Wonyoung melangkah bersama Yujin, Rei, dan Yuna, menikmati malam di tengah obrolan ringan mereka. Meski mereka asyik berbicara, Wonyoung tidak sepenuhnya fokus. Pikirannya berlarian ke tempat lain, penuh dengan kenangan yang tiba-tiba muncul ketika melihat Han Taesan tadi.
Rei dan Yuna terus tertawa, membicarakan sesuatu yang terjadi di kampus. Wonyoung tersenyum samar, mencoba ikut serta dalam obrolan, tapi tidak sepenuhnya terlibat. Ada sesuatu yang terus menggelayut di pikirannya—sesuatu yang tak ingin ia pikirkan, tapi tak bisa ia abaikan.
Setelah beberapa jam di kafe, teman-temannya berpamitan, dan Wonyoung melangkah sendirian menuju halte bus. Malam semakin larut, dan hawa dingin perlahan menusuk kulit. Wonyoung menarik jaketnya lebih rapat dan memandang ke jalanan sepi di depannya.
Saat sedang berdiri menunggu bus, sebuah suara yang familiar memanggilnya.
"Wonyoung?"
Ia menoleh dan melihat Han Taesan berdiri di samping mobil hitamnya. Pria itu tampak santai, seolah-olah tak ada apa-apa yang mengganggunya.
"Kamu sendirian?" tanyanya.
Wonyoung mengangguk. "Ya, teman-temanku sudah pulang. Aku sedang menunggu bus."
Taesan mengangkat alisnya dan menggelengkan kepala pelan. "Bus di jam segini? Aku antar saja."
Wonyoung ragu sejenak, lalu akhirnya menerima tawarannya. "Baiklah, terima kasih."
Mereka naik ke dalam mobil, dan suasana di antara mereka tetap tenang dan hening. Taesan, yang selama ini penuh dengan kesan percaya diri dan profesional, kali ini tak banyak bicara. Ia hanya fokus pada jalanan yang terbentang di depannya, sementara Wonyoung terdiam, tak tahu harus berkata apa.
Di dalam mobil, mereka terjebak dalam keheningan yang canggung. Tidak ada obrolan ringan seperti sebelumnya, hanya suara pelan musik klasik yang diputar dari radio mobil.
Ketika mereka sampai di depan apartemen Wonyoung, Taesan mematikan mesin mobil dan menoleh padanya. "Sampai di sini. Hati-hati, ya."
"Terima kasih," jawab Wonyoung dengan senyum kecil, mencoba menutupi rasa canggung yang kembali muncul. "Aku benar-benar menghargai tumpangannya."
Taesan hanya mengangguk, tersenyum tipis sebelum ia menyalakan mesin kembali dan melaju pergi.
Wonyoung menghela napas dan melangkah masuk ke dalam gedung apartemennya. Namun, tanpa ia sadari, seseorang telah melihat momen itu dari jauh.
Sunghoon berdiri di dekat jendela apartemen mereka yang terletak di lantai dua, memandang ke bawah dengan tatapan datar. Ia melihat mobil hitam itu, melihat Wonyoung turun dari mobil, dan pria yang duduk di belakang kemudi. Tapi Sunghoon hanya terdiam. Ia tidak merasakan dorongan untuk bertanya atau bereaksi berlebihan. Ia tahu sejak awal bahwa hubungannya dengan Wonyoung tidak lebih dari kesepakatan, sesuatu yang tak sepenuhnya didasarkan pada perasaan cinta.
"Ini bukan urusanku," gumamnya pada dirinya sendiri. Meski di dalam hatinya, ada sesuatu yang tak bisa ia abaikan—sebuah perasaan asing yang mulai muncul saat melihat Wonyoung bersama pria lain.
Namun, seperti biasa, Sunghoon menyingkirkan pikiran itu dan kembali pada rutinitasnya. Ia tahu bahwa fokusnya adalah pada pekerjaan dan tanggung jawab, bukan pada hal-hal yang tak bisa ia kendalikan.
Saat Wonyoung masuk ke dalam apartemen, ia melihat Sunghoon masih duduk di sofa dengan laptop di pangkuannya. Mereka saling bertukar pandang singkat, tetapi tak ada kata-kata yang terucap.
Sunghoon menatap layar laptopnya lagi, mencoba terlihat sibuk. Wonyoung, yang merasa ada ketegangan tak terucapkan di antara mereka, hanya berjalan ke dapur untuk mengambil segelas air. Mereka seperti dua orang asing yang berbagi ruang, namun jarak emosional di antara mereka semakin lebar setiap harinya.
Dan malam itu, seperti malam-malam sebelumnya, keheningan kembali mengisi ruang di antara mereka, meninggalkan pertanyaan-pertanyaan yang tak pernah benar-benar terjawab.
Keesokan paginya, Wonyoung terbangun dengan tubuh lelah, meskipun malam sebelumnya ia tak benar-benar melakukan banyak hal. Pikirannya masih tertuju pada percakapan canggung di mobil bersama Han Taesan, dan terutama pada Sunghoon yang diam saja saat ia masuk ke apartemen.
Ketika Wonyoung keluar dari kamar, ia melihat Sunghoon sudah berpakaian rapi, siap untuk bekerja seperti biasa. Tidak ada perubahan dalam ekspresinya, sama datarnya seperti kemarin. Ia duduk di meja makan sambil membaca sesuatu di tablet, seolah-olah tak ada hal penting yang harus mereka bicarakan.
Setelah beberapa saat, Sunghoon menaruh tabletnya dan menoleh padanya. "Aku sudah membeli sesuatu untukmu."
Wonyoung mengernyit, sedikit bingung. "Maksudnya?"
Sunghoon berdiri dan berjalan menuju pintu apartemen. "Tunggu sebentar."
Beberapa saat kemudian, Sunghoon kembali masuk, tetapi kali ini dengan sebuah kunci mobil di tangannya. Ia melemparkannya ke meja di depan Wonyoung tanpa banyak bicara.
"Itu untukmu," kata Sunghoon singkat.
Wonyoung memandang kunci mobil itu dengan terkejut. "Apa ini?"
"Aku membelikanmu mobil baru," jawab Sunghoon datar. "Kamu sepertinya butuh mobil."
Wonyoung terdiam sesaat, hatinya sedikit tersentak oleh perhatian mendadak ini. Tapi ia segera menenangkan diri dan menatap Sunghoon dengan tatapan tegas. "Aku tidak butuh mobil baru. Mobilku sedang di bengkel, mungkin tiga hari lagi selesai."
Sunghoon, yang berdiri di depannya dengan tangan dimasukkan ke saku celana, tak menunjukkan reaksi besar. Ia hanya menatap Wonyoung tanpa banyak perubahan ekspresi. "Tidak apa-apa. Gunakan saja sampai mobilmu selesai diperbaiki. Setelah itu, lakukan apa yang kamu mau dengan mobil ini. Jual, berikan, atau simpan. Terserah."
Wonyoung menghela napas, sedikit frustrasi dengan caranya yang begitu tenang dan tak terlibat emosional. "Sunghoon, kamu tidak perlu melakukan ini. Aku bisa mengurus diriku sendiri. Aku sudah bilang, mobilku hanya sedang diperbaiki."
Sunghoon melangkah lebih dekat, menatap Wonyoung dengan tatapan yang sulit diartikan. "Ini bukan masalah kamu bisa mengurus dirimu atau tidak, Wonyoung. Aku hanya tidak ingin melihatmu kesusahan. Ambil saja mobil ini, gunakan sesuai keinginanmu."
Ia lalu menyerahkan kunci mobil itu ke tangannya, menempatkannya di atas meja dengan gerakan perlahan. "Aku tak ambil pusing dengan apa yang kau lakukan setelahnya. Aku hanya ingin memastikan kau tidak mengalami kesulitan."
Wonyoung terdiam. Kata-kata Sunghoon terasa datar, seolah-olah hanya tanggung jawab baginya. Tidak ada emosi yang kuat di balik tindakannya. Tapi di sisi lain, ia tahu Sunghoon bukan tipe orang yang berlebihan dalam hal seperti ini. Semua dilakukan dengan alasan yang rasional dan praktis.
Setelah beberapa saat, Wonyoung akhirnya mengangguk pelan. "Baiklah. Tapi setelah mobilku selesai, aku akan mengembalikannya."
Sunghoon tidak memberikan reaksi besar, hanya mengangguk sedikit sebelum kembali ke aktivitasnya. Seolah-olah perdebatan tadi hanyalah hal sepele.
Wonyoung menatap kunci mobil itu, masih bingung dengan caranya menghadapi Sunghoon yang seperti ini. Meski niat Sunghoon mungkin baik, tetap saja terasa aneh bagi Wonyoung. Ia tahu Sunghoon memiliki sifat yang penuh tanggung jawab, tapi ada perasaan di dalam dirinya yang berharap lebih dari sekadar sikap dingin dan formalitas ini.
Namun, ia memutuskan untuk menyingkirkan pikiran itu, mengambil kunci mobil, dan memasukkannya ke dalam tas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bound by duty
RomanceAku nggak bakal nikah sama kamu, sekalipun tinggal kamu satu-satunya perempuan di bumi. _Park Sunghoon Sampai kiamat pun aku nggak bakal nikah sama kamu _Jang Wonyoung