Siang itu terasa lebih tenang daripada biasanya. Matahari bersinar terik di atas kota Seoul, tetapi Wonyoung merasa hari ini begitu suram. Pikirannya masih berputar tentang percakapan panas dengan ayahnya tadi pagi. Mereka bertengkar hebat, sesuatu yang jarang terjadi karena Wonyoung selalu mencoba menghindari konflik langsung dengan keluarganya. Namun, hari ini berbeda. Ayahnya mendesak untuk menerima perjodohan dengan Sunghoon, dan Wonyoung meledak. Dia menolak keras gagasan itu, menegaskan bahwa ia tidak bisa dan tidak akan menikahi seseorang yang dia anggap lebih sebagai musuh daripada calon suami.
Dengan nada keras, ayahnya berkata, “Kamu tidak tahu apa yang terbaik untukmu, Wonyoung. Keluarga kita butuh ini. Pernikahan ini bukan hanya tentang kamu dan Sunghoon, tapi tentang masa depan keluarga kita.”
Wonyoung membalas dengan marah, “Aku bukan pion di permainan ini, Ayah. Aku nggak bisa begitu saja diatur untuk menikahi seseorang yang nggak aku cintai, apalagi dengan Sunghoon!”
Pertengkaran itu memuncak saat Wonyoung membanting pintu dan meninggalkan rumah, memilih untuk pergi bekerja lebih awal. Kepalanya dipenuhi kemarahan, tidak ada yang bisa menenangkan pikirannya. Dia ingin sekali mematikan dunia di sekitarnya, tetapi telepon yang terus-menerus bergetar di tasnya menarik perhatiannya.
Saat dia mengeluarkan ponselnya, nama ibunya tertera di layar. Hatinya tiba-tiba terasa berat. Wonyoung menekan tombol angkat dengan tangan gemetar. "Halo?"
"Wonyoung, kamu harus ke rumah sakit sekarang juga!" Suara ibunya terdengar panik, penuh dengan ketakutan.
"Kenapa, Bu? Apa yang terjadi?" Wonyoung merasakan darahnya berhenti mengalir sesaat. Rasa cemas mulai menyelinap masuk.
"Ini tentang ayahmu... Dia terkena serangan jantung. Kami di rumah sakit sekarang. Kamu harus datang secepatnya!"
Dunia Wonyoung seakan berhenti berputar. Suara ibunya begitu jauh, seperti datang dari tempat yang sangat jauh. Jantungnya berdegup kencang, kakinya lemas. "Serangan jantung?" gumamnya pelan. Dadanya terasa sesak. Semua kemarahannya, pertengkaran tadi pagi, tiba-tiba tampak begitu kecil dan tak berarti.
Tanpa pikir panjang, Wonyoung langsung meninggalkan kantornya. Di dalam mobil, pikirannya kacau balau. Rasa bersalah menyesakkan dadanya. **Apa ini semua salahku? Apakah karena aku bertengkar dengan Ayah?** Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di benaknya, membuat perjalanan menuju rumah sakit terasa seperti mimpi buruk yang tak berujung.
---
Sementara itu, di tempat lain, Sunghoon sedang duduk di ruangannya di firma hukum ketika ponselnya berdering. Pesan dari mamanya muncul di layar:
_"Sunghoon, kamu harus datang ke rumah sakit sekarang. Ayah Wonyoung terkena serangan jantung. Kami semua akan ke sana. Kamu juga harus ikut. Ini serius."_
Sunghoon menatap pesan itu beberapa saat, mencoba mencerna situasinya. Serangan jantung? Wonyoung? Ayahnya? Rasa cemas langsung muncul. Meskipun mereka tak akrab dan berada di tengah situasi yang penuh ketegangan karena perjodohan, ini bukan hal yang bisa diabaikan.
Sunghoon menghela napas panjang. Haruskah aku pergi? pikirnya. Dia sebenarnya ingin menjauh dari semua drama keluarga ini, tetapi jika dia tidak muncul, ibunya pasti akan mengamuk. Ia tahu betul sifat ibunya yang dominan dan keras kepala.
Dengan berat hati, Sunghoon mengambil kunci mobilnya dan bergegas menuju rumah sakit.
Di rumah sakit, Wonyoung berdiri di luar ruang gawat darurat, matanya menatap pintu yang tertutup rapat. Ibunya duduk di kursi di sebelahnya, terlihat pucat dan ketakutan, sementara dokter-dokter dan perawat terus berlalu-lalang. Tangannya yang gemetar tak berhenti meremas tasnya, mencoba menahan emosi yang bergejolak di dalam diri. Rasa bersalah terus menghantui pikirannya. 'Kalau saja aku tidak bertengkar tadi pagi... Kalau saja aku tidak melawan...'
Pintu ruang gawat darurat tiba-tiba terbuka, dan seorang dokter keluar dengan wajah serius. Wonyoung langsung berdiri.
"Bagaimana keadaan ayah saya, Dok?" suaranya hampir tidak terdengar, penuh dengan ketakutan.
Dokter itu menghela napas panjang. "Keadaannya masih kritis. Serangan jantungnya cukup parah, dan kami melakukan yang terbaik untuk menstabilkannya. Namun, kondisinya masih perlu diawasi dengan ketat selama beberapa jam ke depan."
Air mata menggenang di mata Wonyoung, dan dia merasakan lututnya lemas. Rasanya seperti dunianya runtuh seketika. Di sampingnya, ibunya mulai menangis pelan, membuat suasana semakin berat.
Saat itulah Sunghoon tiba di rumah sakit. Ia melihat Wonyoung dan ibunya dari kejauhan, perasaan canggung langsung menyeruak dalam dirinya. Dia tidak tahu harus berkata apa atau bagaimana harus bersikap dalam situasi ini.
Sunghoon berjalan mendekat dengan hati-hati. "Wonyoung, gimana keadaan ayahmu?" tanyanya pelan.
Wonyoung menoleh ke arah Sunghoon, matanya yang merah menunjukkan betapa terpukulnya dia. Namun, dia tidak berkata apa-apa. Hanya ada kebisuan yang menggantung di antara mereka.
Ibunya yang akhirnya berbicara, dengan suara terisak. "Sunghoon, terima kasih sudah datang. Kami... kami tidak tahu harus berbuat apa. Ayah Wonyoung sangat keras kepala, tapi... ini terlalu tiba-tiba." Air mata terus mengalir dari matanya. "Aku yakin kalau... kalau Wonyoung dan kamu setuju dengan perjodohan ini, mungkin ayahnya akan merasa lebih tenang."
Sunghoon terkejut mendengar itu. Ia menatap Wonyoung yang tetap diam, tidak menunjukkan reaksi apa pun. 'Ini tidak mungkin,' pikir Sunghoon. 'Ini bukan saat yang tepat untuk membicarakan hal ini.'
Namun, ibunya Wonyoung terus berbicara, seolah mencoba meraih harapan terakhir. "Sunghoon, Wonyoung, kalian berdua tahu bahwa ini adalah keinginan ayahnya. Mungkin dengan kalian setuju menikah, dia akan merasa lebih baik... Dia tidak akan merasa khawatir lagi."
Sunghoon ingin protes, ingin berkata bahwa ini tidak benar, bahwa mereka tidak bisa begitu saja dipaksa menikah hanya untuk menyelamatkan situasi. Tetapi saat ia menatap wajah Wonyoung yang penuh dengan kesedihan dan rasa bersalah, kata-katanya terhenti di tenggorokannya.
Wonyoung akhirnya berbicara, suaranya pelan, hampir berbisik. "Kalau itu yang bisa membuat Ayah tenang, aku... aku setuju."
Sunghoon merasa dadanya sesak mendengar kata-kata itu. Ia tahu Wonyoung tidak benar-benar ingin menikah dengannya. Ini bukan keputusan yang datang dari cinta atau kehendak mereka sendiri, melainkan dari tekanan keadaan. Sunghoon ingin berkata tidak, ingin membantah, tetapi melihat kondisi ayah Wonyoung yang masih kritis di balik pintu ruang ICU, ia tidak bisa menolak.
"Baik," kata Sunghoon akhirnya, suaranya berat. "Kalau ini bisa membantu keadaan... aku juga setuju."
Keheningan yang menggantung di antara mereka setelahnya terasa menyakitkan. Di satu sisi, keputusan ini mungkin akan membuat keadaan lebih baik, tetapi di sisi lain, keduanya tahu bahwa keputusan ini akan membawa konsekuensi yang lebih besar di masa depan.
---
Setelahnya, Wonyoung berjalan menuju bangku di lorong rumah sakit, duduk dengan tubuh yang terasa lunglai. Di sebelahnya, Sunghoon ikut duduk tanpa banyak bicara. Mereka berdua terjebak dalam kebisuan yang berat, masing-masing tenggelam dalam pikiran mereka sendiri.
Wonyoung menatap lurus ke depan, pikirannya melayang-layang. 'Ini bukan yang aku inginkan. Ini semua salahku. Kalau saja aku bisa lebih tenang tadi pagi, Ayah tidak akan sakit seperti ini.' Namun, tak peduli seberapa besar rasa bersalahnya, dia tahu tidak ada yang bisa diubah sekarang. Keputusannya sudah diambil.
Sementara itu, Sunghoon merasa terjebak di antara keinginan untuk melindungi Wonyoung dan keengganan untuk menerima pernikahan ini. Ia tidak ingin menikah hanya karena tekanan keluarga atau keadaan darurat seperti ini, tetapi saat melihat Wonyoung yang hancur di sampingnya, ia tahu bahwa sekarang bukan waktu yang tepat untuk berpikir egois.
Mereka berdua duduk di sana, di lorong rumah sakit yang sunyi, dengan pikiran yang kacau dan masa depan yang terasa semakin tak pasti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bound by duty
RomanceAku nggak bakal nikah sama kamu, sekalipun tinggal kamu satu-satunya perempuan di bumi. _Park Sunghoon Sampai kiamat pun aku nggak bakal nikah sama kamu _Jang Wonyoung