18

34 8 2
                                    

Sunghoon berjalan keluar dari coffee shop dengan langkah berat, hatinya dipenuhi kekacauan yang berusaha ia abaikan. Ia tahu, seharusnya dia tidak mempedulikan apa yang dilihatnya. Hubungannya dengan Wonyoung hanyalah formalitas, sebuah kesepakatan yang mereka jalani tanpa benar-benar melibatkan perasaan mendalam. Tapi pemandangan tadi—Wonyoung yang begitu nyaman bersama Taesan—menyulut perasaan yang selama ini Sunghoon coba redam.

Karina memandang Sunghoon dengan cermat, mencoba membaca situasi. Namun, dia tak ingin terlalu mendesak. Mereka berjalan menuju mobil tanpa banyak bicara, suasana di antara mereka terasa dingin dan canggung.

Ketika mereka sampai di dalam mobil, Karina mencoba mengalihkan perhatian, “Kamu baik-baik saja, Sunghoon? Kelihatannya ada yang mengganggu pikiranmu.”

Sunghoon menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan pikirannya. “Aku baik-baik saja,” jawabnya dengan nada datar. "Hanya lelah, mungkin."

Karina mengangguk pelan, meski tak sepenuhnya percaya. "Kalau begitu, istirahat yang cukup. Jangan terlalu memaksakan diri."

Sunghoon hanya mengangguk tanpa banyak bicara. Selama perjalanan pulang, pikirannya tetap terpaku pada Wonyoung dan Taesan. Dia tahu, dia tak punya hak untuk merasa cemburu atau terganggu. Namun, perasaan asing itu terus menghantuinya. Dia mencoba meyakinkan dirinya bahwa ini bukan urusannya, bahwa Wonyoung berhak menjalani hidupnya seperti yang ia mau. Tapi, di sisi lain, Sunghoon tak bisa menghilangkan rasa sesak yang menyelinap di dadanya.
.
.
.
Malam itu, setelah Sunghoon tiba di apartemen, rasa lelah fisik yang biasanya mendorongnya untuk segera tidur, tidak lagi cukup kuat untuk mematikan kekacauan dalam pikirannya. Dia berdiri di depan jendela, menatap lampu-lampu kota yang berpendar di kejauhan, mencoba mencari ketenangan dari hiruk pikuk di luar sana. Namun, pikirannya terus saja kembali pada momen di coffee shop.

Sunghoon menarik napas panjang, berusaha meyakinkan dirinya sekali lagi. 'Ini bukan urusanku. Aku dan Wonyoung hanya terikat di atas kertas.' Tapi, suara hatinya berkata lain. Selama ini, dia selalu berusaha menjalani peran sebagai suami dengan batasan-batasan yang jelas, tanpa melibatkan emosi yang lebih dalam.

Dia menatap ke arah ranjang yang kosong, di mana Wonyoung selalu terlelap. Hubungan mereka, meski dingin dan formal, selalu diselimuti oleh perasaan tidak terucapkan. Wonyoung jarang berbicara tentang dirinya, dan Sunghoon tahu dia menyimpan banyak hal. Mereka berdua seolah hidup dalam realitas yang berbeda, meskipun tinggal di atap yang sama.

Ketika hampir larut malam. Sunghoon belum tidur. Ia berkutat dengan laptopnya di sofa,disudut kamar. Ketika pintu kamar terbuka, sunghoon mencoba untuk tak menoleh.

"Maaf aku pulang terlambat. Yeji udah tidur?" Tanya wonyoung. Sunghoon mendongak.

"Sudah,dia tidur lebih awal."

"Baiklah. Tadi kalian makan malam bareng?" Sunghoon menggeleng.

"Aku juga pulang telat. Dia sudah makan ketika aku pulang. Lain kali beritahu dia kalau kamu pulang telat. Yeji tadi nungguin buat makan malam." Wajah wonyoung langsung berubah. Menjadi merasa bersalah mendengar itu.

"Lain kali aku akan kasih tau yeji." Wonyoung berlalu ke kamar mandi. Suara gemericik air terdengar.

Sunghoon memijat pelipisnya kasar. Meletakkan laptopnya ke meja kerja. Ia pusing. Sunghoon memilih merebahkan dirinya di sofa. Bersiap untuk tidur. Namun ketika pintu kamar mandi di buka. Aroma gadis itu menguar,hingga membuatnya terganggu. Aroma bunga yang segar sekaligus calm. Sunghoon menghela napas kasar. Menutup wajahnya dengan lengan. Mencoba sekuat tenaga untuk tidak melihat ke arah gadis itu yang kini sibuk mengeringkan rambut di meja riasnya. Bunyi mesin hairdryer ternehar lembut. Mengisi ruangan yang kosong dan dingin itu.

Bound by dutyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang