21

23 8 1
                                    

Ruang sidang pagi itu dipenuhi oleh aura tegang. Cahaya lampu langit-langit yang terang bersinar di atas meja kayu panjang yang diatur rapi, sementara pengacara, jaksa, dan klien masing-masing mengambil tempat mereka. Suasana itu begitu formal dan dingin, kontras dengan perasaan panas yang berkecamuk di dalam hati Wonyoung saat ia duduk di sisi meja, dengan dokumen-dokumen hukum tersusun rapi di depannya.

Ia menatap ruangan di sekitarnya, mencoba menenangkan detak jantungnya yang tak menentu. Ini bukan pertama kalinya ia berada di ruang sidang, dan ia seharusnya terbiasa dengan tekanan yang ada. Namun, hari ini berbeda. Karena Sunghoon ada di sana. Tepat di seberang ruangan.

Sunghoon duduk tegak di kursi jaksa penuntut, mengenakan setelan hitam formal yang membuat sosoknya terlihat tegas. Wonyoung mencoba menghindari tatapannya, tetapi ia tidak bisa mengabaikan kehadiran Sunghoon, yang seakan memenuhi seluruh ruangan dengan energinya. Ia tahu bahwa sidang hari ini akan sulit-bukan hanya karena kasus yang mereka hadapi rumit, tetapi juga karena emosi di antara mereka yang sudah lama tak terselesaikan.

Sunghoon berdiri, membuka sidang dengan suara tegas. "Yang Mulia, hari ini kita akan membahas kasus penipuan yang dilakukan oleh terdakwa atas klien saya."

Wonyoung menarik napas dalam-dalam, merasakan ketegangan yang semakin menguat di antara mereka. Kasus ini bukan kasus kecil. Kliennya, seorang pengusaha muda, dituduh melakukan penipuan dalam transaksi bisnis besar. Tugas Wonyoung adalah membela kliennya dengan segala kemampuan yang ia miliki. Namun, dengan Sunghoon sebagai jaksa penuntut, segala sesuatunya menjadi jauh lebih sulit.

Setiap kata yang keluar dari mulut Sunghoon terasa seperti serangan langsung terhadap dirinya, bukan hanya terhadap klien yang ia bela. Wonyoung tahu bahwa ini hanya pekerjaan bagi mereka berdua, tetapi rasa bersaing yang aneh muncul di dalam dirinya. Ia tidak ingin kalah-bukan hanya karena profesionalitas, tetapi karena ada sesuatu di dalam dirinya yang ingin membuktikan bahwa ia bisa berdiri setara dengan Sunghoon, bahkan setelah semua yang terjadi di antara mereka.

Ketika giliran Wonyoung tiba untuk berbicara, ia berdiri dengan percaya diri. Matanya berusaha tetap fokus pada dokumen di depannya, meskipun sebagian dari dirinya ingin melihat ke arah Sunghoon, untuk melihat reaksinya.

"Yang Mulia," Wonyoung memulai dengan nada tenang namun penuh otoritas, "klien saya tidak bersalah atas tuduhan yang diajukan. Tuduhan ini didasarkan pada kesalahpahaman dalam kontrak, dan bukti-bukti yang diajukan tidak cukup kuat untuk membuktikan adanya niat jahat."

Ia memaparkan argumen-argumennya dengan terperinci, menunjukkan celah dalam kasus yang dibangun oleh pihak Sunghoon. Di satu sisi, ia merasa lega bisa fokus pada pekerjaannya. Namun, di sisi lain, ia bisa merasakan mata Sunghoon yang terus mengawasinya dari seberang ruangan. Tatapan itu begitu tajam, begitu intens, seolah-olah mereka berdua sedang bertarung dalam perang emosi yang tak kasat mata.

Saat istirahat sidang tiba, Wonyoung keluar dari ruang sidang dengan perasaan yang campur aduk. Ia butuh udara segar, butuh jarak dari situasi yang membuatnya merasa terjebak. Namun, saat ia melangkah keluar, suara langkah kaki yang familiar menghentikannya.

"Wonyoung," suara Sunghoon memanggil dari belakang.

Ia berhenti, tetapi tidak segera berbalik. Selama beberapa detik, Wonyoung hanya berdiri di sana, punggungnya kaku, mencoba menahan emosi yang bergejolak dalam dirinya. Ketika ia akhirnya berbalik, tatapan Sunghoon sudah tertuju padanya.

"Ada apa jaksa park?" Wonyoung bertanya, suaranya datar.

Sunghoon menatapnya dalam, seolah-olah sedang mencari sesuatu di balik wajah tenangnya. "Kamu benar-benar akan membela dia mati-matian?"

"Ini pekerjaanku," jawab Wonyoung dengan tegas. "Aku harus melakukan yang terbaik untuk klienku."

"Dan aku melakukan yang terbaik untuk mencari keadilan," balas Sunghoon tanpa ragu. "Tapi kita berdua tahu klienmu nggak bersih, Wonyoung. Kamu lebih tahu dari siapa pun."

Wonyoung menghela napas, matanya sedikit menyipit. "Kamu nggak ada hak buat menilai keputusan profesionalku. Aku melakukan apa yang harus aku lakukan."

Sunghoon mendekat, suaranya lebih rendah dan penuh tekanan. "Ini bukan cuma soal pekerjaan, kan? Kita berdua tahu itu."

Hati Wonyoung berdegup lebih cepat. Ia tahu Sunghoon benar. Mereka tidak hanya sedang bertarung dalam persidangan ini-ada banyak hal yang tidak terkatakan di antara mereka. Perasaan-perasaan yang telah lama terkubur, namun sekarang muncul ke permukaan. Tapi ini bukan tempat untuk membicarakannya.

"Jaksa Park" Wonyoung akhirnya berkata, nadanya lebih pelan, lebih lelah. "Apa yang terjadi di antara kita... itu masalah pribadi. Kita nggak bisa campur adukkan dengan apa yang terjadi di ruang sidang." Sunghoon terdiam.

"Aku harus kembali," ucapnya akhirnya, memilih untuk tidak memperpanjang percakapan.

Tanpa menunggu balasan, Wonyoung berbalik dan melangkah kembali ke ruang sidang, meninggalkan Sunghoon yang masih berdiri di tempatnya. Ia tahu percakapan itu belum selesai-bahkan jauh dari kata selesai. Tapi untuk sekarang, mereka harus kembali fokus pada apa yang ada di depan mereka. Sidang masih panjang, dan Wonyoung harus memastikan bahwa ia melakukan pekerjaannya dengan sebaik mungkin.
.
.
.

Bound by dutyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang