08

22 9 2
                                    

Keesokan harinya, sinar matahari pagi masuk melalui tirai kamar yang sedikit terbuka, mengisi ruangan dengan cahaya lembut. Wonyoung sudah terjaga lebih dulu, tetapi ia masih terbaring, menatap langit-langit dengan pikiran yang penuh. Semalam berlalu tanpa percakapan lebih lanjut, namun sisa-sisa ketegangan masih terasa jelas dalam ingatannya. Di sofa, Sunghoon masih tertidur, napasnya teratur.

Wonyoung perlahan bangkit, mencoba bergerak tanpa suara agar tidak membangunkan Sunghoon. Ia mengamati sejenak sosok pria itu yang masih terbungkus dalam selimut, lalu bergegas ke kamar mandi untuk bersiap. Setelah beberapa saat, Sunghoon juga mulai terjaga. Mereka berdua bersiap dalam keheningan, hanya saling bertukar pandang sesekali, seperti dua orang asing yang terpaksa berbagi ruang.

Ketika mereka selesai, mereka menuju ruang makan hotel untuk sarapan bersama keluarga besar. Ruang makan itu ramai, dipenuhi oleh keluarga dan teman-teman yang masih menikmati euforia pernikahan kemarin. Ketika Wonyoung dan Sunghoon memasuki ruangan, semua mata tertuju pada mereka—pasangan pengantin baru yang menarik perhatian. Mereka tersenyum ramah, berusaha menyembunyikan kecanggungan di balik wajah yang tampak tenang.

"Selamat pagi, pengantin baru!" seru salah satu anggota keluarga dengan nada menggoda, membuat Wonyoung merasa sedikit terjebak. Ia tertawa kecil, sementara Sunghoon hanya mengangguk dengan senyum kaku.

Mereka duduk di meja bersama orang tua Wonyoung dan Sunghoon. Sarapan berlangsung cukup hangat, dengan obrolan ringan yang menyelimuti suasana. Namun, di balik percakapan itu, Wonyoung dan Sunghoon sama-sama merasa seperti sedang memainkan peran. Mereka harus terlihat bahagia dan bersatu, meskipun di dalam hati mereka, semuanya jauh lebih kompleks.

“Bagaimana malam pertama kalian?” tanya salah satu bibi Wonyoung dengan tawa kecil, diiringi anggukan dari beberapa anggota keluarga lainnya yang tampak penasaran.

Wonyoung hampir tersedak kopi yang baru saja diminumnya. Ia menundukkan kepala, mencoba meredakan kekagetannya, sementara Sunghoon tampak lebih tegar, meski ada sedikit rona merah di pipinya.

“Malam yang... tenang,” jawab Sunghoon dengan senyum yang dipaksakan. Wonyoung mengangguk, setuju tanpa banyak kata.

Orang-orang di meja tertawa, mengira jawaban itu sebagai ungkapan malu-malu yang wajar dari pasangan pengantin baru. Tapi Wonyoung bisa merasakan betapa canggungnya setiap kata yang keluar dari mulut Sunghoon. Mereka berada dalam sandiwara yang terus berlanjut, bahkan di depan keluarga.

Setelah beberapa obrolan ringan dan beberapa kali menolak pertanyaan yang semakin menjurus, Sunghoon melirik jam di pergelangan tangannya. "Kami harus pergi lebih awal," ucapnya, mengambil inisiatif. "Apartemen masih berantakan, dan kami harus segera merapikannya."

Wonyoung langsung mengangguk, senang dengan alasan tersebut. "Ya, benar. Kami perlu membereskan banyak hal sebelum kembali bekerja minggu depan."

"Ah, begitu," jawab ibunya, meski tampak sedikit kecewa. "Baiklah, kalian pergilah dulu. Tapi jangan lupa sering-sering pulang ya, Wonyoung."

Wonyoung tersenyum lembut. "Tentu, Mom. Aku pasti sering pulang."

Setelah berpamitan dengan semua orang dan menerima beberapa pelukan hangat, Wonyoung dan Sunghoon berjalan keluar dari ruang makan hotel. Begitu mereka berada di luar jangkauan pandangan keluarga, Wonyoung menghela napas panjang, merasa lega.

Lift tiba, dan mereka berdua masuk. Di dalam lift yang kosong, suasana kembali hening. Ketika pintu lift tertutup, Wonyoung bersandar ke dinding, memejamkan mata sejenak. Ia merasa lelah, bukan hanya secara fisik, tetapi juga emosional. Semua akting ini terasa menguras tenaga.
.
.
.
Di dalam mobil, perjalanan menuju apartemen berlangsung tanpa banyak kata. Suara mesin mobil dan gemericik hujan di luar menjadi satu-satunya latar belakang. Wonyoung menatap ke luar jendela, pikirannya melayang jauh. Pemandangan kota yang basah karena hujan terasa samar di balik kabut tipis yang menutupi kaca.

Sesampainya di apartemen, mereka langsung disambut oleh keheningan. Sunghoon membiarkan Wonyoung masuk lebih dulu sebelum menutup pintu di belakangnya. Saat memasuki ruang tamu yang terlihat rapi, Wonyoung menghela napas, mencoba menghilangkan beban yang selama ini terus menghantuinya.

“Aku akan tidur di kamar itu,” kata Wonyoung, berusaha memecah keheningan. Ia segera berjalan menuju kamar paling depan. Sedangkan di depan pintu kamarnya ada pintu kamar sunghoon yang ukuran kamarnya sedikit lebih kecil. Ia sudah menetapkan kamarnya sewaktu ia dan ibu mertuanya survey apartemen ini sebelum pernikahannya.

Sunghoon mengangguk dan melangkah menuju kamarnya. " Baiklah,aku akan pakai kamar yang itu."

Beberapa menit berlalu dalam keheningan ketika mereka berdua sibuk dengan tugas masing-masing. Namun, meskipun mereka mencoba mengalihkan perhatian dengan kegiatan fisik, pikiran mereka tetap terfokus pada kenyataan bahwa mereka sekarang adalah pasangan suami istri. Sebuah perjanjian yang mereka buat bukan karena cinta, melainkan karena tuntutan keadaan. Dan sekarang, mereka harus terus menjalani sandiwara ini di hadapan semua orang, termasuk di antara mereka sendiri.

Setelah beberapa saat, Wonyoung selesai membereskan kamar dan berjalan ke ruang tamu. Sunghoon masih di dapur, membersihkan meja. Ketika dia melihat Wonyoung mendekat, dia tersenyum kecil.

"Sudah selesai?" tanyanya.

"Ya," jawab Wonyoung, membalas senyum itu meski terasa sedikit dipaksakan. "Kamu?"

Sunghoon mengangguk. “Sudah. Rasanya apartemen ini memang sudah cukup rapi.”

Mereka berdiri dalam diam untuk beberapa detik, saling memandang tanpa tahu apa yang harus dikatakan.

"Aku akan pesan makanan,kamu mau apa?" kata Sunghoon tiba-tiba, mencoba memecah keheningan lagi.

"Aku mau bibimbap San teokbokki pedas."

"Ada yang lain?"wonyoung berpikir sejenak.

"Ice cream strawberry." Sunghoon mengangguk duduk di sofa, berseberangan dengan wonyoung. Gadis itu menjulurkan kakinya hingga berselonjoran. Pesanan sudah di buat. Kini mereka hanya bersantai di sofa dalam diam. Wonyoung sesekali mengecek ponselnya.

Bound by dutyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang