20

42 8 2
                                    

...jika kita tidak benar-benar saling peduli, Sunghoon?"

Kata-kata Wonyoung meluncur begitu tajam, menembus dinding ketidakpedulian yang selama ini mereka bangun di antara satu sama lain. Sunghoon terdiam, tubuhnya kaku, lidahnya terasa kelu. Ia menyadari bahwa meskipun mereka hanya menikah di atas kertas, ada sesuatu yang ia inginkan dari hubungan mereka yang lebih dari sekadar formalitas. Ia menatap lama pintu yang tertutup itu.

"Mungkin aku peduli, Wonyoung... lebih dari yang kamu kira."

Sunghoon berdiri di tempatnya, hatinya terasa lebih berat dari sebelumnya. Ia tahu, apa pun yang terjadi di antara mereka, akan jauh lebih rumit dari yang selama ini ia bayangkan. Dan mungkin, untuk pertama kalinya, ia mulai mempertanyakan apakah ia sudah terlalu lama menutupi perasaannya yang sesungguhnya.
.
.

Pintu apartemen tertutup perlahan di belakang Sunghoon, meninggalkan perasaan yang lebih berat daripada ketika ia pertama kali tiba. Sunghoon berdiri diam di lorong, kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya, seolah-olah berusaha menggenggam sesuatu yang bahkan tak pernah ia miliki. Malam ini tidak berjalan seperti yang ia harapkan. Tidak ada argumen besar atau teriakan. Hanya ada kebisuan dan kalimat-kalimat dingin yang dilontarkan Wonyoung, menghancurkan perasaan yang selama ini ia coba abaikan.

"Kamu bukan siapa-siapa."

Kata-kata itu terus terngiang di pikirannya. Sunghoon menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan denyut jantungnya yang berdebar kencang.

Ia harus pergi. Menjauh untuk beberapa waktu. Mengambil jarak dari situasi yang membuatnya sesak.

Tanpa sadar, ia sudah berjalan keluar dari gedung apartemen. Udara malam yang sejuk menyentuh kulitnya, tapi itu tidak memberi Sunghoon ketenangan yang ia butuhkan.

Sunghoon melajukan mobilnya ke apartemen Jake, yang tidak terlalu jauh.

Selama ini, ia selalu berpikir bahwa semuanya akan baik-baik saja. Bahwa seiring waktu, pernikahan mereka akan menjadi lebih kuat, bahwa Wonyoung akan mulai peduli seperti dirinya. Tapi semakin ia merenung, semakin ia sadar bahwa mungkin ia telah menipu dirinya sendiri. Wonyoung benar—mereka tidak saling peduli. Setidaknya, tidak seperti yang seharusnya dalam sebuah pernikahan.

Saat sampai di apartemen Jake, ia merasa kelelahan yang begitu besar, bukan hanya secara fisik, tetapi mental. Sunghoon mengetuk pintu dan menunggu beberapa detik sebelum Jake membukanya. Temannya berdiri di sana dengan kaos oblong dan celana pendek, raut wajah penuh kekhawatiran.

Tanpa banyak bicara, Sunghoon melangkah masuk ke apartemen Jake. Suasana apartemen itu hening, hanya terdengar bunyi kipas angin berputar di langit-langit. Jake menutup pintu dan duduk di sofa, menatap Sunghoon dengan tatapan bertanya.

"Jadi, apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Jake, nadanya pelan namun jelas sarat dengan rasa ingin tahu.

Sunghoon terdiam beberapa saat, berusaha mengatur pikirannya yang berantakan. Ia akhirnya duduk di kursi di dekat Jake, memandang ke arah lantai, seolah berharap jawaban bisa muncul dari sana.

"Gue nggak tahu, Jake," gumamnya pelan. "Wonyoung bilang... Kami tidak saling peduli. Dan mungkin dia benar. Mungkin... mungkin gue juga nggak pernah benar-benar peduli seperti yang gue pikir."

Jake mengerutkan kening. "Apa maksud lo?"

Sunghoon menyandarkan kepalanya ke sofa, memejamkan mata. "Gue... selama ini terlalu keras menyembunyikan perasaan gue. Gue berusaha bersikap sewajarnya karena gue pikir dia akan sangat risih ketika gue terlalu peduli. Tapi ternyata gue salah. Sikap dingin dan acuh tak acuh itu membuat jarak kami makin lebar."

" Gue berusaha pelan-pelan bikin dia sadar kalau gue lebih dari sekedar peduli. Tapi bahkan sikap peduli gue aja nggak terlihat di mata dia." Sunghoon mengusap wajahnya kasar.

"Mungkin dia benar...mungkin itu cuma karena gue takut mengakui kalau gue gagal. Gue nggak bisa bikin Wonyoung bahagia, Jake. Nggak peduli seberapa keras gue berusaha."

Jake terdiam, membiarkan Sunghoon melanjutkan.

"Selama ini, gue selalu merasa kalau kita butuh waktu. Bahwa nanti perasaan itu akan datang. Tapi sekarang, setelah dia bilang begitu... gue nggak yakin lagi. Mungkin gue cuma memaksakan sesuatu yang nggak pernah ada dari awal."

Jake menghela napas pelan. "Sunghoon, lo nggak bisa terus-terusan menyalahkan diri sendiri. Masih ada kesempatan,percaya sama gue."

"Gue nggak yakin lagi apakah gue masih punya keyakinan itu."

Jake menatap sahabatnya dengan serius. "Lo nggak harus yakin sekarang juga, Sunghoon. Kadang, hubungan butuh waktu buat berkembang, dan kadang memang nggak berhasil. Yang penting lo jujur sama diri lo sendiri dan sama Wonyoung. Kalau memang ada hal yang lo rasakan, lo harus ngomongin itu, jangan cuma dipendam."

"Gue nggak bisa. Kami nggak berasa di situasi aku tiba-tiba bilang aku smcinta sama dia."

"Why not?"

"Itu akan membingungkan,aku nggak mau perasaan ini terkesan tiba-tiba untuknya."

"Apanya yang tiba-tiba? Aku dan Jay saksi hidupnya. Lo udah suka sama dia dari kecil,Hoon. Tiap hari selalu merhatiin dia lewat jendela kamar Lo. Diam-diam senyum kalau papasan di komplek. Diam-diam ngirim bunga setiap hari valentine ke lokernya walaupun lo udah lulus dari sana. Diam-diam ngirim buket waktu dia wisuda. Coba tanya gue bagian mananya yang tiba-tiba?"

"Dia nggak tahu pengirim bunga itu gue. Dia nggak tau itu Jake."

"Kalau gitu kasih tau dia. Bilang seberapa cintanya Lo sama dia sampai rela nggak pacaran seumur hidup lo padahal dia udah gonta ganti pacar."

"Gue nggak bisa karena meskipun gue kasih tahu,dia cintanya nggak sama gue." Untuk kalimat terakhir itu Jake bungkam.

Ia tak bisa memberikan kalimat apapun lagi jika memang bukan sunghoon yang perempuan itu cintai.

"Taesan...dia dekat dengan laki-laki itu."

"...."



Bound by dutyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang