22. KESEDIHAN ELLENA

1 1 0
                                    

Setelah pulang dari rumah Evan, Ellena terkejut sekaligus senang melihat mobil Mamahnya terparkir di depan rumah.

Rasa rindu yang mendalam segera menggantikan kelelahan hari itu. Dengan cepat, ia berlari masuk ke dalam rumah, bersemangat untuk menemui Mamahnya.

Di ruang tamu, Ellena melihat Mamahnya sedang duduk di sofa dengan ekspresi yang sulit dibaca. Suasana di dalam ruangan terasa tegang, membuat jantung Ellena berdegup kencang. "Mamah!" panggilnya, sambil menghampiri dengan penuh antusiasme. Namun, saat ia mendekat, ada sesuatu yang aneh dalam tatapan Mamahnya.

"Dari mana?"

"Dari tetangga rumah depan Mah. Mamah tau gak sih jadi selama Mamah pergi, El gak kesepian lagi, ada mereka. Tapi, El tetep kangen Mamah sih" cerita El penuh antusias.

Sedangkan Veronica, terdiam tidak mengeluarkan ekspresi apapun. "Mamah gak papa?" tanya Ellena, merasa aneh dengan Mamahnya.

"Kamu lanjut fakultas kedokteran, iya?" entah kenapa pertanyaannya terdengar mengintimidasi.

"Iya Mah"

"Sejak kapan kamu pengen jadi dokter?"

"Waktu Papah dirawat dirumah sakit, Papah pernah bilang kalo El pasti pantes buat jadi dokter, jadi El turutin permintaannya Papah" jelas Ellena, ada ketakutan suaranya.

Mata Veronica memerah, tangannya meraih vas dimeja, lalu membantingnya ke lantai.

Ellena begitu kaget, ia sampai ketakutan, hingga air matanya perlahan menetes. "Mah" lirihnya pelan, sambil berlutut dihadapan Mamahnya.

"Gak usah panggil saya Mamah lagi!" bentak Veronica, begitu menggema diruangan itu.

Ellena menggeleng, air mata terus mengalir deras dikedua pipinya. "Mah... ada apa Mah?"

Veronica menyampar tangan Ellena, yang baru memegang tangannya. "Kamu mau tau kebenarannya?" sorot matanya begitu penuh amarah.

"Kamu bukan anak saya"

Dunia seakan berhenti sejenak. Kata-kata itu meluncur dengan begitu tajam, menusuk hati Ellena. Seketika, tubuhnya terasa membeku, jantungnya berdebar kencang, dan pikirannya kosong. "Apa?" bisiknya, hampir tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.

Ellena menggelengkan kepalanya, mencoba menyangkal apa yang baru saja didengarnya. "Gak, Mah... Gak mungkin kan?..." Suaranya gemetar, seakan-akan dengan mengucapkan kata-kata itu, ia bisa menghapus kebenaran yang diungkapkan Mamahnya.

Namun, rasa sakit dan kebingungan yang melanda begitu besar, dan air mata mulai mengalir tanpa bisa ia hentikan. Tangisannya pecah, tubuhnya bergetar, dan ia tak lagi bisa menahan perasaan yang membanjiri dirinya.

"Mamah kenapa bilang kayak gitu?..." isaknya, diantara tangisan yang semakin keras.

Veronica tiba-tiba mencengkeram lengan Ellena dengan keras, mengguncang tubuh gadis itu dengan emosi yang meluap-luap. "Terima aja kenyataan ini!" suaranya meninggi, penuh dengan amarah dan kepedihan yang sudah lama terpendam. Ellena hanya bisa terisak, tubuhnya terguncang seiring dengan cengkeraman keras dari Mamahnya.

Veronica melanjutkan, kata-katanya terasa seperti pisau yang semakin dalam menusuk hati Ellena. "Kamu mau tau alasan saya selama ini benci sama kamu?" Veronica terdiam sejenak, menarik napas dalam-dalam sebelum mengeluarkan kata-kata yang selama ini disembunyikannya. "Kamu itu, anak dari wanita yang udah ngehancurin rumah tangga saya"

Kata-kata itu membuat Ellena terdiam. Tubuhnya seakan lumpuh oleh rasa sakit yang tak terbayangkan. Tangisnya berubah menjadi isakan terputus-putus, matanya menatap Mamahnya dengan tatapan kosong, tak percaya dengan kenyataan pahit yang baru saja diungkapkan. Ia merasa seperti ditusuk berkali-kali, setiap kata dari Mamahnya menyakitinya lebih dalam.

MEET FIRST LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang