17

31 7 3
                                    

Sunghoon dan Yeji sudah menghabiskan waktu cukup lama di ruang tamu, berbicara tentang hal-hal ringan dan nostalgia masa kecil mereka. Meski obrolan mengalir lancar, Sunghoon mulai merasa lelah. Dia melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 11 malam, dan pikirannya sejenak tertuju pada Wonyoung, yang belum keluar dari kamarnya sejak makan malam.

"Yeji-aa tidurlah, jangan begadang" ucap Sunghoon sambil bangkit dari sofa, mengalihkan pandangannya sejenak ke arah kamar.

Yeji menatap Sunghoon dan mengangguk, “Iya, Oppa. Ini juga mau tidur. Oppa istirahat aja dulu.”Sunghoon  lalu melangkah menuju kamar yang dia bagi dengan Wonyoung. Begitu ia membuka pintu kamar dengan hati-hati, dia menemukan suasana yang tak jauh berbeda dari dugaannya—lampu meja kerja menyala lembut di sudut ruangan, dan di depan meja, Wonyoung masih duduk dengan kepala tertunduk di atas tumpukan dokumen.

Sunghoon mendekat perlahan, memperhatikan lebih saksama. Wonyoung tertidur di meja kerjanya. Setumpuk dokumen berserakan, laptopnya masih menyala, menampilkan sejumlah berkas dan catatan. Napasnya terdengar pelan dan teratur, tanda bahwa ia sudah tertidur cukup dalam.

Sunghoon berdiri di samping meja sejenak, memperhatikan wajah Wonyoung yang terlihat lelah namun damai. Dia tahu, Wonyoung sering kali tenggelam dalam pekerjaannya sebagai pengacara, terlebih saat ada persidangan besar keesokan harinya.

“Wonyoung...” Sunghoon berkata pelan, hampir berbisik, namun tak ada respons dari istrinya yang masih terlelap. Ia menghela napas, lalu memutuskan untuk membiarkan Wonyoung istirahat.

Sunghoon mendekat, lalu dengan hati-hati mengangkat tubuh Wonyoung dari kursinya. Ia mencoba bergerak perlahan agar tidak membangunkan Wonyoung dari tidurnya. Meski begitu, Wonyoung sempat bergerak sedikit dan menggumamkan sesuatu yang tidak jelas, tapi ia tetap terlelap di pelukan Sunghoon.

Sunghoon menggendong Wonyoung dengan hati-hati ke ranjang. Setelah meletakkannya di atas kasur, dia menarik selimut dan menutupi tubuh Wonyoung, memastikan ia merasa nyaman. Sunghoon berdiri sejenak di sisi ranjang, memandang wajah istrinya yang tertidur dengan tenang.

Sunghoon berjalan kembali ke meja kerja Wonyoung, mematikan laptop dan merapikan dokumen-dokumen yang berserakan. Ia tahu Wonyoung pasti membutuhkan ketenangan saat bangun nanti, dan ia tak ingin Wonyoung mendapati dirinya terbangun di tengah kekacauan pekerjaan. Setelah semuanya beres, Sunghoon kembali ke sisi ranjang dan duduk di tepinya.

“Kamu selalu bekerja terlalu keras,” gumamnya pelan, meski tahu Wonyoung tak akan mendengar. Ia mengusap rambut Wonyoung perlahan, lalu menarik napas panjang. Ketenangan kamar terasa berbeda, lebih sunyi namun menenangkan.

Sunghoon merebahkan dirinya di samping Wonyoung, meski ia tak langsung berusaha untuk tidur. Pikirannya masih memikirkan pekerjaan Wonyoung yang begitu banyak. Ia tahu bahwa Wonyoung adalah seorang profesional yang berdedikasi tinggi, tapi Sunghoon tidak bisa mengabaikan kekhawatirannya tentang kesehatannya.
.
.
.

Keesokan harinya, setelah sidang besar selesai, Wonyoung keluar dari ruang pengadilan dengan perasaan lega meskipun kelelahan masih terasa. Saat hendak meninggalkan gedung, ponselnya bergetar, menampilkan pesan dari Taesan.

_"Aku sudah di coffee shop depan pengadilan."_

Wonyoung tersenyum kecil. Taesan selalu tahu bagaimana mencairkan suasana setelah hari yang berat. Ia setuju untuk bertemu Taesan dan berjalan menuju coffee shop yang terletak di seberang jalan.

Di dalam, Taesan sudah menunggunya di sudut ruangan dengan senyuman yang familiar. "Kamu terlihat hebat tadi di persidangan," ucapnya saat Wonyoung mendekat.

"Terima kasih," balas Wonyoung sambil duduk, meletakkan tasnya di kursi samping. "Aku memang butuh kopi setelah hari panjang ini."

Percakapan mereka mengalir dengan lancar, seperti biasanya. Taesan dengan mudah membuat Wonyoung tertawa, membantunya melupakan stres pekerjaan. Wonyoung merasa lebih ringan, menikmati momen sederhana itu tanpa beban. Namun, di tengah-tengah obrolan mereka, pintu coffee shop terbuka, dan masuklah Sunghoon bersama rekan kerjanya.

Sunghoon melangkah masuk ke coffee shop bersama Karina,rekan kerjanya, setelah menyelesaikan rapat penting di gedung sebelah. Udara di dalam ruangan terasa lebih sejuk dibandingkan di luar, memberikan sedikit kenyamanan setelah hari yang panjang. Sunghoon melirik sekeliling, namun langkahnya tiba-tiba terhenti ketika matanya menangkap sosok yang sangat dikenalnya.

Di sudut ruangan, Wonyoung duduk bersama seorang pria. Mereka terlihat berbincang sambil tersenyum, dan Wonyoung tertawa kecil, wajahnya tampak rileks dan nyaman. Laki-laki yang duduk di seberangnya, seolah hanya fokus pada Wonyoung, matanya menunjukkan ketertarikan dan perhatian penuh.

Sunghoon menahan napas sejenak. Pandangannya terkunci pada Wonyoung. Karina, yang ada di sampingnya, menyadari perubahan sikap Sunghoon dan mengikuti arah pandangannya.

"Kamu kenal Taesan?" tanya Jisoo dengan nada ringan, meskipun ia bisa merasakan ketegangan yang tiba-tiba muncul dari Sunghoon.

"Taesan?" Dahi sunghoon berkerut. Oh namanya Taesan.

"Iya, laki-laki itu Han Taesan. Salah satu pengacara berbakat selain Jang wonyoung. Baru-baru ini ia pindah ke firma hukum tempat wanita itu bekerja.   Berita yang cukup menghebohkan dan membuat beberapa firma hukum terkenal lainnya minder. " Sunghoon diam menyimak.

"Dua orang kompeten di satukan dalam firma hukum yang sama. Aku bisa merasakan ketakutan firma hukum lainnya. Lihat saja mereka." Karina cukup tahu banyak hal tentang kedua pengacara itu. Sunghoon berdehem. Pura-pura tak tahu.

"Aku beberapa kali pernah menjadi jaksa penuntut klien wanita itu. Ya dia memang sangat berbakat. Tapi kalau Taesan aku belum pernah dengar." Ujarnya.

Karina terkekeh. " Sesekali kamu harus baca berita tentang laki-laki itu. Mungkin sedikit banyak membuatmu terkejut. " Sunghoon tidak menjawab, wajahnya berubah datar. Dengan sikap yang jauh lebih kaku, dia berjalan menuju kasir dan  mengalihkan pandangannya dari  Wonyoung. Sikapnya berubah dingin seketika. Wonyoung, di sisi lain, tampaknya tidak menyadari kehadiran Sunghoon, atau mungkin sengaja mengabaikannya, terlalu fokus pada obrolannya dengan Taesan.

"Pesan biasa?" tanya Karina, mencoba mencairkan suasana yang semakin tegang.

"Ya," jawab Sunghoon singkat, nadanya dingin, hampir tak bernada. Dia bahkan tidak menoleh ke arah karina, matanya tetap lurus ke depan.

Setelah memesan kopi, mereka berdiri menunggu di dekat meja kasir. Sunghoon tetap diam, sikapnya kaku dan wajahnya sama sekali tidak menunjukkan emosi. Matanya sekali lagi sekilas melirik ke arah Wonyoung, yang tampak begitu santai bersama Taesan, senyumnya masih terpancar dengan lembut.

Sunghoon merasakan ada sesuatu yang menusuk hatinya, tapi dia menekannya jauh-jauh. Dia tahu, sebagai seorang suami di atas kertas, dia seharusnya tidak membiarkan sesuatu yang seperti ini mengganggunya , tapi pemandangan itu terlalu sulit untuk diabaikan. Rasanya asing melihat Wonyoung begitu ceria di hadapan orang lain, sementara jika hanya berdua dengannya , suasana terasa lebih dingin dan jarang ada tawa seperti itu. Hanya karena kehadiran yeji, perempuan bisa sedikit lebih rileks.  Hanya karena Yeji.

Pesanan kopi mereka akhirnya siap. Karina mengambil cangkirnya lebih dulu, melirik Sunghoon yang tetap diam dengan tatapan kosong. "Ayo, keluar?" Karina mencoba mengajak dengan nada penuh kehati-hatian.

Sunghoon hanya mengangguk tanpa berkata apa-apa. Mereka berjalan keluar coffee shop tanpa sepatah kata pun. Sunghoon tak sekalipun berpaling kembali ke arah Wonyoung, hanya diam dan memasang ekspresi yang semakin dingin.

Di dalam, Wonyoung akhirnya menyadari kehadiran Sunghoon. Tatapan mereka sempat bertemu sekilas saat Sunghoon sedang menuju pintu keluar, namun Wonyoung hanya diam, mengamati dari jauh. Dia tahu ada sesuatu yang berubah dalam cara Sunghoon melihatnya, tapi memilih untuk tak menunjukkan apa-apa. Kembali ke obrolan dengan Taesan, meskipun pikirannya tak bisa benar-benar fokus lagi setelah itu.

Di luar, Sunghoon meremas cangkir kopinya lebih keras dari yang seharusnya, rasa dingin di dadanya semakin menguat.

Bound by dutyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang