35 ; Serupa

3.2K 467 65
                                    

BEGITU SAMPAI DI rumah, Wilona melihat Nares yang langsung beranjak ke kamar selagi membawa beberapa kardus berisi perangkat komputer. Dia sempat menawarkan bantuan, tetapi pria itu menolaknya.

Perubahan suasana hati sosok ini terlihat dengan jelas di matanya. Selama perjalanan, Nares tak lagi menginisiasi pembicaraan. Dia membiarkan kekosongan mengisi, tanpa repot-repot menyalakan saluran musik ataupun radio.

Percakapan terakhir mereka di apartemen sepertinya cukup berpengaruh atas perubahan suasana hatinya. Pertanyaan Wilona mungkin terlalu sensitif. Lelaki itu sepertinya tidak suka jika diperingati secara langsung, seolah Wilona sudah menolaknya dulu sebelum dia mengakui perasaannya sendiri.

Keadaan semacam ini tidak bisa dihindari. Tindakan Wilona sudah pasti memiliki konsekuensi, salah satunya suasana canggung yang cukup mengganggu ini.

Wilona menatap gamang jejak kepergian sang lelaki. Dia menarik napas pelan sebelum ikut melangkah masuk.

Mencoba untuk tidak terlalu memikirkannya, Wilona membuka pintu walk-in closet miliknya. Dia mengeluarkan baju ganti dan beberapa barang lain, kemudian menyimpan tas olahraga di salah satu lemari. Barang-barang yang sempat dikeluarkan kembali dia bawa keluar. Wilona menaruh tumbler kosong di wastafel dapur. Dia juga meletakkan pakaian kotor di keranjang dekat mesin cuci.

Ketika kembali ke dalam kamar, Wilona segera melucuti pakaian untuk mandi. Dia membiarkan guyuran air dingin membasuh tubuhnya yang sempat berkeringat. Selang beberapa saat, dia sudah mengeringkan diri dan berpakaian. Gaun rumahan berlengan panjang membalut tubuhnya. Dia baru kembali dari dapur ketika melihat Nares yang hendak pergi lagi.

Melebarkan langkah guna menyusul pria ini, Wilona memanggilnya. Dia menanyakan tujuan kepergian sang pria.

Nares menatapnya dengan alis mengerut. Dia lalu mengembuskan napas pendek, terlihat terganggu oleh sesuatu.

"Sekarang, gue perlu izin kalau mau cabut?"

Wilona mengamatinya. Kekesalan sosok ini masih sangat kentara. Mereka akan berdebat panjang jika Wilona terlalu ikut campur urusannya.

Hangat seduhan teh di dalam gelas memberi sedikit ketenangan untuk Wilona. Dia mengusap pelan cangkir di genggaman tangannya. Kemudian, dia mencoba berbicara dengan intonasi yang lebih lembut dari biasa.

"Jangan bertindak ceroboh lagi," kata Wilona, berharap Nares mau mendengar nasihatnya. "I don't want you to come home in such a bad condition like last time."

Kalimat Wilona merujuk pada gejala adiksi Nares yang hampir kembali kambuh. Kejadian itu sudah berlangsung sekitar tiga minggu lalu. Akan tetapi, Wilona masih mengingatnya dengan jelas. Dia masih ingat tubuh gemetar sang pria, juga wajah pucat serta sorot mata nyalang yang memperlihatkan ketakutan pekat.

Hanya dengan melihat, Wilona bisa merasakan betapa buruknya kondisi Nares pada saat itu. Takkan ada satu pun orang yang ingin terperangkap dalam keadaan tersebut. Wilona yakin, Nares takkan mau kembali merasakannya. Jadi, dia harap, lelaki itu mau mendengarnya. Dia tidak ingin Nares kembali terjun ke dalam kekacauan.

Wilona menunggu respons sang lelaki. Dia melihat Nares yang tak langsung menjawab. Pria itu mengamati Wilona cukup lama, membuat Wilona berpikir jika dia sudah kembali menyinggungnya.

"Kenapa juga lo sepeduli itu?" balas Nares. Dia menatapnya lekat, kemudian sudut bibirnya terangkat, membentuk cibiran. "Jangan-jangan lo yang udah suka ke gue?"

Wilona kontan mengerutkan kening. Sepertinya, dia belum bisa berbicara baik-baik dengan pria ini. Nareswara kadang masih sangat sulit untuk dihadapi.

"Kemungkinan besar, Jonathan menargetkan kamu juga," ungkap Wilona pada akhirnya. "Aku nggak mau kamu ikut terseret masalahku. Jadi, sebaiknya kamu jangan pergi ke tempat-tempat yang berisiko."

Broken GlassesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang