Malam itu, setelah serangkaian ritual pernikahan yang dipenuhi ketegangan dan keheningan, Wonyoung dan Sunghoon memasuki kamar hotel tempat mereka akan menghabiskan malam pertama sebagai pasangan suami istri. Begitu pintu tertutup, suasana yang sebelumnya dipenuhi sorak-sorai dan tepuk tangan berangsur-angsur sirna, digantikan oleh keheningan yang menggetarkan.
Kamar itu mewah, dihiasi dengan lampu-lampu lembut yang memancarkan cahaya hangat, menciptakan suasana yang kontras dengan perasaan canggung di antara mereka. Wonyoung menatap sekeliling, mencoba mencerna semua detail yang ada—dari lukisan indah di dinding hingga bunga-bunga segar yang menghiasi meja. Namun, segala keindahan itu seakan tidak bisa menjangkau hatinya yang berisi kesedihan.
“Sunghoon…” Wonyoung memecah keheningan dengan suaranya yang lembut namun bergetar. Ia merasa beban yang tak tertahankan menggelayuti hatinya. “Aku minta maaf.”
Sunghoon berdiri beberapa langkah di depan Wonyoung, menatap ke arah jendela yang terbuka, melihat pemandangan kota yang berkilauan. Tangannya terlipat di dada, dan sejenak ia terdiam. “Tak perlu minta maaf,” jawabnya singkat, suaranya datar dan tidak bersemangat. Kata-kata itu terasa lebih seperti pengakuan akan kenyataan pahit daripada bentuk empati. Keheningan kembali menyelimuti mereka.
Wonyoung merasakan getaran aneh di dalam dadanya, seolah kata-kata minta maaf yang diucapkannya tidak cukup untuk meredakan rasa bersalah yang menghantuinya. Ia melangkah lebih dekat, mencoba mencari sorot mata Sunghoon, berharap untuk melihat sesuatu yang lebih dari sekadar sikap dingin yang ia tunjukkan. Namun, mata Sunghoon tetap tertuju pada luar jendela, seperti ada dunia yang lebih luas di sana yang ingin ia jangkau, jauh dari situasi yang menyesakkan ini.
“Sunghoon, aku—” Wonyoung terhenti, kata-katanya terjebak di tenggorokannya. Dalam momen itu, semua kata-kata yang ingin ia ucapkan terasa tidak ada artinya. Ia merasa seperti terjebak dalam rutinitas tanpa akhir, dan setiap detak jantungnya mengingatkannya pada rasa sakit yang tak kunjung hilang.
Sunghoon akhirnya menoleh, wajahnya menampakkan kepenatan yang dalam. “Kita sudah menikah,” ujarnya datar. “Itu saja.”
Kata-katanya menyayat hati Wonyoung. Ia bisa merasakan dinginnya jarak yang semakin membentang antara mereka. Mengapa segalanya terasa begitu sulit? Mengapa mereka tidak bisa merasakan sedikit saja kebahagiaan di tengah semua ini?
“Seharusnya kita tidak seperti ini,” Wonyoung berusaha menegaskan, suaranya mulai bergetar. “Aku tidak ingin… aku tidak ingin kamu berada di posisi ini, Sunghoon. Ini semua karena aku, dan—”
“Aku mengerti,” potong Sunghoon, suaranya tenang, tapi nada itu malah menambah tekanan di dada Wonyoung. “Kita sudah sepakat. Ini adalah yang terbaik untuk keluarga kita.”
“Aku tidak ingin menjalani pernikahan ini begitupun kamu,” Wonyoung merasa putus asa, seolah ia sedang berjuang melawan arus yang tak bisa ia atasi. “Aku tidak ingin menikah tanpa cinta.”
“Aku juga tidak ingin,” Sunghoon menjawab, matanya kini berapi-api, meski masih tertegun. “Tapi kita tidak punya pilihan lain. Kita tidak bisa mengubah apa yang sudah terjadi.”
Wonyoung menunduk, merasa air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Ia ingin menjadi kuat, tetapi semua harapan dan impian yang pernah ia miliki tampak sirna dalam sekejap. Ia ingat semua momen indah yang ia bayangkan untuk hari pernikahannya, dan bagaimana kenyataan ini jauh dari harapannya.
Sunghoon mendekat, meskipun langkahnya terasa berat. “Aku tidak bermaksud menyakiti perasaanmu,” katanya, nadanya kini lebih lembut. “Ini sulit untukku juga. Kita sama-sama berada di posisi yang tidak mudah.”
