06

27 9 1
                                    

Setelah Wonyoung mengirim pesan terakhir ke Rei, ia meletakkan ponselnya di samping dan menarik napas panjang. Kamar yang sunyi semakin terasa hampa saat ia berbaring, pikirannya melayang-layang. Suara gemericik air dari kamar mandi mengingatkannya bahwa Sunghoon masih di sana, dan sebentar lagi ia akan keluar.

Pintu kamar mandi terbuka, mengeluarkan suara halus yang memecah keheningan. Sunghoon muncul, mengenakan piyama santai dan rambutnya yang basah masih meneteskan air. Wajahnya terlihat lebih segar, tapi tatapannya tetap datar seperti sebelumnya. Ia melangkah perlahan menuju tempat tidurnya, tanpa sepatah kata.

Wonyoung menegakkan tubuhnya sedikit, merasa canggung dengan suasana yang masih kaku di antara mereka. “Sudah selesai?” tanyanya pelan, berusaha memulai percakapan.

Sunghoon hanya mengangguk sambil duduk di ujung ranjang, membelakangi Wonyoung. Ia mengambil handuk dan mengeringkan rambutnya perlahan, gerakannya lamban dan terkesan berpikir. “Kamu mau mandi juga?” ia bertanya singkat tanpa menoleh.

Wonyoung menatap punggung Sunghoon, merasa ada jarak yang tak kasatmata tetapi sangat nyata di antara mereka. “Nanti,” jawabnya pelan, tak ingin menambah ketegangan.

Keheningan kembali menyelimuti mereka. Keduanya tenggelam dalam pikiran masing-masing. Wonyoung tidak bisa berhenti berpikir tentang percakapan mereka sebelumnya, tentang batasan-batasan yang telah mereka sepakati. Meskipun sudah jelas, perasaan tak nyaman tetap menghantui hatinya. Bagaimana jika tahun ini lebih sulit daripada yang mereka bayangkan? Bagaimana jika salah satu dari mereka melanggar kesepakatan?

“Aku harap kamu nyaman dengan pengaturan ini,” Sunghoon akhirnya membuka suara, masih memunggungi Wonyoung. “Aku akan tidur di sofa. Jangan khawatir, aku tidak akan mengusikmu.”

Wonyoung menggigit bibirnya, merasa bersalah. Ia tahu Sunghoon tidak pernah ingin pernikahan ini terjadi, begitu juga dirinya, tapi mendengar Sunghoon berbicara seolah-olah mereka dua orang asing membuat hatinya terasa semakin berat. “Sunghoon...” panggilnya lembut.

Sunghoon berhenti mengeringkan rambutnya, tetapi tidak langsung menoleh. Ia menunggu Wonyoung melanjutkan, meskipun di dalam dirinya, ia tahu percakapan ini mungkin tidak akan membawa mereka ke tempat yang lebih baik.

“Kita bisa melewati ini, kan?” tanya Wonyoung, suaranya nyaris tak terdengar. “Aku tahu semuanya tidak ideal, tapi… setidaknya kita bisa berusaha, meskipun hanya untuk menjaga kedamaian keluarga.”

Sunghoon menghela napas panjang, lalu akhirnya menoleh ke arahnya. Mata mereka bertemu untuk pertama kalinya malam itu. Ada sesuatu dalam tatapan Sunghoon yang sulit diartikan—perpaduan antara kelelahan, kepasrahan, dan mungkin sedikit harapan yang samar.

“Kita sudah sepakat,” Sunghoon menjawab, nadanya lebih lembut dari sebelumnya. “Selama kita mengikuti batasan-batasan itu, semuanya akan baik-baik saja.”

Wonyoung mengangguk, meskipun hatinya masih penuh keraguan. “Baiklah.”

Sunghoon menatapnya sejenak sebelum kembali mengalihkan pandangannya. “Kalau begitu, aku tidur di sofa sekarang. Kamu istirahat saja.”

Wonyoung hanya bisa mengangguk lagi saat Sunghoon berdiri dan menuju sofa di sisi ruangan. Ia melihat Sunghoon berbaring, menutup mata, dan seolah mencoba melupakan semua ketegangan yang baru saja terjadi.

Namun, meski tubuhnya lelah, Wonyoung tahu malam ini akan panjang. Hatinya penuh dengan pertanyaan dan ketidakpastian. Apakah mereka benar-benar bisa menjalani setahun ini dengan damai? Atau akankah perasaan-perasaan yang tersembunyi mulai muncul ke permukaan dan menghancurkan semua yang sudah mereka bangun?

Ia memalingkan wajah, menatap langit-langit kamar yang redup, berusaha menenangkan pikirannya. Tapi di dalam hatinya, Wonyoung tahu bahwa perjalanan ini baru saja dimulai, dan ia belum tahu bagaimana akhirnya.

Bound by dutyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang