Setelah makan siang tiba, mereka makan dengan tenang, tanpa banyak bicara. Sunghoon memberikan bibimbap dan tteokbokki kepada Wonyoung yang duduk di ujung sofa, sementara ia sendiri memakan pesanannya sambil sesekali melirik ke arah gadis itu. Mereka seperti dua orang asing yang terjebak dalam satu ruang, berusaha untuk tidak saling mengusik lebih dari yang diperlukan.
Wonyoung menghabiskan makanan dengan cepat, lalu memutuskan untuk segera bersiap. Setelah meletakkan sumpitnya, ia bangkit dari sofa dan menaruh piring di meja.
“Aku harus pergi sebentar,” ucapnya tanpa banyak penjelasan.
Sunghoon menoleh, menatapnya sejenak dengan ekspresi yang sulit ditebak. “Kamu mau ke mana?”
“Aku ada janji dengan Rei, Yujin, dan Yuna. Kami sudah lama merencanakan untuk hang out hari ini,” jawabnya sambil memandang ke luar jendela, hujan mulai mereda.
Sunghoon mengangguk pelan. “Oh, baiklah.”
Wonyoung berjalan menuju kamar untuk mengganti pakaian. Hening kembali mengisi ruangan. Sunghoon tetap di sofa, memainkan ponselnya untuk memesan hal-hal kecil yang mereka perlukan di apartemen. Pikiran-pikiran tentang kehidupan baru mereka masih berputar di kepalanya—tentang bagaimana mereka harus terus berpura-pura menjadi pasangan yang sempurna di hadapan dunia, padahal di antara mereka ada jurang yang dalam.
Tak lama kemudian, Wonyoung keluar dari kamar dengan pakaian yang lebih kasual—celana jeans, sweater ringan, dan tas kecil yang tersampir di pundaknya. Ia melirik Sunghoon yang masih di sofa, lalu mengambil jaket yang tergantung di dinding dekat pintu.
"Aku pergi dulu," ucapnya singkat, sedikit terburu-buru. Sunghoon hanya mengangguk tanpa berkata apa-apa.
Pintu tertutup di belakang Wonyoung, meninggalkan Sunghoon sendirian di apartemen yang sepi. Suara hujan yang mulai berhenti sepenuhnya terdengar samar di luar, sementara Sunghoon hanya duduk di sofa, menatap ke arah pintu yang baru saja tertutup.
.
.
.
Wonyoung melangkah memasuki aula konser musik klasik dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, ia senang bisa menghabiskan waktu bersama teman-temannya, menghirup kebebasan yang singkat dari segala kepalsuan yang ia jalani dalam pernikahan ini. Namun di sisi lain, ada kekosongan yang sulit ia ungkapkan, seolah setiap langkahnya adalah pelarian dari sesuatu yang tak sepenuhnya ia pahami.Rei, Yujin, dan Yuna sudah menunggunya di pintu masuk aula. Mereka tersenyum saat melihat Wonyoung datang, namun ada secercah keheranan di wajah mereka.
“Wah, pengantin baru sudah nongkrong lagi. Gimana rasanya nikah baru sehari dan sudah kabur dari suami?” ledek Rei sambil tertawa kecil.
Wonyoung mencoba tersenyum, meski dalam hatinya ia tahu bahwa komentar itu tepat mengenai kenyataan yang sedang ia hindari. "Aku nggak kabur, kok. Kita kan udah lama merencanakan ini. Lagipula, pernikahan bukan berarti aku harus terus-terusan di rumah."
Yuna mengangkat alis, menggoda. "Tapi kan biasanya pengantin baru lagi sibuk-sibuknya. Kamu malah kelihatan kayak masih single aja.”
Wonyoung menghela napas, kemudian menjawab dengan nada santai, “Aku dan Sunghoon sepakat untuk tetap hidup normal. Lagi pula, menikah bukan berarti aku harus selalu nempel sama dia." Wonyoung menarik napas dalam.
"Lagipula kalian kan tahu pernikahan ini nggak akan bertahan lama."
"Jadi kamu nggak akan kasih tahu teman-teman kantor kamu?" Rei bertanya. Wonyoung menggeleng.
Yujin tampak terkejut.
“Cukup orang terdekat saja yang tahu,” jawab Wonyoung sambil melihat ke arah pintu masuk aula konser. “Kita berdua sibuk dengan pekerjaan dan karir masing-masing. Jadi rasanya nggak perlu terlalu terbuka tentang ini.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Bound by duty
RomantizmAku nggak bakal nikah sama kamu, sekalipun tinggal kamu satu-satunya perempuan di bumi. _Park Sunghoon Sampai kiamat pun aku nggak bakal nikah sama kamu _Jang Wonyoung