“Apa setelah ayahku sembuh kita bisa bercerai?” Wonyoung mengusulkan, meskipun suaranya mulai terdengar putus asa. “Mencoba memahami satu sama lain,menikah seperti ini rasanya sangat tidak mungkin…aku tidak bisa hidup di dunia yang seperti ini.”
“Wonyoung…” Sunghoon menghela napas, "Baiklah,satu tahun, cukup satu tahun lalu setelah itu kita bercerai. Pernikahan ini hanya formalitas,anggap saja kita sebagai rekan kerja yang harus tinggal satu atap.”
Wonyoung menatap Sunghoon, merasa lega ternyata mereka satu pemikiran.
"Terima kasih,mungkin jika kamu perlu beberapa hal yang ingin di katakan atau syarat yang harus di penuhi dalam kontrak kerja 1 tahun ini,silakan kirimkan ke email ku."
Mendengar itu, Sunghoon terdiam, seolah mempertimbangkan kata-kata Wonyoung. Wajahnya mulai melunak, dan ia perlahan mendekat.
"Kamu bisa mengingat dengan baik kan?" Tanyanya. Wonyoung mengangguk.
"Baiklah kalau gitu aku akan bilang secara langsung...,"Sunghoon menghela napas sebelum melanjutkan kalimatnya.
",syarat pertama kita sepakat pisah kamar. Kedua tidak saling mengusik urusan pribadi. Ketiga dibebaskan dalam bentuk apapun. Keempat tetap terlihat harmonis di depan kedua keluarga. Kelima....jangan pernah jatuh cinta."
"Baiklah,akan aku ingat."
Wonyoung merasa sedikit lega mendengar kesepakatan itu. Meskipun pernikahan ini terasa seperti penghalang, setidaknya mereka telah menetapkan batasan-batasan yang jelas. Namun, di dalam hati, ada keraguan yang terus menerus menggelayuti pikirannya. Apakah mungkin mereka bisa menjalani tahun ini tanpa merasakan sakit? Tanpa menciptakan ikatan yang lebih dalam daripada yang mereka inginkan?
“Jadi, kita sepakat?” Sunghoon bertanya, mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan sebagai tanda perjanjian.
Wonyoung menatap tangan itu, merasa ragu sejenak. Jabat tangan itu terasa seperti simbol perpisahan daripada persatuan, tetapi ia tahu ini adalah langkah yang perlu diambil. Ia mengulurkan tangannya, dan saat jari-jari mereka bersentuhan, ia merasakan gelombang yang tak terduga—ada semacam getaran yang membuatnya merinding. “Ya, kita sepakat.”
Sunghoon tersenyum, meskipun senyum itu tampak lemah. “Baiklah. Aku akan menghargai batasan-batasan ini.”
Wonyoung mengangguk, tetapi perasaannya masih campur aduk. “Kalau begitu, selamat malam, suami,” katanya dengan nada bercanda, berusaha mencairkan suasana.
“Selamat malam, istri,” jawab Sunghoon, tersenyum tipis.
Setelah itu, Sunghoon berbalik dan berjalan menuju pintu kamar mandi. Wonyoung tertegun, mengamati punggungnya yang menjauh. Apakah semua ini akan berjalan seperti yang mereka harapkan?
Malam itu, Wonyoung berbaring di tempat tidurnya, menatap langit-langit kamar yang mewah itu. Pikiran-pikiran tentang masa depan yang tak pasti terus berputar di benaknya. Ia mengambil ponsel dan menulis pesan untuk Rei,sahabatnya yang selalu bisa memberinya dukungan.
'Rei, aku kira semuanya mungkin bisa berjalan dengan baik.'
Setelah mengirimkan pesan itu, Wonyoung merasa sedikit lebih baik. Ia tidak sendirian dalam semua ini, dan setidaknya ia memiliki teman yang bisa mendengarkan keluh kesahnya. Beberapa saat kemudian, ia menerima balasan dari Rei.
'Baguslah. Aku mencemaskanmu karena wajah kalian tampak sedang tidak baik selama acara.'
'Kami sepakat untuk membuat beberapa syarat selama setahun pernikahan kami.'
'hah? Setahun? Maksudnya gimana?!
'kami sepakat menikah selama setahun lalu bercerai.'

KAMU SEDANG MEMBACA
Bound by duty
RomanceAku nggak bakal nikah sama kamu, sekalipun tinggal kamu satu-satunya perempuan di bumi. _Park Sunghoon Sampai kiamat pun aku nggak bakal nikah sama kamu _Jang Wonyoung