Hari itu berlalu seperti biasa. Wonyoung menjalani aktivitasnya dengan mobil baru yang diberikan Sunghoon, meskipun rasa canggung tetap menggelayut dalam benaknya. Mobil itu memang memudahkan pergerakannya, tapi setiap kali ia melihat kunci itu, ia merasa tidak enak memakainya.
Di penghujung hari, Wonyoung tiba di apartemen setelah berjam-jam sibuk di luar. Ia mendapati Sunghoon masih belum pulang. Keheningan ruang apartemen mereka menyelimuti, membuatnya merasa semakin terisolasi. Ia berjalan menuju dapur, lalu tanpa sadar memutar memori-memori lama yang sudah lama terpendam. Ketika ia masih kecil,sekitar berusia 4 tahun.
Saat itu adalah awal mula ketidakakrabannya dengan sunghoon. Dimana wonyoung kecil datang ke rumah laki-laki itu untuk bermain bersama ji young. Namun sunghoon kecil malah melemparnya dengan Boneka beruang besar dan mengusirnya. Wonyoung saat itu tidak tahu kenapa sunghoon tiba-tiba berbuat seperti itu. Yang ia ingat lagi,ia menangis,mengadu ke ji young,namun Ji young tak berbuat banyak selain membawanya pulang. Dan tak memarahi sunghoon. Sejak saat itu ia tak pernah lagi bermain ke rumah sunghoon bahkan menyapanya saja wonyoung tidak pernah. Dampak kejadian itu terus berlanjut ketika mereka dewasa.
Sejenak, Wonyoung berhenti di depan meja makan. Ia memandangi ruang itu dengan perasaan kosong. Hubungannya dengan Sunghoon berjalan seperti dua orang asing yang saling memberi ruang. Tapi itu cukup membuatnya nyaman. Setidaknya mereka tidak saling melempar barang atau saling pukul. Hidup berdampingan dengan mantan musuh bebuyutan memang tak pernah terbayangkan oleh wonyoung. Namun setelah ia menjalani seminggu lebih, ternyata tak seburuk itu. Meraka mematuhi semua batasan sehingga kondisinya aman terkendali.
Beberapa menit kemudian, suara pintu apartemen terbuka. Sunghoon baru saja pulang. Ia tampak lelah, tetapi tetap menjaga ekspresinya tetap datar.
"Hai," sapa Wonyoung perlahan, mencoba memecah keheningan.
Sunghoon hanya menanggapi dengan anggukan singkat sebelum menggantungkan jasnya dan menuju dapur untuk mengambil air. Wonyoung ingin mengatakan sesuatu, apa pun yang bisa mengurangi ketegangan di antara mereka, tapi lidahnya kelu.
"Mama ada nelpon kamu?" ujar Sunghoon, wonyoung menggeleng bingung.
"Emang kenapa?" Sunghoon meneguk air di botol itu hingga tandas. Membiarkan pertanyaan wonyoung menggantung di udara.
"Mama mau bilang kalau Yeji bakal tinggal sama kita."
"Hah? Maksudnya?" Wonyoung mengernyitkan dahi,bingung sekaligus terkejut.
"Iya,Yeji mulai kuliah Senin depan. Jadi mama minta dia tinggal disini karena dekat sama kampus."
"Kamar kita cuma 2,Hoon." Ujar wonyoung. Sunghoon menghela napas,menoleh ke arah wonyoung sepenuhnya.
"Aku awalnya minta mama beliin apart,tapi mama ngga yakin Yeji bisa tinggal Sendiri. Yeji masih belum di percaya mama buat ngurus rumah sendirian. Jadi,menurut kamu gimana?"
Wonyoung diam sejenak. Tak menyangka akan ada hal seperti ini yang terjadi. Jika Yeji tinggal dengan mereka otomatis mau bagaimana pun ia dan sunghoon harus satu kamar.
"Aku....ngga tau." Balasnya jujur. Ia menatap manik sunghoon yang tampak tak masalah.
Sunghoon mendesah pelan, jelas dari raut wajahnya bahwa ia juga sedikit bingung dengan situasi ini. Namun, seperti biasa, ia memilih untuk tetap tenang. "Aku bisa tanya mama lagi soal alternatif lain, tapi kurasa mama sudah cukup memikirkan semuanya."
Wonyoung berpikir sejenak, merasakan beban baru yang tiba-tiba menghampiri mereka. "Jadi... kita harus berbagi kamar?" tanyanya ragu.
Sunghoon mengangkat bahu seolah itu bukan masalah besar. "Ya, kalau Yeji benar tinggal di sini. Kamu bisa pakai kamar tidur, aku bisa tidur di sofa."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bound by duty
RomansaAku nggak bakal nikah sama kamu, sekalipun tinggal kamu satu-satunya perempuan di bumi. _Park Sunghoon Sampai kiamat pun aku nggak bakal nikah sama kamu _Jang Wonyoung