Wonyoung menatap langit-langit kamar dengan perasaan yang semakin berat. Kata-kata Sunghoon masih terngiang di telinganya, tetapi jauh di lubuk hatinya, ia tahu percakapan tadi tak memberi banyak ketenangan. Pernikahan ini—perjanjian ini—mungkin terasa seperti solusi di permukaan, namun kenyataannya jauh lebih rumit dari yang mereka bayangkan. Mereka telah sepakat untuk menjaga jarak, untuk menahan diri, tetapi sekarang, saat mereka berada dalam satu kamar, kenyataan itu mulai terasa semakin jelas dan sulit.
Wonyoung menarik napas panjang dan menoleh ke arah Sunghoon yang sudah berbaring di sofa. Dari jarak ini, ia tampak sudah tertidur. Tapi, ada sesuatu tentang posisi tubuhnya yang terlihat tegang, seolah Sunghoon sama sekali belum bisa benar-benar rileks.
Dia sendiri masih terjebak dalam gaun pengantin yang indah tapi mengganggu. Sambil duduk di tepi tempat tidur, Wonyoung menggigit bibir, merasa frustrasi. Gaun ini terasa semakin ketat dan berat, dan ia sangat ingin melepaskannya. Dia melirik Sunghoon sejenak, ragu untuk meminta bantuan, tetapi menyadari tidak ada cara lain.
Berusaha menenangkan diri, Wonyoung memutuskan untuk mandi. Mungkin air hangat bisa membantu meredakan kegelisahan yang sejak tadi membebaninya. Namun, saat mencoba menarik tali di belakang gaun, ia segera menyadari bahwa tugas ini lebih sulit daripada yang ia bayangkan. Jari-jarinya tidak cukup panjang untuk menjangkau simpul-simpul kecil di punggungnya, dan setelah beberapa kali mencoba, ia hanya berhasil membuat simpul itu semakin kencang.
“Ugh... kenapa susah sekali?” Wonyoung menggerutu, masih berusaha dengan tangan yang semakin gemetar.
Rasa frustrasinya makin menjadi. Di satu sisi, ia tidak ingin meminta bantuan Sunghoon. Situasi ini sudah cukup canggung tanpa harus menambahkannya dengan adegan membuka gaun pengantin di depan pria yang baru saja menjadi suaminya—seorang suami hanya di atas kertas. Namun di sisi lain, dia tahu tidak mungkin melakukannya sendiri.
Sunghoon bergerak sedikit di sofa, mengubah posisinya, membuat Wonyoung terdiam. Apakah dia sudah tertidur? Atau dia masih terjaga? Wonyoung menggigit bibirnya lebih keras, kebingungan. Haruskah ia meminta bantuannya? Atau lebih baik tetap mencoba sendiri meski tahu itu hampir mustahil?
Setelah beberapa detik keheningan yang mencekam, Wonyoung akhirnya menyerah. “Sunghoon...” suaranya keluar pelan, hampir berbisik, namun cukup untuk memecah keheningan ruangan.
Sunghoon membuka mata, melirik ke arahnya. Tatapannya masih penuh dengan kelelahan, tetapi ia langsung duduk dengan cepat. “Apa ada yang salah?”
Wonyoung menundukkan wajah, merasa malu dengan situasinya. “Aku... aku kesulitan membuka gaun ini. Bisa... bantu aku?”
Sejenak, keheningan kembali mengisi ruangan. Sunghoon menatap Wonyoung dengan ekspresi yang sulit diartikan—campuran antara kebingungan, ragu, dan mungkin sedikit rasa segan. Namun, ia akhirnya bangkit dari sofa tanpa berkata apa-apa dan berjalan mendekatinya.
Saat Sunghoon berdiri di belakangnya, Wonyoung bisa merasakan kehangatan tubuhnya. Jarak mereka yang begitu dekat membuat jantungnya berdebar lebih cepat dari yang ia inginkan. Tangannya kaku di pangkuannya, dan ia menunduk, merasa canggung dengan posisi ini.
“Maaf... aku tahu ini aneh,” ucap Wonyoung pelan, suaranya hampir tenggelam dalam kegelisahan.
Sunghoon tidak menjawab, tetapi Wonyoung bisa merasakan tangannya bergerak di punggungnya, mulai mencoba membuka simpul-simpul gaun itu. Gerakannya hati-hati, bahkan sedikit gemetar, seolah ia juga merasa canggung dengan situasi ini.
Suhu di kamar seakan naik beberapa derajat, dan Wonyoung bisa merasakan ketegangan yang semakin tebal di udara. Jantungnya berdegup kencang, dan ia tahu Sunghoon bisa merasakannya. Suara napas mereka terdengar lebih jelas dalam keheningan, mengisi ruang yang sebelumnya kosong dengan ketidakpastian.
Gaun itu akhirnya mulai melonggar, dan Wonyoung bisa merasakan udara dingin menyentuh kulit punggungnya. Tetapi bukannya merasa lega, justru perasaan canggung semakin menguasainya. Dengan Sunghoon yang begitu dekat, dengan perasaan-perasaan yang tidak terucap di antara mereka, setiap detik terasa sangat lambat dan penuh tekanan.
Setelah simpul terakhir terbuka, Sunghoon segera menarik diri, melangkah mundur dengan cepat. “Sudah,” katanya singkat, suaranya sedikit bergetar.
Wonyoung mengangguk tanpa menoleh, merasa wajahnya memanas. “Terima kasih,” jawabnya pelan.
Ia berdiri dari tempat tidur, menggenggam bagian depan gaunnya agar tidak terlepas sepenuhnya. Dengan cepat, ia berjalan menuju kamar mandi, mencoba menghindari tatapan Sunghoon yang pasti masih tertuju padanya. Pintu kamar mandi tertutup lembut di belakangnya, tapi bahkan di sana, ia masih bisa merasakan ketegangan yang menggantung di udara.
Di dalam kamar mandi, Wonyoung melepaskan gaunnya sepenuhnya dan membiarkannya jatuh ke lantai dengan suara lembut. Ia menatap bayangannya di cermin, melihat refleksi seorang perempuan yang tampak lelah dan bingung. Bagaimana bisa pernikahan ini terasa lebih sulit daripada yang ia bayangkan? Bahkan tanpa cinta, seharusnya segalanya berjalan lebih sederhana. Tapi, ternyata tidak.
Air hangat mengalir di atas tubuhnya, tetapi pikiran Wonyoung tetap melayang-layang. Bayangan Sunghoon—ekspresinya, gerakannya—semuanya tertinggal di benaknya, dan itu membuatnya semakin tak tenang. Ia tahu Sunghoon juga merasakan hal yang sama, meskipun ia berusaha keras untuk tidak menunjukkannya. Ada sesuatu tentang kebersamaan mereka yang selalu terasa... tidak selesai. Tidak pernah ada kata-kata yang cukup untuk mengungkapkan apa yang sebenarnya mereka rasakan.
Setelah beberapa menit yang terasa panjang, Wonyoung akhirnya keluar dari kamar mandi, mengenakan piyama lembut yang sudah ia siapkan. Rambutnya masih sedikit basah, tapi ia tidak peduli. Sunghoon sudah berbaring lagi di sofa, matanya terpejam, namun napasnya yang masih teratur menunjukkan bahwa ia belum benar-benar tidur.
Wonyoung mematikan lampu utama dan hanya menyisakan lampu tidur di samping tempat tidur. Ia berbaring perlahan, membiarkan tubuhnya tenggelam dalam kasur yang nyaman. Namun, tidak ada kenyamanan di hatinya. Ia masih memikirkan Sunghoon, masih merasa ada jarak yang tidak bisa ia jembatani.
Setelah beberapa saat, Sunghoon bergerak di sofa, lalu terdengar suaranya yang rendah di tengah keheningan. “Wonyoung?”
“Hm?” Wonyoung menjawab, matanya masih terpejam.
“Apa kamu... baik-baik saja?”
Pertanyaan itu sederhana, tapi ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuat Wonyoung terdiam. Ia ingin menjawab dengan jujur, ingin mengatakan bahwa tidak, ia tidak baik-baik saja. Tapi, kata-kata itu terasa terlalu sulit untuk diucapkan.
“Ya,” jawabnya akhirnya, suaranya lembut dan penuh kebohongan. “Aku baik-baik saja.”
Keheningan kembali mengisi ruangan, dan kali ini, tidak ada yang mencoba untuk memecahkannya lagi. Mereka berdua tenggelam dalam pikiran masing-masing, dengan ketidakpastian yang membungkus malam itu.
![](https://img.wattpad.com/cover/379128856-288-k931668.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Bound by duty
RomanceAku nggak bakal nikah sama kamu, sekalipun tinggal kamu satu-satunya perempuan di bumi. _Park Sunghoon Sampai kiamat pun aku nggak bakal nikah sama kamu _Jang Wonyoung