mencari nama Mamahnya.

Setelah beberapa detik ragu, ia menekan tombol panggil. Ponselnya didekatkan ke telinga, berharap mendengar suara yang menenangkan dari seberang sana. Namun, setiap detik terasa begitu lambat. Ellena menunggu, tak lama kemudian suara diujung telpon terdengar.

"Halo Mah"

"Kamu kenapa sih nelpon-nelpon, udah dibilangin kan jangan manja, biasanya kan kamu juga ngelakuin semuanya sendiri. Saya disini lagi sibuk, gak usah telpon saya lagi!"

Tut-

Begitu menyakitkan mendengar kata-kata seperti ini diucapkan oleh Mamahnya sendiri. Walaupun Ellena sudah sering mendengarnya, tapi kini hatinya masih terasa sakitnya. Kini ia tak sanggup menahan air matanya lagi, sehingga Ellena menutup mulutnya dengan kedua tangannya agar suara tangisannya tidak terdengar dari luar.

~

Ellena berjalan pulang dengan langkah gontai, masih terpengaruh oleh perasaan berat yang melingkupinya sejak mendengar perkataan Mamahnya. Setelah perjalanan panjang yang terasa lebih melelahkan dari biasanya, ia tiba di depan rumahnya.

Saat hendak membuka gerbang, tiba-tiba terdengar suara memanggil namanya. "Ellena!"

Ellena menoleh dan melihat Rena berjalan menghampirinya. Gadis itu tampak rapi seperti biasa, namun wajahnya menyiratkan sesuatu yang serius. Ellena menghela napas, merasa semakin tidak siap untuk berhadapan dengan siapa pun saat ini. Ia berhenti membuka gerbang dan menunggu Rena mendekat.

MEET FIRST LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang