Wonyoung duduk di sofa apartemennya, dikelilingi oleh keheningan yang hanya diselingi oleh suara detak jam di dinding. Jendela apartemen terbuka sedikit, membiarkan angin malam yang sejuk masuk dan menyapu lembut wajahnya yang masih basah oleh air mata. Sunghoon duduk di sampingnya, tangannya menggenggam cangkir teh hangat yang telah mereka buat bersama, tetapi fokusnya sepenuhnya tertuju pada Wonyoung.
Suasana di dalam ruangan terasa sedikit hening, seolah waktu berhenti dan hanya ada mereka berdua di dunia ini. Aroma teh yang harum mengisi udara, berpadu dengan wangi lembut dari lilin yang menyala di meja. Wonyoung menatap ke luar jendela, berusaha menenangkan pikirannya, tetapi bayangan kejadian di klub masih menghantuinya.
“Wonyoung...” suara Sunghoon memecah keheningan, lembut namun tegas. “setelah ini istirahatlah.”
Wonyoung berbalik, menatap mata Sunghoon yang dalam, penuh perhatian dan kekhawatiran. Ada kehangatan di dalam tatapan itu yang membuat hatinya bergetar. Ia mengangguk pelan, tetapi dia tahu bahwa Sunghoon bisa melihat melalui senyum lemah yang ia berikan.
“Lupakan semua kejadian buruk yang terjadi hari ini.” Sunghoon berujar lagi, suaranya sekarang lebih pelan, seolah ia takut membangkitkan rasa sakit yang masih tersisa di hati Wonyoung.
“Aku... takut aku tidak bisa melupakannya," Suaranya bergetar. Dia menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan air mata yang siap tumpah kembali. “Aku merasa terjebak dan tidak bisa bergerak....lalu dia," suaranya tercekat. Napas wonyoung kembali turun naik ketika mengingat kejadian itu. Ia tak menyangka Taesan begitu tega padanya. Padahal mereka teman yang cukup dekar. Setidaknya itu yang ia pikirkan tentang Taesan.
Sunghoon mendekat, memperhatikan setiap ekspresi di wajah Wonyoung. Ketakutan,rasa lelah, rasa kecewa dan kemarahan.
“Apa yang bisa aku lakukan agar kamu merasa lebih baik, wonyoung?” tanyanya sambil mengulurkan tangan untuk menghapus air mata yang mengalir di pipi Wonyoung dengan jari-jarinya yang lembut.
Wonyoung merasa seolah jantungnya berdegup lebih cepat, merasakan sentuhan hangat Sunghoon yang menyentuh kulitnya. Ketika jari-jarinya menyentuh wajahnya, ada semacam keajaiban yang membuat semua rasa takut dan cemas perlahan-lahan memudar. Dalam tatapan Sunghoon, ia merasakan ketulusan dan rasa nyaman yang mendalam, seolah Sunghoon adalah pelindungnya yang sejati.
“Sunghoon...” Wonyoung memanggil nama itu, suaranya semakin lembut. Dalam momen itu, ia merasa semua beban di hatinya perlahan menghilang. “Terima kasih sudah ada di sini.”
“Aku akan selalu ada, kapanpun dan dalam keadaan apapun,” jawab Sunghoon, lalu ia menunduk, merasakan getaran yang mengalir di antara mereka.
Mata Wonyoung bertemu dengan manik Sunghoon, dan dalam sekejap, dunia di sekitar mereka terasa lenyap. Semua yang terjadi di malam yang penuh kesedihan itu seolah terhapus dari ingatan mereka. Hanya ada rasa aman yang melingkupi mereka berdua.
Wonyoung, dalam keheningan yang penuh emosi itu, merasakan dorongan yang tak terduga untuk lebih dekat lagi. Ia bergerak sedikit, mendekatkan wajahnya ke wajah Sunghoon. Ketika bibir mereka hampir bersentuhan, ada ketegangan yang terasa begitu nyata. Sunghoon, menyadari apa yang akan terjadi, menahan napasnya, sementara Wonyoung menggigit bibir bawahnya, ragu tetapi ingin.
“Wonyoung, aku—aku tidak mau melakukan ini hanya karena suasananya mendukung,” Sunghoon mulai berbicara, tetapi suara mereka tenggelam dalam keheningan.
"I want you, sunghoon. Hapus semua kenangan buruk itu dengan sentuhanmu." Lirihnyam Tanpa berpikir panjang, Wonyoung menutup jarak di antara mereka dan menciumnya
Ciuman itu lembut pada awalnya, seperti embun pagi yang menyentuh dedaunan. Wonyoung merasakan denyut jantung Sunghoon yang berdegup kencang di bawah sentuhan lembutnya. Ia tidak tahu dari mana keberanian itu muncul, tetapi saat bibir mereka bersatu, segalanya terasa tepat. Seluruh dunia seolah bergetar, dan semua rasa sakit yang dialaminya terhapus dengan momen itu.
Sunghoon, terkejut sejenak, kemudian membalas ciuman itu dengan penuh gairah. Tangan Sunghoon meraih pinggang Wonyoung, menariknya lebih dekat, seolah ia ingin melindunginya dari semua hal buruk di dunia ini. Ciuman mereka semakin dalam, seolah waktu berhenti, dan tidak ada yang lebih penting selain satu sama lain.
Wonyoung merasa hangat menyelimuti seluruh tubuhnya. Semua ketakutannya menghilang, tergantikan oleh rasa nyaman yang hanya bisa diberikan oleh Sunghoon. Ia merasakan sesuatu yang mungkin bisa ia katakan sebagai rasa cinta mengalir di antara mereka, begitu kuat dan nyata. Mereka tidak hanya berbagi ciuman, tetapi juga berbagi rasa saling melindungi, saling memahami, dan saling mendukung.
Saat mereka terpisah, napas mereka tersengal-sengal, wajah keduanya bersemu merah. Sunghoon menatap Wonyoung dengan penuh ketulusan, seolah ia ingin mengatakan sesuatu yang lebih dari sekadar kata-kata. “Kamu tahu, aku sudah lama menunggu momen ini,” ungkap Sunghoon, suaranya penuh rasa syukur.
Wonyoung tersenyum, hatinya berdebar-debar.
“Tapi sekarang kita bisa memulai lagi. Tanpa rasa takut, tanpa bayang-bayang masa lalu,” Sunghoon berkata, menjulurkan tangannya untuk meraih tangan Wonyoung. “Aku akan selalu ada di sini, Won. Dalam keadaan apapun.”
Wonyoung merasakan ketulusan dalam setiap kata yang diucapkan Sunghoon. Ia tahu bahwa Sunghoon bukan hanya sekadar teman atau pelindung, tetapi seseorang yang benar-benar peduli padanya. Dan saat itu, ia menyadari betapa dalamnya perasaannya terhadap Sunghoon.
Mereka saling bertatapan, merasakan keintiman yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Wonyoung akhirnya berani mendekatkan wajahnya lagi, kali ini lebih percaya diri. Ia merasakan kehangatan yang mengalir di dalam dirinya. Perlahan, ia mencium Sunghoon sekali lagi, kali ini dengan lebih dalam, seolah ingin menyampaikan semua perasaannya.
Sunghoon membalas ciuman itu dengan penuh gairah, tangan kirinya mengelus lembut pipi Wonyoung, sementara tangan kanannya merangkul lehernya. Ciuman mereka kini lebih berani, menyalurkan semua emosi yang terpendam dalam diri mereka. Dalam setiap tarikan napas, mereka merasakan kedekatan yang semakin dalam, seolah dunia luar sudah tidak ada lagi.
Wonyoung merasakan kehangatan tubuh Sunghoon yang menyelimuti dirinya, dan untuk pertama kalinya setelah malam yang menyakitkan itu, ia merasa aman dan dicintai. Semua rasa takut dan kesedihan yang menyertainya perlahan-lahan memudar, tergantikan oleh rasa cinta yang kuat.
Ketika mereka akhirnya terpisah, Wonyoung menatap mata Sunghoon dengan penuh rasa syukur. “Aku tidak ingin kehilangan momen ini, Sunghoon."
“ Kita akan melewati semuanya bersama-sama, mulai dari sini,” jawab Sunghoon dengan senyum hangat yang menghangatkan hati Wonyoung.
Wonyoung meraih tangan Sunghoon dan menggenggamnya erat, seolah ingin mengunci momen ini dalam ingatan mereka selamanya. Ia tahu bahwa perjalanan mereka tidak akan selalu mudah, tetapi dengan Sunghoon di sampingnya, ia merasa siap menghadapi apapun yang akan datang.
Malam itu, mereka berbagi cerita, tawa, dan bahkan beberapa air mata, tetapi lebih dari itu, mereka menemukan kenyamanan dalam satu sama lain. Di dalam kehangatan apartemen, dengan lilin yang menyala lembut dan aroma teh yang masih tercium, mereka merasakan cinta yang tumbuh semakin kuat.
Saat waktu berlalu, Wonyoung dan Sunghoon tahu bahwa mereka telah menciptakan ikatan yang lebih dalam dari sebelumnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Bound by duty
RomansaAku nggak bakal nikah sama kamu, sekalipun tinggal kamu satu-satunya perempuan di bumi. _Park Sunghoon Sampai kiamat pun aku nggak bakal nikah sama kamu _Jang Wonyoung