Taesan membantu Wonyoung berjalan menuju lorong yang lebih sepi di luar klub, jauh dari keramaian dan kebisingan. Wonyoung masih merasa pusing, namun ia mencoba menjaga kesadarannya. Taesan menggenggam pinggangnya dengan hati-hati, namun ada sesuatu dalam tatapannya yang mulai berubah. Rasa suka yang telah lama ia simpan tampak mengalahkan logikanya malam itu, terutama saat melihat Wonyoung begitu dekat dan tampak rentan.
“Wony, kamu beneran cantik banget malam ini...” bisik Taesan dengan suara yang hampir tenggelam dalam desiran musik klub yang samar. Wonyoung mengangkat wajahnya, mencoba tersenyum meski kepalanya masih berputar.
Namun, sesuatu dalam sikap Taesan membuat Wonyoung merasa tidak nyaman. Ketika ia mencoba melepaskan diri perlahan, Taesan malah semakin mendekat, dan sebelum Wonyoung menyadari apa yang terjadi, ia merasakan tangan Taesan menyentuh pipinya. Tatapan Taesan berubah menjadi lebih intens, penuh keinginan yang tak tertahankan.
“Taesan... tunggu... aku nggak...” kata Wonyoung terbata-bata, suaranya lemah dan bergetar. Tubuhnya terasa terlalu lemah untuk mendorong Taesan menjauh.
Taesan, yang sudah kehilangan kendali, mendekatkan wajahnya, mencoba mencium Wonyoung. Namun, meski dalam kondisi mabuk, naluri Wonyoung segera menendang. Ia memalingkan wajahnya dengan cepat, mendorong Taesan dengan sisa tenaganya yang tersisa.
“Taesan, berhenti!” teriak Wonyoung, suaranya kini lebih tegas meskipun sedikit gemetar. Ia menatapnya dengan mata lebar, rasa takut mulai menguasainya.
Taesan terkejut oleh reaksi Wonyoung, dan dalam sekejap, kesadarannya kembali. Ia melangkah mundur, tangannya terangkat seolah meminta maaf. “Won... aku... aku nggak bermaksud begitu... maaf...” ucapnya dengan nada penuh penyesalan.
Wonyoung menatapnya dengan rasa marah dan terluka, meskipun kepalanya masih berputar karena alkohol. “Aku mau pulang,” ucapnya singkat, lalu dengan langkah goyah, ia berjalan menuju pintu keluar klub, meninggalkan Taesan yang masih terdiam dalam penyesalan.
Begitu di luar klub, Wonyoung menyandarkan tubuhnya pada tembok, berusaha menenangkan diri. Ia merogoh ponselnya dan dengan tangan gemetar, ia mengetik pesan singkat.
'Yuna aku diluar. Aku mau pulang."
.
.
.
Wonyoung mulai menangis, air matanya tak lagi bisa ia tahan setelah masuk ke dalam mobil Sunghoon. Sunghoon menutup pintu dengan pelan, lalu segera duduk di kursi pengemudi, menatap Wonyoung dengan penuh kekhawatiran. Ia tahu sesuatu yang buruk pasti telah terjadi. Wonyoung bukan tipe orang yang mudah goyah, apalagi sampai menangis di depannya.“Wonyoung, apa yang terjadi?” Sunghoon bertanya dengan suara lembut namun tegas. Wonyoung menutup wajahnya dengan kedua tangan, bahunya bergetar hebat saat tangisnya makin terdengar jelas.
Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, Wonyoung akhirnya bisa berkata meski suaranya terputus-putus. “Taesan... dia...” Wonyoung terisak, mencoba mengumpulkan kekuatan untuk melanjutkan, “dia mencoba... menciumku...”
Kata-kata itu membuat Sunghoon seketika membeku. Ia memandang Wonyoung dengan tatapan tak percaya, jantungnya berdebar kencang dan kemarahan mulai menyelimuti dirinya. “Apa... maksudmu?” tanyanya, meskipun ia sudah paham apa yang terjadi, seakan berharap bahwa ia salah dengar.
Wonyoung menghapus air matanya dengan gemetar, suaranya penuh rasa sakit dan ketakutan. “Aku nggak tahu... dia tadi baik-baik saja... lalu tiba-tiba dia mulai berubah. Aku merasa tidak nyaman, dan ketika aku coba menjauh, dia... dia mencoba memaksaku. Dia mau menciumku, Sunghoon...”
Kemarahan dalam diri Sunghoon melonjak begitu mendengar pengakuan itu. Rahangnya mengeras, napasnya menjadi berat. Perasaan terluka dan rasa sayang kepada Wonyoung bercampur dengan kebencian terhadap Taesan yang telah mencoba melukai gadis itu. Ia tak bisa membiarkan ini berlalu begitu saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bound by duty
RomanceAku nggak bakal nikah sama kamu, sekalipun tinggal kamu satu-satunya perempuan di bumi. _Park Sunghoon Sampai kiamat pun aku nggak bakal nikah sama kamu _Jang Wonyoung