01

105 12 0
                                    

Suara sepatu hak Wonyoung bergema di lorong pengadilan yang panjang dan dingin. Dengan langkah mantap, ia berjalan menuju ruang sidang, di mana ia akan menangani kasus besar hari ini. Pikirannya fokus pada argumen-argumen yang telah ia siapkan semalaman. Sebagai pengacara yang disegani, Wonyoung tahu betul bahwa setiap kasus adalah kesempatan untuk memperkuat reputasinya. Di usianya yang ke-28, ia sudah menjadi salah satu pengacara muda paling sukses di kota, dengan klien-klien dari perusahaan besar yang mempercayakan masalah mereka kepadanya.

Namun, begitu ia melangkah masuk ke dalam ruang sidang, matanya menangkap sosok yang tidak asing di meja jaksa. Sunghoon.

Sunghoon Park, jaksa yang terkenal keras kepala dan penuh integritas. Usianya sudah 31, namun dia tetap terlihat muda dan karismatik, dengan postur tubuh yang tegap dan sikap yang tenang. Mereka telah beberapa kali berhadapan di ruang sidang, dan setiap kali itu terjadi, rasanya seperti pertarungan yang tak pernah berakhir. Sunghoon selalu penuh dengan idealisme, sementara Wonyoung cenderung lebih pragmatis dalam menangani kasus-kasusnya. Keduanya sering berbeda pandangan, dan ketegangan di antara mereka selalu terlihat jelas, meskipun di balik itu semua, ada ketertarikan yang tak pernah mereka akui.

"Pengacara Jang," Sunghoon menyapanya dengan anggukan kecil, suaranya formal namun tetap berwibawa.

"Jaksa Park," balas Wonyoung singkat, sambil duduk di kursinya. Ia meletakkan berkas-berkas di meja dengan ketenangan yang terlatih, tapi hatinya sedikit berdebar. Tidak ada yang suka harus berhadapan dengan Sunghoon—setidaknya, tidak di ruang sidang. Pertarungan antara mereka selalu menantang, seperti catur yang dimainkan dengan strategi yang ketat dan tanpa ruang untuk kesalahan.
.
.

Wonyoung menutup pintu kantornya dengan cepat, melepaskan blazer hitamnya, lalu melemparkannya ke kursi. Hari ini melelahkan. Sidang yang baru saja ia jalani begitu menguras tenaga, terutama karena lawannya di ruang sidang tak lain adalah Sunghoon Park, jaksa terkenal yang kerap berseteru dengannya. Sunghoon, dengan segala kesempurnaannya yang menjengkelkan, selalu berhasil membuat argumennya terasa kurang tajam. Dan yang lebih buruk lagi, ia akan bertemu dengannya malam ini.

Makan malam bersama keluarga Park. Ia tidak pernah suka acara seperti itu, tapi kali ini ada sesuatu yang membuatnya jauh lebih cemas. Kecemasan yang membuatnya merasa seperti ada badai yang akan datang.

Sementara itu, di kantor kejaksaan, Sunghoon menyandarkan tubuhnya di kursi, menyaksikan layar komputer yang menampilkan berkas-berkas kasus. Pikirannya terganggu. Bukan oleh pekerjaan, tapi oleh ajakan makan malam orang tuanya. Mereka sudah berulang kali menyuruhnya untuk menghadiri makan malam bersama keluarga Wonyoung. Meskipun keluarganya dan keluarga Wonyoung sudah lama bersahabat, Sunghoon tidak pernah mengerti mengapa makan malam ini terasa penting bagi mereka.

Namun, setelah mendengar percakapan ibunya kemarin, dia mulai memahami sesuatu. Ada niat tersembunyi di balik makan malam ini, dan dia sama sekali tidak menyukainya.

Malam tiba. Wonyoung mengenakan gaun sederhana, berusaha tidak terlihat terlalu formal. Sunghoon, di sisi lain, datang dengan pakaian kasual, yang menunjukkan bahwa dia sama sekali tidak tertarik dengan pertemuan ini. Mereka berdua tiba hampir bersamaan di restoran. Saat bertemu di depan pintu, keduanya hanya saling mengangguk singkat, tanpa kata-kata.

Begitu mereka duduk, suasana makan malam dimulai dengan percakapan ringan dari orang tua mereka. Cerita tentang masa kecil, tawa tentang kenangan lama, dan pembicaraan tentang perkembangan karier Sunghoon dan Wonyoung. Keduanya duduk dengan tenang, berusaha terlihat sopan sambil diam-diam berharap makan malam ini segera berakhir.

Namun, suasana berubah ketika ayah Sunghoon meletakkan gelasnya dan berkata dengan nada serius, "Sebenarnya, kami ingin membicarakan sesuatu yang penting dengan kalian berdua."

Sunghoon dan Wonyoung langsung saling melirik, merasakan ketegangan yang tiba-tiba muncul.

"Kalian berdua sudah dewasa sekarang. Karier kalian sukses, tapi kami khawatir dengan kehidupan pribadi kalian," lanjut ibu Wonyoung dengan nada lembut namun tegas. "Kami tahu kalian fokus pada pekerjaan, tapi kami pikir sudah saatnya kalian memikirkan tentang menikah."

Sunghoon mengernyit. "Maksudnya,tan?"

"Kami... berpikir bahwa kalian berdua adalah pasangan yang cocok. Kalian sudah saling mengenal sejak kecil, keluarga kita sangat dekat, dan kami yakin pernikahan kalian akan menjadi hal yang baik untuk masa depan kalian."

Sejenak, suasana menjadi hening. Wonyoung menatap orang tuanya dengan tatapan terkejut, lalu beralih ke Sunghoon yang tampak sama bingungnya. Mereka memang kenal sejak kecil tetapi jika kalian membayangkan mereka adalah teman lama dari orok yang sangat akrab,penuh chemistry dan layaknya sahabat. Kalian salah. Sunghoon dan wonyoung tak pernah berteman sekalipun dulu rumah mereka bersebelahan. Mereka ibaratnya dua manusia yang tinggal berdampingan namun tak pernah bersinggungan. Karena sedari kecil sunghoon sibuk dengan dunianya yang sunyi,tak punya banyak teman. Laki-laki itu hanya bergaul dengan dua orang anak laki-laki di ujung komplek. Sedangkan wonyoung adalah gadis yang suka bersosialisasi. Hampir seluruh anak di komplek itu temannya. Dunia sunghoon ditemani oleh kegiatan sunyi seperti melukir, melakukan hobinya ice skating,bermain video game bersama Jake dan Jay. Sedangkan wonyoung dari kecil gadis itu sudah ikut banyak sekali kegiatan seperti kelas memasak,bermain musik,les berenang,privat bahasa inggris,spanyol,jepang dll. Mereka hanya bertemu ketika keluarga mereka mengadakan acara makan malam atau acara ulang tahun. Dan itu kebanyakan sunghoon selalu menolak datang. Jadi bagaimana bisa sekarang orang tuanya melihat ada chemistry di antara mereka?

"Apa kalian bercanda?" suara Wonyoung terdengar dingin.

"Ini tidak masuk akal," tambah Sunghoon cepat, jelas menunjukkan ketidaksenangannya. "Kami ini bukan anak kecil yang bisa dijodohkan semaunya. Kami sudah dewasa dan bis menentukan arah hidup kami sendiri."

Ibu Sunghoon tersenyum kecil, seolah menganggap reaksi mereka sebagai hal yang lucu. "Kami hanya ingin yang terbaik untuk kalian. Kalian berdua lajang, dan kami tahu betapa sibuknya kalian. Kalian mungkin tak punya waktu untuk mencari pasangan, tapi kami percaya kalian akan cocok satu sama lain."

"Ini konyol," kata Wonyoung dengan tegas. "Aku seorang pengacara, Sunghoon jaksa. Kami bekerja dalam lingkungan yang sama, tapi itu tidak berarti kami cocok untuk menikah. Hari ini saja kami nyaris baju hantam karena kasus."

Sunghoon mengangguk setuju. "Kami bahkan hampir tidak sepakat dalam kasus-kasus yang kami tangani, apalagi dalam hidup bersama."

Orang tua mereka tetap tersenyum, seperti sudah mempersiapkan argumen itu. "Justru itu menarik," kata ayah Wonyoung. "Hubungan yang dibangun dari perbedaan bisa lebih kuat, karena kalian saling melengkapi."

"Tidak, kami tidak akan melakukannya," Sunghoon menolak mentah-mentah. "Aku tidak percaya pada perjodohan, terutama di usia seperti ini."

Wonyoung pun mengangguk dengan mantap. "Maaf, tapi ini bukan abad ke-19. Kami bisa memutuskan sendiri siapa yang akan kami nikahi."

Namun, orang tua mereka tidak tampak goyah. Mereka tampak yakin bahwa waktu akan membuktikan bahwa keputusan mereka benar. Sunghoon dan Wonyoung, yang awalnya merasa sedikit ragu, kini merasa makin marah dan frustasi. Makan malam itu berubah menjadi ajang pertarungan, bukan hanya melawan orang tua mereka, tetapi juga terhadap ide konyol yang mereka pikirkan.

Setelah makan malam yang canggung, Wonyoung dan Sunghoon keluar dari restoran bersama. Mereka berjalan menuju tempat parkir, diam dalam beberapa menit sebelum akhirnya Wonyoung berhenti dan menatap Sunghoon.

"Aku tidak percaya ini terjadi," gumamnya, masih kesal.

Sunghoon tertawa kecil, meskipun nadanya sarkastis. "Kamu nggak pernah jadi istri aku sekalipun cuman kamu satu-satunya perempuan tersisa di dunia ini"

Wonyoung menatap sunghoon tak percaya.Wajahnya merah padam karena amarah yang sudah ia pendam selama di ruang makan.  "Maksudmu? Kamu pikir aku mau nikah sama kamu? Sampai kiamat pun aku ngga bakal nikah sama laki-laki kayak kamu."

Sunghoon menatap wonyoung marah,"laki-laki kayak gimana maksud kamu?"

Wonyoung mengangkat bahu. "Ngaca makanya." Jawabnya tajam. Perempuan itu berlalu di balik pintu restoran,menyisakan rasa kesal hingga laki-laki itu nyaris mengumpang menatap.kepergian wonyoung.

Bound by dutyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang