22

25 8 1
                                    

Wonyoung kembali ke ruang sidang dengan perasaan yang bercampur aduk. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri sebelum kembali duduk di kursinya. Sidang harus dilanjutkan, dan ia tidak boleh membiarkan emosi pribadi mengganggu profesionalismenya. Namun, sulit baginya untuk mengabaikan tatapan Sunghoon yang masih terasa membekas, seakan setiap kata yang diucapkan barusan memiliki makna yang lebih dalam daripada yang terlihat di permukaan.

Ketika hakim kembali memasuki ruangan, semua orang berdiri. Wonyoung merasa tangannya sedikit gemetar saat ia merapikan dokumen-dokumennya. Matanya fokus pada hakim yang mulai memanggil saksi pertama, tetapi pikirannya masih melayang pada percakapannya dengan Sunghoon.

Sunghoon mulai melakukan interogasi dengan ketajaman dan ketegasan yang menjadi ciri khasnya. Setiap pertanyaan yang diajukan begitu tajam, seakan menghujam langsung ke inti masalah. Saksi terlihat gugup di bawah tekanan Sunghoon, dan Wonyoung tahu bahwa Sunghoon sedang membangun narasi yang kuat untuk menghancurkan pembelaannya.

"Saksi," Sunghoon berkata, "Anda mengatakan bahwa klien Wonyoung mengetahui transaksi ini ilegal sejak awal, benar?"

Saksi tampak ragu, matanya bergerak ke arah Wonyoung seolah mencari perlindungan. Wonyoung menahan diri untuk tidak bereaksi, tetap tenang meskipun perutnya terasa mual mendengar pertanyaan itu. Ia tahu bahwa jawaban saksi bisa menjadi kunci dalam kasus ini.

"Ya, benar," jawab saksi akhirnya, suaranya bergetar sedikit.

"Jadi, Anda menyatakan bahwa klien Wonyoung secara aktif berpartisipasi dalam penipuan ini?" Sunghoon menekan, suaranya tenang tapi mematikan.

Sebelum saksi bisa menjawab, Wonyoung berdiri. "Keberatan, Yang Mulia. Pertanyaan tersebut mengarah dan terlalu menyimpulkan."

Hakim mengangguk. "Keberatan diterima. Jaksa Park, harap jangan mengarahkan saksi."

Sunghoon hanya mengangguk kecil, tidak terganggu oleh keberatan Wonyoung. Ia mengubah taktik dengan cepat, melontarkan pertanyaan yang lebih halus namun tetap memojokkan saksi. Wonyoung tahu ini akan sulit. Sunghoon adalah jaksa yang sangat kompeten, dan ia tidak akan menyerah dengan mudah.

Ketika akhirnya giliran Wonyoung untuk melakukan pemeriksaan silang, ia berdiri dengan tenang. Ia mendekati saksi dengan langkah percaya diri, meskipun perasaan tegang masih menguasai dirinya. Ia menatap saksi dengan lembut, mencoba menenangkan suasana.

"Tuan," Wonyoung memulai dengan nada tenang, "Anda mengatakan bahwa klien saya mengetahui transaksi ini ilegal. Bisakah Anda menjelaskan bagaimana Anda sampai pada kesimpulan itu?"

Saksi terdiam sejenak, tampak kebingungan. Wonyoung tahu bahwa ini adalah momen penting. Ia harus memanfaatkan keraguan saksi untuk membangun kembali argumennya.

"Seingat saya... ada beberapa percakapan yang membahas kemungkinan risiko," jawab saksi dengan ragu.

"Risiko? Atau pelanggaran hukum yang jelas?" Wonyoung bertanya, suaranya tegas tapi tidak memaksa.

Saksi tampak semakin tidak yakin. "Mungkin lebih ke risiko. Tapi saya tidak ingat detailnya dengan jelas."

Wonyoung tersenyum tipis. "Terima kasih. Itu saja dari saya."

Ia kembali duduk, merasa sedikit lebih lega. Saksi tampak goyah, dan itu memberikan sedikit celah untuk pembelaannya. Namun, ia tahu Sunghoon tidak akan membiarkan hal itu terjadi dengan mudah.

Sidang terus berlanjut hingga sore hari, dengan Sunghoon dan Wonyoung bergantian mengajukan pertanyaan dan argumen. Ketegangan antara mereka tidak hanya ada di ruang sidang, tetapi juga terasa dalam setiap gerakan, setiap kata yang mereka ucapkan. Mereka tidak hanya bertarung demi klien mereka, tetapi juga melawan perasaan yang mereka pendam selama bertahun-tahun.

Ketika sidang ditunda hingga keesokan harinya, Wonyoung merasa kelelahan. Ia merapikan dokumennya dan berdiri, mencoba untuk segera meninggalkan ruangan. Namun sebelum ia berhasil.ke laur dari ruang sidang. Tubuhnya oleng. Kepalanya berdenyut nyeri. Wonyoung mencoba berpegangan pada apapun yang bisa ia raih. Pintu besar itu menjadi tumpuannya saat rasa pusing itu kembali menyerang. Wonyoung meringis.

"Wonyoung?"  Taesan muncul di ambang pintu. Terlihat khawatir. Namun tak lama ia merasa tangannya di raih dan tubuhnya di tarik ke belakang.

"Kamu baik-baik saja?" Tanya Taesan. Wonyoung menggeleng. Mencoba melepaskan cengkeraman sunghoon di lengannya.

"Aku baik-baik aja kok." Cekalan sunghoon terlepas. Ia menatap wajah cemas sunghoon. Namun laki-laki itu kini tengah menatap ke arah Taesan.  Tatapan tajam yang sulit wonyoung artikan.

"Taesan bisa antar--"

"Kamu pulang denganku." Kata itu tajam dan dingin.

"Biarkan wonyoung yang memilih dia mau pulang sama siapa." Kalimat Taesan terdengar seperti genderang perang di telinga sunghoon. Rahangnya mengeras.

Wonyoung menarik napas dalam-dalam, mencoba meredakan ketegangan di dalam dirinya saat ia menyaksikan interaksi antara Sunghoon dan Taesan. Suasana di sekitar mereka begitu tegang, seolah-olah setiap kata yang diucapkan akan menjadi percikan yang memicu ledakan emosi di antara mereka.

Sementara itu, Sunghoon menatap Taesan dengan tatapan penuh tantangan. "Kamu tidak mengerti situasinya, Taesan. Aku suaminya kalau kamu lupa," kata Sunghoon, suaranya dingin dan penuh tekanan. Ada nada melindungi yang jelas terdengar di suaranya, seolah-olah ia tidak ingin ada orang lain yang mendekati Wonyoung.

Wonyoung merasa jantungnya berdegup kencang, dan kepalanya berdenyut. Ia ingin mengintervensi, ingin menghentikan pertarungan verbal yang semakin memanas di antara keduanya. "Kalian berdua, tolong..." suaranya terputus, tidak tahu harus berkata apa.

Kedua pria itu tidak memperhatikan Wonyoung. Mereka terjebak dalam perdebatan, masing-masing menegaskan posisinya. Sunghoon melangkah sedikit lebih dekat, menambah intensitas dalam pertemuan mereka.
Wonyoung merasakan gelombang emosi yang meluap dalam dirinya. Ia tidak ingin berada di tengah konflik ini, tetapi semuanya terasa sangat personal. Rasa sakit, rasa bingung, dan ketidakberdayaan menyelimuti hatinya.

"Taesan," ia mencoba berbicara lagi, tetapi kali ini suaranya hampir tidak terdengar.

Wonyoung menatap Sunghoon, "Aku akan pulang dengan Sunghoon."

Sunghoon menatap Wonyoung dengan ekspresi yang sulit dibaca.Dengan langkah pelan, Wonyoung meninggalkan ruang sidang,kepalanya masih berdenyut nyeri. Namun ketika ia mendapati tangan sunghoon merangkul bahunya. Ia tak punya tenaga untuk menolak atau bertengkar dengan sunghoon.

Dan disinilah dia sekarang. Di mobil laki-laki itu,bersandar dan merebahkan kepalanya. Sunghoon menyerahkan sebotol air mineral. Di terima oleh wonyoung tanpa banyak bicara. Mobil melaju menuju konstan menuju apartemen.

Bound by dutyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang