Noda

2 1 0
                                    

AKU terduduk gusar di sofa ruang tamu. Pandanganku tidak hentinya lepas dari pintu yang bergeming. Aku menatap lagi ponsel yang sedari tadi kugenggam. Waktu di layar ponsel menunjukkan pukul empat. Jariku kemudian dengan cepat menekan panggilan pada nomor suamiku ketika kunci layar terbuka. Namun, bunyi panjang lagi-lagi yang menyambut.

Aku mengusap wajah. Otot-otot mataku rasanya seperti ingin copot. Namun, sekuat tenaga aku menahannya supaya tetap terjaga. Sudah selarut ini, tetapi suamiku belum juga pulang. Sebagai seorang koki di sebuah restoran, tidak biasanya dia belum pulang sampai jam segini. Dan yang membuatku lebih cemas, dia tidak menjawab telepon dariku. Siapa yang bisa kuhubungi dari tempat kerjanya pun aku tidak tahu.

Suara ketukan di pintu mengalihkan pandanganku dari ponsel. Dengan cepat, aku bangkit dan berlari ketika suara yang familier menyebut namaku. Aku membuka pintu dan kulihat suamiku berdiri di depan pintu dengan senyum lelah nan penuh sesal.

Aku tidak dapat menahan air mata dan langsung memeluk suamiku. “Ya ampun, Yah! Ke mana saja, sih? Kenapa baru pulang? Ditelfon juga nggak diangkat?” cerocosku di sela isakan.

Suamiku membalas pelukanku lalu mengelus punggungku. “Maaf, Ma. Ayah tadi ada urusan, terus HP Ayah juga mati,” ujarnya.

Aku mundur untuk menatap wajahnya. “Lain kali kabarin pakai HP orang dulu kenapa, Yah. Jangan bikin Mama cemas kayak gini!” sungutku.

“Iya, iya ... maaf, ya ....” Dia mengelus kepalaku.

“Iya, tapi lain kali jangan kayak gini lagi!” ketusku seraya mendorong bahunya.

Aku hendak bertanya lagi tentang urusan—tidak biasanya—apa yang dia lakukan hingga selarut ini ketika aku menyadari sesuatu.

Mataku memicing.

“Kenapa, Ma?”

Aku tersentak. Jantungku mencelus seketika menyadari apa yang kulihat. Di dekat kerah baju suamiku, ada noda merah yang sangat kukenali. Dan setelah kusadari lagi, aku mencium aroma parfum berbeda dari tubuhnya.

“Ah–e-enggak.” Aku menggeleng lemah. “Y-ya, sudah. Ayo, masuk!” Aku berjalan lebih dulu memasuki rumah. Dari ujung mata, aku memperhatikan suamiku. Dan jantungku berdegup kencang membayangkan apa yang tadi dia lakukan di luar sana.

Keesokan harinya, suamiku libur. Dengan begitu, seharian dia akan berada di rumah. Namun, kali ini dia mengajakku keluar. Dan ya, kami pun pergi.

Pertama-tama, suamiku mengajakku ke sebuah pusat perbelanjaan. Dia menyuruhku membeli apa pun yang aku mau. Setelah mendapatkan apa yang kumau dan beberapa kebutuhan kami, dia membawaku ke restoran. Jarang sekali kami bisa makan di luar seperti ini. Apalagi saat ini akhir bulan.

“Itung-itung permintaan maafku karena sudah bikin Mama khawatir semalaman,” katanya saat kusindir.

Perutku seperti diaduk ketika mendengar ucapannya. Jadi, dia melakukan semua ini karena menyesal akan hal itu? Entah kenapa, bukannya tersentuh, aku malah merasa mual.

***

Setelah berganti pakaian, aku bergegas ke ruang cuci. Aku mengambil baju kotor yang semalam suamiku pakai. Kutatap baju itu, kemudian kukeluarkan pemutih yang tadi kubeli.

Aku menggosok semua noda merah di baju itu dengan pemutih. Dimulai dari yang di dekat kerah, lalu yang di dekat siku. Bau pemutih bercampur bau anyir yang samar menyeruak.

Sebenarnya, darah siapa yang menempel di baju suamiku? Apa yang semalam dia lakukan?

---
Maljum, 24/10/24 (lewat 1 jam 16 menit :v)

Kripik SetanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang