24

40 11 4
                                    


Yeji masuk ke apartemen dengan langkah ringan, namun berhenti sejenak ketika melihat Sunghoon di dapur, tengah menyiapkan makanan. Dia tidak memasak, hanya menyusun makanan yang tampak baru dipesan.

"Eonni belum pulang?" tanya Yeji sambil mendekat.

Sunghoon menoleh sebentar, lalu kembali fokus pada pekerjaannya. "Dia di kamar. Wonyoung demam, tapi sekarang sudah lebih baik."

Yeji mengernyitkan dahi, lalu meminta izin untuk masuk ke kamar. Sesaat kemudian, dia sudah berada di sisi Wonyoung yang berbaring dengan wajah pucat.

"Eonni?" panggilnya lembut.

Wonyoung membuka mata, tersenyum kecil. Dia mengayunkan tangannya, meminta Yeji duduk di sampingnya. Yeji menuruti, lalu menempelkan tangan ke dahi Wonyoung.

"Demamnya sudah turun," ujar Yeji, sedikit lega.

Wonyoung mengangguk pelan. "Cuma nyeri haid, jadi demam. Kali ini nggak parah, jadi nggak usah khawatir."

Yeji masih menatapnya dengan cemas. "Kalau butuh apa-apa, panggil aku ya, Eonni."

Wonyoung tersenyum lagi, kali ini lebih lebar. "Iya, aku tahu. Kamu tenang aja."

Setelah memastikan Wonyoung baik-baik saja, Yeji kembali ke ruang makan. Sunghoon sudah duduk di meja, tampak tenang.

"Dia baik-baik aja, kan?" tanya Sunghoon tanpa mengalihkan pandangan dari meja.

Yeji mengangguk. "Iya, cuma butuh istirahat. Kamu sudah pesan makanan?"

Sunghoon mengangguk. "Iya, buat jaga-jaga kalau dia lapar nanti."

Yeji tersenyum, merasa ada kehangatan di antara keduanya, meski Sunghoon tetap tampak tenang dan tak banyak bicara.
.
.

Apartemen itu sunyi, hanya terdengar suara AC yang  lembut di sudut ruangan. Sunghoon berdiri di dekat meja makan, menatap ponselnya sejenak, namun pikirannya terus tertuju ke Wonyoung di kamar. Gadis itu berkeras bahwa dia baik-baik saja, tetapi Sunghoon tahu dari raut wajahnya dan cara dia meringis tadi—Wonyoung sedang tidak baik-baik saja.

Dia mendesah, meletakkan ponsel di meja. Ada pergolakan di dalam dirinya, antara mempercayai kata-kata Wonyoung atau mengikuti nalurinya yang mengatakan bahwa dia harus melakukan sesuatu. Dalam diam, dia berjalan menuju kamar.

Tanpa mengetuk, Sunghoon membuka pintu perlahan. Cahaya lampu temaram dari sudut kamar memantulkan bayangan samar Wonyoung yang berbaring meringkuk di balik selimut. Raut wajahnya tegang, kedua tangannya memegangi perut dengan erat. Dia terlihat sedang menahan rasa sakit yang teramat sangat.

Sunghoon langsung mendekat dan berlutut di samping ranjang. “Kenapa kamu nggak bilang kalau nyerinya semakin parah?” tanyanya dengan nada cemas.

Wonyoung membuka mata, menatapnya dengan lelah. “Aku nggak mau bikin kamu khawatir… lagipula, aku bisa tahan kok.”

Sunghoon menatapnya tak percaya. “Tahan? Wonyoung, kamu jelas-jelas kesakitan. Ini bukan sesuatu yang bisa kamu anggap enteng.” Suaranya sedikit bergetar.

Wonyoung menarik napas pelan, mencoba menenangkan diri di tengah gelombang nyeri yang kembali menghantam. “Aku sudah biasa dengan ini, Sunghoon. Setiap bulan… sama saja.”

“Kamu udah minum obat pereda nyerinya?” tanya Sunghoon cepat. Dia duduk di tepi ranjang, menggenggam tangan Wonyoung yang dingin. Wonyoung mengangguk lemah.

“Aku bisa bantu apa? Mau di pijat lagi?”

Wonyoung terdiam, terpaku pada tatapan mata Sunghoon yang begitu serius. Untuk sesaat, dia merasakan kehangatan yang berbeda, bukan hanya dari sentuhan tangan Sunghoon, tetapi juga dari perhatian yang terpancar jelas dari dirinya. Ada ketulusan yang dalam, sesuatu yang membuat Wonyoung merasa bersalah karena terus menahan diri.

“Tapi kamu…” Wonyoung mencoba bicara, suaranya lemah. “Kamu juga pasti capek. Nggak usah repot-repot begini.”

Sunghoon menatapnya dalam-dalam, wajahnya tampak terluka dengan kata-kata itu. “ Sebagai rekan kerja aku akan selalu membantu,apapun itu.” Ada keheningan yang menggantung di udara sejenak sebelum dia melanjutkan, “Dan sebagai suami pura-pura kamu,aku bertanggung jawab memastikan kamu baik-baik saja, wonyoung. Itu janjiku di depan ayahmu.” sunghoon mencoba mengulum senyumnya. Namun tak ada yang tahu bahwa ketika kalimat itu keluar dari mulutnya, sunghoon merasakan suatu penolakan dari dirinya. Setidaknya untuk satu kata yang terasa tidak tepat menggambarkan perasaannya.

Wonyoung menggigit bibir bawahnya, menahan perasaan aneh yang tiba-tiba muncul. Dia tahu Sunghoon benar, tetapi dia juga tidak ingin mendengar kata itu. Suami pura-pura. Namun, ketika rasa nyeri kembali menusuk, pertahanannya runtub wonyoung menangis. Bukan untukrasa sakit di perutnya. Tetapi rasa sakit lain yang ia rasakan ketika mendapati dirinya ternyata perlahan telah menjatuhkan dirinya pada sunghoon. Ia merasa sakit ketika sunghoon mengatakan mereka rekan kerja,suami pura-pura.

"Sunghoon....." Wonyoung mengigit bibirnya. Air matanya masih mengalir. Membentuk aliran sungai kecil di pipi mulusnya. Sunghoon Dnegan cepat menghapus air mata gadis itu. Ia tak tega melihat wonyoung menangis.

"Aku harus apa untuk menghilangkan sakitnya? " Tatapan mereka bertemu. Wonyoung mengigit bibirnya ketika kalimat yang coba ia utarakan tertahan di tenggorokan. Ia tak bisa memberitahu sunghoon. Lidahnya kelu. Ia takut ketika ia memberi tahu laki-laki itu sebuah penolakan akan ia terima. Wonyoung merasa dirinya bukan apa-apa di bandingkan Karina. Dan melihat kedekatan Karina dan sunghoon sudah jelas kalau mereka lebih dari sekedar rekan kerja. Wonyoung benci fakta bahwa ia tetap tak menjadi pilihan meski situasinya sudah berubah.

Dulu sekali,ketika ia melihat sunghoon yang menjadi legenda di sekolahnya. Bahkan meski laki-laki itu telah tamat,semua tetap membicarakannya, tentang betapa banyak gadis yang mengincarnya namun di tolak, tentang hadiah-hadiah yang selalu mengisi lokernya setiap hari, tentang prestasi laki-laki itu dan yang terkahir tentang mantan yang laki-laki itu bicarakan dengan yeji. Dan dalam kisah hebat sunghoon,wonyoung sadar. Ia tak pernah masuk ke dalam hidup pria itu sebagai sesuatu yang ia harapkan. Tak akan pernah. Meskipun ia telah menikah Dnegan sunghoon,namun rasanya laki-laki itu begitu jauh.

Kalimat yang ia ucapkan ketika perjodohan ini direncanakan,itu bohong.

Kalimat bahwa ia tak akan pernah menikah dengan sunghoon sekalipun kiamat,itu adalah kebohongan terbesar yang pernah ia ucapkan . Ia mengagumi,mencintai laki-laki jauh sebelum semuanya terasa berbeda. Ketika ia melihat seorang anak laki-laki yang sedang melukis di taman komplek. Ketika ia diam-diam memperhatikan sunghoon berangkat ke sekolah. Ia takut mengakui bahwa cintanya yang selalu bertepuk sebelah tangan akan terasa lebih nyata ketika ia menerima penolakan. Jadi lebih baik berpura-pura bahwa ia tak pernah menyukai laki-laki itu.

Lamunannya buyar. Ketika Sunghoon dengan cepat menarik selimut, meletakkan tangannya di perut Wonyoung, memijat perlahan. 

Wonyoung menghela napas berat, membiarkan tangannya menggenggam lengan Sunghoon erat, mencoba menahan nyeri. Dia sangat lelah, bukan hanya secara fisik, tetapi juga emosional. “Terima kasin,” suaranya hampir tenggelam dalam keheningan kamar.

Sunghoon menghentikan pijatannya sebentar, menatap Wonyoung lembut. “Ini sudah tugasku. Kamu nggak perlu berterima kasih."

Bound by dutyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang