Pagi itu, cahaya matahari yang menerobos masuk melalui tirai tipis kamar hotel membangunkan Wonyoung. Suara kicau burung dari kejauhan terdengar samar, seolah mengingatkannya bahwa hari baru telah dimulai. Ia membuka matanya perlahan, merasakan tubuhnya masih terbaring di samping Sunghoon. Nafas Sunghoon terdengar pelan dan stabil, menandakan bahwa pria itu masih terlelap.
Wonyoung menatap wajah Sunghoon, melihat ketenangan yang jarang ia temui ketika pria itu terjaga. Ada sesuatu yang berbeda pada Sunghoon, sesuatu yang membuat hatinya berdebar setiap kali memandangnya. Malam sebelumnya kembali membayang dalam pikirannya. Setiap sentuhan, ciuman, dan bisikan lembut Sunghoon masih terasa hangat di kulitnya. Ada perasaan nyaman sekaligus canggung yang menyelinap dalam hati Wonyoung, seolah ia baru saja melewati sesuatu yang besar dan penting.
Wonyoung duduk perlahan di tepi ranjang, menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. Pikirannya mulai dipenuhi oleh berbagai pertanyaan. Bagaimana kelanjutan hubungan mereka setelah malam-malam yang mereka habiskan bersama?
Sunghoon menggeliat pelan di tempat tidur, tangannya meraba-raba mencari keberadaan Wonyoung di sampingnya. Saat mendapati tempat itu kosong, matanya perlahan terbuka, lalu ia menatap Wonyoung yang duduk memunggunginya. Wonyoung menyadari gerakan Sunghoon dan menoleh, tersenyum kecil saat mata mereka bertemu.
"Selamat pagi," ucap Wonyoung pelan, suaranya masih terdengar lemah karena baru bangun tidur.
Sunghoon tersenyum, meregangkan tubuhnya sebelum duduk dan menyandarkan punggungnya pada bantal. "Selamat pagi. Tidurmu nyenyak?" tanyanya dengan suara serak khas pagi hari.
Wonyoung hanya mengangguk. Ada perasaan canggung yang tak bisa ia hindari. Ia berusaha mengalihkan perhatian dengan merapikan rambutnya yang sedikit berantakan. Sunghoon memperhatikan gerakan Wonyoung, menyadari bahwa ada sesuatu yang sedang dipikirkan oleh gadis itu.
"Ada yang mengganggumu?" tanya Sunghoon dengan nada lembut, mencoba untuk tidak menekan, tapi tetap ingin tahu apa yang dirasakan Wonyoung.
Wonyoung menunduk, menggenggam erat selimut di tangannya. "Aku hanya... merasa sedikit bingung," jawabnya jujur.
"Bingung soal apa?" Sunghoon mencondongkan tubuhnya ke depan, mencoba menangkap tatapan Wonyoung yang terlihat gelisah.
"Apa yang terjadi tadi malam...dan malam-malam sebelumnya..." Wonyoung berusaha keras untuk menyusun kata-kata, ia tidak bisa menyembunyikan kegelisahannya.
"Maksudku,kita telah melanggar persyaratan pernikahan ini,jadi apa yang akan terjadi selanjutnya?" Wonyoung mengubur bibirnya. Berusaha menenangkan perasaan gundah di hatinya. Ia hanya perlu di yakinkan....lagi. Rasanya mustahil jika sunghoon memang menyukainya. Mungkin saja laki-laki itu hanya terbawa suasana dan semua itu terjadi.
"Pernikahan ini apakah akan terus di lanjutkan?" Sunghoon mengangguk kecil.
"Why?"Sunghoon terkekeh kecil. Mencium bahu mulus gadis itu. Setelah mencerna setiap kata yang keluar dari mulut Wonyoung. Sunghoon lalu meraih tangan Wonyoung yang masih gemetar di bawah selimut.
"Karena memang harusnya begitu," ucap Sunghoon tenang, "I've loved you, wonyoung. Dulu, sekarang dan di masa yang akan datang." Lanjutnya.
Wonyoung menatap Sunghoon. Ia berbalik. Wonyoung bingung, terkejut, menuntut penjelasan. Coba bayangkan bagaimana perasaan wonyoung ketika orang yang selalu ia dambakan dalam diam,orang yang rasanya tak akan pernah bisa ia jangkau seumur hidupnya. Orang yang mendadak jadi suami karena keterpaksaan belaka, tiba-tiba berkata demikian. Bayangkan betapa bingungnya gadis itu. Apa itu lelucon semata? Sunghoon hanya mengulum senyumnya sambil ikut duduk menghadap wonyoung.
"Maksudnya?" Suaranya tercekat,nyaris tak keluar. Sunghoon mendengar itu seperti cicitan kecil.
"Aku sudah mencintai kamu jauh sebelum ini."mulut wonyoung setengah terbuka. Ia tak tahu harus bereaksi apa. Manikmya terus menusuk ke manik laki-laki mencari-cari kebohongan, barangkali ada. Tapi ternyata tidak. Sunghoon menatap maniknya dalam,senyum kecil tak hentinya tercetak di wajah tampan itu.. menggoda wonyoung untuk mengecupnya. Namun gadis itu lebih butuh penjelasan sekarang daripada hasratnya untuk melumat bibir bengkak suaminya.
"Sejak kapan?"
"Sejak aku melemparmu dengan kue." Ujarnya lalu menarik Wonyoung dalam pelukannya. Ia tahu, perasaan itu nyata, dan mereka berdua harus menghadapinya bersama.
"Aku pikir kamu membenciku,"lirih wonyoung.
.
.
.
Sunghoon menatap dalam-dalam mata Wonyoung, seolah berusaha menemukan kata-kata yang tepat. Ia mengambil napas dalam, lalu memulai, suaranya tenang tapi penuh emosi."Satu kalipun aku nggak pernah membenci kamu," Sunghoon tersenyum kecil, matanya penuh kenangan yang terlintas. "Aku ingat hari-hari pertama kita bertemu. Kamu selalu ada di sana, tapi aku terlalu pengecut untuk mendekat."
Wonyoung menunduk sedikit, menyembunyikan senyumnya yang samar. Namun, rasa penasaran menguasai dirinya.
Sunghoon tertawa pelan, mengingat momen-momen itu. "Mungkin kamu nggak sadar, tapi waktu pesta ulang tahun teman Hyejin dulu, aku nggak pernah benar-benar menikmati pestanya. Semua orang sibuk menari, tapi aku... aku cuma memperhatikanmu dari jauh. Kamu tampak begitu bahagia waktu itu, tertawa dengan teman-temanmu. Aku berpikir, 'Seandainya aku bisa jadi alasan kamu tertawa seperti itu.' Tapi aku nggak pernah punya keberanian untuk mendekat."
Wonyoung tertegun. Ia mencoba mengingat kembali momen yang dimaksud Sunghoon, namun yang terlintas di kepalanya justru adalah dirinya yang selalu merasa Sunghoon tak pernah memperhatikannya. Namun kenyataannya ternyata berbeda.
"kamu selalu menghindar ketika aku ada disana, tidak pernah ikut acara keluarga kami meskipun mamamu memaksa" Wonyoung kembali mengingat momen dimana sunghoon selalu menjaga jarak.
Sunghoon menggeleng pelan, lalu meraih tangan Wonyoung, menggenggamnya lembut. "Aku selalu ingin datang,tapi aku tidak mau melihatmu dari jarak dekat."
"Kenapa?" Tanya wonyoung cepat.
"Aku takut kamu tahu perasaanku."
Wonyoung menatap Sunghoon dengan mata berkaca-kaca, hatinya mulai melebur dengan setiap kata yang Sunghoon ucapkan. "Tapi berhasil..... Kamu berhasil buat aku berpikir kalau kamu benci banget sama aku."
Sunghoon tersenyum pahit. "Aku minta maaf,wony. Aku takut kalau aku terlalu dekat, kamu bakal sadar betapa lemahnya aku. Setiap kali aku ingin bilang sesuatu, aku selalu berhenti, karena aku nggak mau merusak apapun."
Wonyoung terdiam sejenak, memikirkan semua yang baru saja ia dengar. Ada kehangatan yang perlahan meresap ke dalam hatinya, membuatnya merasa bahwa semua yang selama ini ia pikirkan ternyata salah.
"Kamu bilang nggak akan nikahin aku meskipun cuman sisa aku perempuan di dunia ini. Kamu tau betapa sakitnya aku dengar itu?" tanya Wonyoung, suaranya bergetar, campuran antara rasa kesal dan lega.
"Aku bingung saat itu karena hubungan kita nggak pernah baik-baik aja. Kamu selalu menghindar jadi aku pikir mungkin bukan aku yang kamu untuk jadi suami kamu."
"Aku mau kamu bodoh. Kamu nya aja yang nggak peka. Aku juga udah suka kamu dari awal kita ketemu. Tapi sikap dan penolakan kamu bikin aku putus asa. Aku nyerah meskipun perasaan di hari aku nggak pernah berubah." Tangos wonyoung pecah.
Sunghoon mengerutkan kening, menatap Wonyoung dengan penuh tanda tanya. "Apa?"
"Aku juga cinta sama kamu," ucap Wonyoung, suaranya sedikit bergetar.
Sunghoon tampak terkejut, bibirnya terbuka seolah tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. "Kamu...juga?"
Wonyoung menunduk, air mata mulai mengalir perlahan di pipinya. "Iya. Mungkin sejak kita masih di sekolah. Tapi aku nggak pernah punya keberanian untuk bilang. Aku selalu takut... takut kamu nggak merasakan hal yang sama."
Sunghoon terdiam sejenak, membiarkan kata-kata Wonyoung tenggelam dalam hatinya. Ia tidak menyangka bahwa perasaan mereka sebenarnya saling bersambut sejak lama. Perasaan yang selama ini terpendam akhirnya menemukan jalannya keluar.
Dengan lembut, Sunghoon menghapus air mata Wonyoung dengan ibu jarinya, lalu mendekatkan wajahnya ke wajah gadis itu. "Kenapa kita nggak pernah bicara tentang ini?" gumamnya pelan, suaranya terdengar serak.
Wonyoung tersenyum tipis di sela-sela air matanya. "Karena kita nggak pernah mencoba."

KAMU SEDANG MEMBACA
Bound by duty
Storie d'amoreAku nggak bakal nikah sama kamu, sekalipun tinggal kamu satu-satunya perempuan di bumi. _Park Sunghoon Sampai kiamat pun aku nggak bakal nikah sama kamu _Jang Wonyoung