02

238 23 6
                                    

Malam itu, Wonyoung mengendarai mobilnya dengan cepat, berusaha mengendalikan emosi yang meluap setelah percakapan panas dengan Sunghoon. Ia tak percaya orang tuanya berpikir bahwa perjodohan ini adalah ide yang baik, lebih-lebih dengan seseorang seperti Sunghoon, yang baginya hanya mempersulit hidupnya di dalam dan luar ruang sidang.

Telepon di kursi penumpangnya bergetar, menandakan panggilan masuk dari ibunya. Wonyoung enggan mengangkatnya. Ia tahu, ibunya pasti akan mencoba membujuknya lagi, atau lebih buruk lagi, menekannya untuk mempertimbangkan gagasan gila ini.

"Ini konyol," gumam Wonyoung pada dirinya sendiri. "Kami bahkan tidak pernah dekat, bagaimana bisa mereka mengharapkan kami untuk menikah?"

Sementara itu, Sunghoon masih di tempat parkir, memandang ke arah Wonyoung yang telah menghilang di balik sudut jalan. Ia sendiri merasa kesal, tidak hanya pada perjodohan yang dipaksakan ini, tetapi juga pada reaksinya sendiri terhadap Wonyoung. Selama ini, dia berpikir bahwa dia bisa bersikap profesional dan tidak peduli pada kehidupan pribadinya. Namun, sepertinya situasi ini lebih mengganggunya daripada yang ia harapkan.

Setelah menarik napas panjang, Sunghoon mengeluarkan ponselnya dan mengetik pesan singkat untuk ibunya, menegaskan kembali penolakannya terhadap perjodohan itu.

---

Keesokan harinya, Sunghoon dan Wonyoung kembali berhadapan di ruang sidang, suasana terasa lebih tegang dari biasanya. Mereka sudah terbiasa saling bersaing di kasus-kasus sebelumnya, tetapi kali ini ada perasaan yang berbeda. Setiap argumen yang mereka lontarkan terasa lebih tajam, lebih penuh amarah yang terselubung di balik profesionalitas mereka.

“Objection, Your Honor!” suara Wonyoung memotong tajam, menantang argumen Sunghoon.

“Overruled,” hakim memutuskan, tetapi Sunghoon sudah melihat perubahan di wajah Wonyoung. Ia tahu bahwa ini bukan sekadar perseteruan hukum biasa. Ada sesuatu yang lebih personal di balik setiap kata yang mereka ucapkan. Sesuatu yang tak pernah mereka bicarakan sebelumnya, dan keduanya terlalu keras kepala untuk mengakuinya.

Setelah sidang usai, Wonyoung bergegas keluar dari ruang sidang. Sunghoon mengikutinya dari belakang, langkahnya cepat dan penuh determinasi. Ketika Wonyoung berbelok ke arah lobi, Sunghoon menarik lengannya, menghentikannya.

“Kita harus bicara,” kata Sunghoon dengan nada serius.

Wonyoung menatapnya dengan mata tajam. “Sudah cukup bicara semalam, Sunghoon. Aku tidak mau membahas itu lagi.”

“Tapi kita tidak bisa terus begini. Kita nggak mungkin bisa kerja bareng lagi kalau situasi kayak gini.”

“Kamu yang buat situasi ini jadi kacau, bukan aku,” balas Wonyoung, melepaskan lengannya dari genggaman Sunghoon. “Aku nggak minta perjodohan ini terjadi, dan aku pasti nggak minta kamu jadi bagian dari hidupku.”

Sunghoon menarik napas panjang. “Aku juga nggak mau ini, Wonyoung. Tapi kalau kita terus-terusan kayak gini, kita cuma akan buat segalanya makin rumit.”

Wonyoung mendengus, lalu berbalik untuk pergi. Namun, sebelum ia benar-benar meninggalkan Sunghoon, ia berhenti dan berbisik tanpa menoleh, “Aku bakal pastiin nggak ada yang bisa maksa aku nikah sama kamu, Sunghoon.”

Sunghoon berdiri diam, menatap punggung Wonyoung yang semakin menjauh. Ada sesuatu dalam kata-kata Wonyoung yang membuatnya tersentak. Bukan karena dia tersinggung, tetapi karena untuk pertama kalinya, ia mulai mempertanyakan apakah memang benar ia tidak ingin terlibat dengan Wonyoung. Mungkin ada sesuatu yang lebih di antara mereka—sesuatu yang selama ini mereka coba abaikan.

---

Malam harinya, Sunghoon duduk di meja makan di apartemennya. Pikirannya tidak bisa berhenti memikirkan Wonyoung. Apa yang membuatnya begitu emosional setiap kali berhadapan dengannya? Apakah perjodohan ini hanya memperbesar ketegangan yang memang sudah ada sejak dulu?

Bound by dutyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang